SPIRITUALITAS EKONOMI

image: akademisi dari beberapa institusi bertemu di Banda Aceh dalam diskusi “membaca arah masa depan ekonomi.” Dari kiri ke kanan: M. Dayyan (UIN Langsa), Fatah Hidayat (Universitas Negeri Malang), Aji Dedi Mulawarman (Universitas Brawijaya), Ust.Damai (Aceh), Safwan (UIN Arraniry), Said Muniruddin (Universitas Syiah Kuala) dan Azwar (Jakarta).

Spiritualitas Ekonomi
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Dari gaib menuju gaib.” Itu hukum dasar kehidupan. Tidak selalu dalam konteks kematian atau musibah, ayat “inna lillahi wainna ilaihi rajiun” (QS. Al-Baqarah: 159) juga menjelaskan arah gerak peradaban kita: dari Allah yang maha gaib menuju Dia yang maha gaib.

Dari sisi teori penciptaan, sudah pasti Allah yang gaib merupakan titik awal semua keberadaan (eksistensi). Pada akhirnya semua yang ada di alam ini akan kembali kepada-Nya. Termasuk kita manusia, berapapun panjang usia anda, hakikat dari tujuan, suka tidak suka, adalah perjalanan menuju realitas spiritual (alam gaib).

Itu pula yang terjadi dalam gerak peradaban kita. Konstruksi sosial dan ekonomi dunia mengalami transformasi ke arah yang semakin abstrak, semakin gaib.

Teori Perkembangan Peradaban

Awalnya kehidupan manusia ada pada “sektor primer”, wujud aktifitasnya konkrit. Yaitu memanfaatkan material yang ada di alam, seperti bertani, beternak dan menambang bahan baku. Transaksi antar sesama masih bersifat tukar menukar barang (barter).

Kemudian ekonomi berkembang ke “sektor sekunder.” Aktifitasnya mulai bergeser ke bentuk pengolahan hasil alam guna diperdagangkan. Inilah sektor perdagangan. Pada era ini juga lahir revolusi awal dari industri. Berbagai jenis pabrik bermunculan. Alat pembayaran juga semakin sederhana, bukan lagi properti, melainkan “uang.”

Selanjutnya ekonomi berkembang ke “sektor tersier”. Orang-orang mulai tertarik dengan penyediaan jasa (service), tidak lagi terpusat pada menjual barang. Pendidikan, keuangan dan perbankan, transportasi, perhotelan dan sejenisnya adalah bentuk-bentuk dari jasa yang sifatnya abstrak, namun masih memiliki infrastruktur pelayanan yang kompleks. Pada zaman ini, transaksi juga sudah cukup simpel. Muncul berbagai “kartu” (debit, kredit dan lainnya) untuk menyederhanakan penggunaan uang.

Pada era ini juga lahir teknologi informasi dan komunikasi. Dan Ini menjembatani munculnya “sektor kwater” dalam peradaban manusia. Bisnis disektor ini seperti menjual “angin.” Transaksi barang dan jasa sudah dikemas secara online dalam “dunia maya” (virtual) seperti e-commerce dan internet of things. Alat pembayaran juga jauh semakin abstrak. Penggunaan puluhan jenis uang digital atau cryptocurrency (bitcoin, ethereum, litecoin, monero, dash dan sebagainya) sudah terjadi. Dan percayalah, dunia kita akan terus bergerak kepada dimensi bisnis yang semakin “halus”.

Tiga teori awal perubahan struktural di atas, dikenal dengan “Three-Sector Model”, dapat dilacak pada karya Alan Fisher, Colin Clark dan Jean Fourastie. Sementara yang terakhir, pertumbuhan era digital, kini dipopulerkan dengan istilah “Revolusi Industri 4.0”. Berbagai varian dari digitalisasi peradaban ini, yang juga disebut-sebut sebagai “disrupsi”, akan terus merubah fundamental ekonomi dan berkembang sampai kepada “titik kegaiban” yang tidak pernah kita duga. Ekonomi semakin hari bergerak kepada sisi yang semakin kreatif, menyajikan pengalaman dan rasa.

Dampak Bagi Kehidupan Manusia

Disatu sisi, perkembangan teknologi digital telah memudahkan kita dalam berinteraksi dan bertransaksi. Akses informasi, barang dan jasa semakin mudah. Jarak dan waktu dipersingkat. Biaya lebih murah. Dunia semakin ekonomis dan efisien.

Perkembangan ini serupa dengan apa yang digambarkan Alquran dengan “kecepatan dalam menghadirkan sesuatu”. Suatu ketika, Sulaiman as menantang para petingginya untuk menghadirkan singgasana Balqis yang terletak ribuan mil, ke istananya. Si Ifrit dari bangsa jin menyanggupinya. Ia mampu menghadirkan barang itu “sebelum Sulaiman berdiri dari tempat duduknya” (QS. An-naml: 39). Cepat sekali!

Namun, ada satu orang dari bangsa manusia yang punya kemampuan untuk “menghadirkan” wujud atau realitas tersebut dalam waktu yang lebih cepat: “sebelum mata Sulaiman berkedip” (QS. An-Naml: 40). Menarik juga untuk dikaitkan, teknologi transdimensi apa yang digunakan orang shaleh tersebut.

Perkembangan teknologi maya dan digital memang melahirkan berbagai kemudahan. Tetapi disini lain, persoalan maha besar muncul: manusia terperangkap dalam dunia virtual!

Contoh paling nyata dapat kita lihat pada anak-anak yang kecanduan game online. Tidak hanya anak-anak, orang tua juga demikian. Orang-orang lebih fokus kepada dunia simulatif yang ada di hp, gadget dan perangkat komputer canggih lainnya, daripada berinteraksi secara aktif dengan orang-orang yang ada disampingnya.

Sekarang sudah lahir generasi baru dari rahim dunia imajiner. Bagi mereka, realitas virtual (game, internet dan pengalaman online sejenisnya) adalah lingkungan sesungguhnya. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk itu. Kehidupan sosial menjadi tidak berarti. Akibatnya, mereka kehilangan rasa akan tanggungjawab, susah berfikir dan sulit menyelesaikan masalahnya sendiri.

Belum lagi tumbuhnya sifat malas, mengabaikan orang tua, lupa waktu, boros, pemarah, suka berbohong, gangguan kesehatan, sampai kepada indoktrinasi pornografi dan kekerasan dari beragam imej yang muncul dari layar virtual. Dan yang terparah dari semuanya adalah mereka lupa kepada Tuhan (meninggalkan sholat).

Gangguan-gangguan ini dapat ditemukan pada anak-anak dan orang tua yang adiktif dengan berbagai permainan dunia “gaib” (dunia maya atau virtual). Sebut saja yang hari ini sedang populer. Mulai dari Candy Crash Saga, Point Blank, Mu Legend, Dark and Light, Ragnarok, RF Classic sampai kepada aneka jenis game poker.

Inilah sihir terparah di akhir zaman. Sifatnya masif. Tua muda, semuanya dirasuki “jin” digital. Bentuknya beragam. Mulai dari perangkat 3D sampai 9D. Kedepan akan lebih dari itu. Sekarang sudah berkembang berbagai simulasi yang tidak hanya merangsang visual, tetapi juga menawarkan pengalaman sensoris baik yang bersifat auditori maupun motorik. Bagaimana cara mengobatinya?

Virtual Reality vs. Spiritual Reality

Pertama, kita harus memahami bahwa tidak mungkin menolak perkembangan teknologi. Inovasi dan kreatifitas merupakan bagian dari ‘diri’ manusia. Disisi lain, sebagaimana telah kita bahas, arah perkembangan semua ini menuju kepada dunia yang semakin “gaib.” Hanya saja, kita harus memahami, bahwa “kegaiban” yang kita tuju ada dua: (1) kegaiban virtual (semu) dan (1) kegaiban spiritual (nyata).

“Kegaiban virtual” adalah semua unsur duniawi yang lahir dari perkembangan peradaban. Kita tidak menolak unsur-unsur ini. Sebab, semua capaian teknologi merupakan bentuk dedikasi manusia untuk memudahkan pemanfaatan alam titipan Tuhan.

Selain itu, salah satu sektor yang paling berkembang dan semakin memuncak dalam peradaban manusia adalah “experiencing economy”. Manusia hidup untuk mencari pengalaman-pengalaman yang indah dan nikmat. Sehingga Alquran menyebut dunia ini sebagai tempat kita bermain dan bersenang-senang: “dunia ini senda gurau dan permainan” (QS. Al-An’am: 32, QS. Al-‘Ankabut: 64, QS. Muhammad: 36).

Oleh sebab itu, “kegaiban virtual” berupa rasa nikmat dan kemudahan yang lahir dari berbagai bentuk digitalisasi permainan dan interaksi, pada taraf tertentu, bagus bagi manusia. Bukankah simulasi-simulasi penerbangan, kesehatan, pendidikan dan berbagai bentuk pelatihan dibuat dengan cara ini?

Yang dikhawatirkan adalah efek negatif, berupa kecanduan terhadap teknologi ini (seperti yang sudah kita bahas sebelumnya). Manusia sebagai makhluk fitrah akan mencari kesenangan-kesenangan yang lebih tinggi dari dimensi materi. Dunia virtual menawarkan pengalaman sensoris psikologis itu.

Namun, dunia virtual bukanlah puncak dari kegaiban yang kita tuju. Dunia virtual itu sifatnya semua dan simulatif, alias “palsu”. Ada dunia gaib lainnya yang sifatnya lebih “nyata” yang harus kita alami atau rasa. Itulah yang disebut dunia spiritual (spiritual reality). Dan puncak dari semua realitas spiritual itu adalah “Allah.”

Bagi orang yang ruhnya terjaga, Allah adalah realitas mutlak dan paling nyata. Dia ada dimana-mana. “Kemanapun kamu menghadap disana ada Wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115). “Allah meliputi segala sesuatu” (QS. An-Nisa: 126, QS. Al-Fusshilat: 54, dan lainnya).

Dimensi ilahiyah yang paling nyata inilah yang harus bisa kita “lihat”, “rasa” dan “sentuh” dalam evolusi peradaban kita sebagai manusia. Tidak harus menunggu mati, Dia harus bisa kita “jumpai” sejak di dunia. Karena Dia memang ada di dunia ini.

Bahkan sebenarnya kita sudah pernah berkomunikasi langsung dengan Allah saat berusia 4 bulan di rahim ibu. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, tanya Allah. “Benar”, jawab kita saat itu (QS. Al-‘Araf: 172). Tapi begitu lahir dan usia bertambah, kemampuan komunikasi kita dengan Allah makin lemah. Sinyalnya pun sudah hilang. Itu semua terjadi karena manusia terjebak pada realitas material virtual (duniawi), sehingga lupa kepada realitas spiritual (ukhrawi).

Begitu larutnya kita dengan kehidupan virtual, sampai suatu saat kita akan tersadar ternyata itu semua hanya bayangan. Hidup ini mirip dengan menonton simulasi virtual reality yang dipasang dimata (apakah dalam bentuk kacamata atau perangkat lainnya). Semuanya terlihat interaktif dan nyata. Ketika filmnya habis (pasti akan habis), lalu alatnya kita buka, baru kita kembali ke alam nyata. Dalam konteks ini, Alquran menyebut dunia sebagai “kesenangan yang menipu” (QS. Al-Hadid: 20). “Hidup ini seperti sedang bermimpi, kalau mati, baru kita akan terjaga”, sebut Imam Ali kwh.

Agama dibangun diatas hal-hal gaib yang absolut. Allah, malaikat, ruh para nabi, kitabul majid, taqdir/rahasia masa depan dan akhirat; semua itu wujud (kenyataan) yang sebenarnya paling nyata. Tetapi bagi ruh yang masih tertidur, semua itu virtual (imajinatif). Sekedar yakin-yakin saja.

Jika sejak di dunia tidak pernah bisa menjumpai Allah, konon lagi di akhirat. Sebab, apa yang kita temukan di dunia, itulah yang kita bawa bersama ke akhirat. Menemukan Allah sejak hidup adalah bekal terbaik bagi kita untuk pulang ke akhirat. Makanya Allah mengkritik orang-orang yang larut dengan “dunia” (kehidupan maya atau virtual), sehingga gagal menangkap realitas “ukhrawi” (Wujud Absolut).

Kembali ke “Jalan Yang Lurus”

Jadi, arah peradaban kita bisa bergerak ke arah kegaiban yang terlalu “kiri” atau terlalu “kanan”. Ke kiri maknanya terlalu virtual, melupakan dunia spiritual. Ini dialami oleh dunia Barat yang terlalu materialis. Akibatnya, jiwa masyarakat teralienasi dari fitrahnya sendiri. Kosong.

Kalau terlalu ke kanan maknanya terlalu asik dengan dunia kebatinan namun melupakan penguasaan teknologi. Ini dialami umat Islam yang tidak menguasai sains. Jalan terbaik adalah kembali ke “tengah” (ummatan washatan, QS. Al-Baqarah: 142). Jalan “tengah” adalah jalan yang “lurus”. Jalan yang menyeimbangkan berbagai kutub peradaban.

Dalam konteks “kiri”, dunia ini semacam game. Kita memang butuh game untuk menikmati hidup dan disarankan untuk berjihad secara baik dan benar untuk menjadi pemenang dalam berbagai jenis game. Namun banyak dari kita yang adiktif dengan game dan berbagai abstraksi dunia (mumkinul mujud), sampai lupa dengan kehidupan akhirat (Allah, wajibul wujud).

Sebenarnya, dunia dan akhirat tidak terpisah. “Dimana kaki dipijak, disitu langit dijunjung.” Dimana kita menjalani kehidupan duniawi, disitu pula idealnya ruh kita ada bersama Allah di “langit” sana. Allah itu ada saat kita masih hidup. Jangan menunggu mati untuk bisa menyaksikan keberadaan-Nya. Sebab, “Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta (QS. Al-Isra: 72).

Oleh sebab itu, kehidupan di akhir zaman tidak hanya tentang bagaimana survive di era digital (disrupsi ekonomi), tetapi juga bagaimana benar-benar terkoneksi dengan alam spiritual (vibrasi ruhani). Pada kasus anak-anak yang kecanduan dunia maya tadi misalnya, hanya bisa disembuhkan oleh dunia spiritual. Sebab, pengalaman “online” dengan Tuhan akan jauh lebih nikmat daripada online dengan berbagai bentuk game virtual. Tugas kita hanya menemukan bagaimana caranya agar orang-orang bisa berpindah dari jebakan virtual ke aktifitas spiritual.

Disini, para nabi menjadi suri tauladan terbaik bagi kita. Mereka adalah orang-orang yang sejak ribuan tahun lalu sudah berhasil membangun “teknologi transdimensi” (spiritual technology) sehingga bisa menjumpai (liqa) Allah sejak hidup di dunia. Disinilah relevansi tarekat sebagai sebuah metodologi warisan para nabi untuk mengaktifasi “qalbu” melalui suluk (khalwat), zikir dan riyadhah ruhiyah lainnya. Qalbu (hati) merupakan software yang bisa menghadirkan Tuhan.

Memang belakangan ini kita menyaksikan adanya gelombang baru dalam beragama. Misalnya, gerakan ramai-ramai shalat subuh, ramai-ramai berzikir, dan lainnya. Namun lagi-lagi, intinya bukan pada jumlah. Melainkan kualitas. “Allah tidak menuntut kedatanganmu, tetapi kehadiranmu”.

Inti keislaman bukan pada simbol-simbol lahiriah (eksoteris). Tetapi pada level batiniah (esoteris). Syariat yang kita amalkan tak bisa membawa kita untuk melihat kebenaran tertinggi. Tasawuflah yang mengantarkan kita kepada kesempurnaan. Hanya tarekat yang bisa membebaskan kita dari halusinasi virtual kepada pengalaman spiritual yang menyehatkan akhlak dan moral.

Kesimpulan

Saya kira, tantangan kita dalam era “Revolusi Industri 4.0” ini bukan hanya pada kemampuan untuk lebih menguasai teknologi digital. Tetapi juga penguasaan teknologi spiritual.

Jangan hanya bisa bermujahadah (bersungguh-sungguh) untuk menikmati realitas virtual. Penting juga untuk mengalami musyahadah (penyaksian) akan kebenaran realitas spiritual. Penyakit moral dan etika yang semakin akut dalam ekonomi dan bisnis modern juga hanya bisa disembuhkan dengan “kehadiran” Tuhan.

Peradaban semakin menuju “kegaiban”. Kita harus memastikan bahwa ujungnya adalah “Tuhan”. Itulah mengapa kehadiran langsung Allah (dimensi makrifat) dalam ekonomi semakin diperlukan, melampaui sekedar bersandar kepada hukum-hukumNya saja (syariat).

Perkembangan ekonomi dunia akhir-akhir ini juga semakin memuncak pada experiencing sector. Orang-orang bukan lagi sekedar ingin mengkonsumsi sebuah produk atau memperoleh sebuah pelayanan. Tetapi lebih kepada bagaimana “mengalami”.

Sektor pariwisata dan entertainmen misalnya, mulai menawarkan pengalaman yang unik-unik, guna memenuhi rasa spiritualitas manusia. Puncak dari semuanya adalah memperoleh “rasa”. Dan rasa kehadiran Tuhan berada di puncak semua hirarkhi kebutuhan.

Itulah pengalaman puncak “pariwisata” Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha. Untuk hari ini, pengalaman serupa dapat dialami lewat shalat, zikir dan suluk. Semua ibadah ini merupakan infrastruktur mikraj kita.

Jika perjalanan menuju Allah yang dialami Pebisnis kenamaan Kota Mekkah pada tahun ke 2 hijrah dituntun langsung oleh Jibril as, maka perjalanan kita juga butuh bimbingan “malaikat-malaikat” (orang-orang suci). Tentunya mereka adalah guru-guru mursyid yang sudah pernah sampai ke alam rabbani.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
Note: Tulisan menarik terkait “Virtual Reality” oleh seorang mursyid tarekat dapat dibaca di https://sufimuda.net/2018/09/07/virtual-reality/

Next Post

"IMAMIM MUBIN" (BANK DATA)

Wed Sep 26 , 2018
Selamat […]

Kajian Lainnya