APA TANDA AKRAB DENGAN ALLAH?


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.68 | Oktober 2021


APA TANDA AKRAB DENGAN ALLAH?
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tanda akrab dengan Allah, anda bisa bercakap-cakap dengan-Nya. Kapanpun anda mau, Dia meladeninya. Dia hadir kapan saja, untuk berkomunikasi dengan anda. Sebab, “Islam itu tinggi”, kalau umatnya bisa menjangkau Yang Maha Tinggi. Kalau belum, berarti kita masih menganut tipe Islam yang “rendah”. Yang masih berjarak, jauh dengan Allah.

Pertanyaannya, bagaimana cara mendekatkan diri (akrab) kepada Allah? Apakah harus menjadi ulama untuk bisa dekat dengan Allah? Apakah harus menjadi ustad untuk dekat dengan Allah? Apakah harus menjadi Profesor doktor untuk dekat dengan Allah?

Lihat. Siapa orang yang paling dekat dengan presiden? Orang yang paling dekat dengan presiden adalah istrinya. Walaupun istrinya bodoh sekali. Tapi itulah kekasihnya. Bukan orang-orang dengan seribu satu gelar pangkat dan jabatan. Menjadi kekasih Allah harus ditempuh melalui “jalur khusus” (khawash), jalur sentuhan hati, bukan dengan jalur formal.

Mungkin ada ulama, ustadz, profesor, doktor yang juga menjadi kekasih Allah. Yang penting mampu berbicara, bercakap-cakap, dan bersenda gurau dengan-Nya. Dengan kata lain, menguasai ilmu komunikasi “transenden”. Heart to heart. Ilmu yang kalau kita berbicara, Allah membalasnya. Pun Kalau Allah berkata-kata kepada, kita mampu menjawabnya. Itu yang disebut ridha dan diridhai. Komunikasinya efektif. Alami. Berbalas.

Sebab, ada bentuk komunikasi lain dengan Allah. Yaitu komunikasi “bertepuk sebelah tangan”. Tidak berbalas. Kita sendiri yang ngomong. Allah diam saja. Mungkin Dia mendengar. Tentu Dia Maha Mendengar. Tapi Dia juga Maha Cuek. Malas menjawabnya. Tidak dipedulikannya kita.

Jenis komunikasi dengan Allah

Komunikasi dengan Allah ada dua. Pertama, “komunikasi artifisial”. Seperti yang kita bahas di atas. Kitanya yang aktif. Allahnya santai saja. Kita berdoa terus siang malam, dalam sholat, dalam wirid, dalam dzikir; dan sebagainya. Tapi Allah tidak sekalipun mengeluarkan kata-katanya. Tak terdengar pun ia menjawab doa dan panggilan kita. Tapi kita tetap berfikir positif (husnudzhan, elok sangko kata orang Padang), seolah-olah Dia mendengarnya.

Komunikasi agama kita kelihatannya masih pada level elok sangko. Diduga Allah mendengarnya. Belum bisa dipastikan apakah Dia benar-benar mendengarnya. Karena tidak ada feedback apapun dari pola komunikasi yang kita bangun. Tidak ada jalur yang membuat kita akrab, untuk mengetahui responnya. Tidak ada telpon ataupun WA yang masuk dari Allah SWT.

Inilah bentuk komunikasi yang pertama dengan Allah, seperti bicara dengan dinding. Karena sinyal yang kita bawa masih bersifat artifisial (baharu, buatan, tidak alamiah, tidak segelombang dengan Allah). Doa dan bacaan kita tidak sampai. Tidak nyambung. Tidak tersahuti. Tidak ada balasan. Allahnya terkesan “mati”. Tidak terlacak Dia ada dimana. Kitanya yang bicara terus. Tapi teruslah berdoa dan berbaik sangka. Karena, bagi kita yang awam, berbaik sangka adalah awal dari membina hubungan dengan Allah.

Kedua, “komunikasi transenden”. Inilah komunikasi yang efektif. Sinyalnya sudah memiliki unsur-unsur yang bersifat qadim. Ada frekuensi ilahiah yang sudah hidup dalam diri kita. Yang dengan itulah kita berbicara. Gelombang ketuhanannya sudah kuat. Antara seorang hamba dengan Tuhan sudah tidak berjarak lagi. Lebih dekat dari urat leher (QS. Qaaf: 16). Allahnya sudah “hidup”. Sudah terdengar bahwa Allah berkata-kata, dengan berbagai cara. Dia senantiasa berfirman secara laduniah kepada hambanya. Kalam-Nya sudah bisa kita terima. Telpon mulai berdering, disaat Allah mau berbicara. Selalu ada “notifikasi” pada diri kita ketika masuk pesan dari Allah SWT. Kira-kira begitu. Artinya, hubungan dengan Allah sudah pada level Hak. Pasti. Tidak lagi duga-duga. Bukankah para nabi dan orang-orang shaleh mengalami hal seperti itu?

Pada saat kita ngomong dan tidak dijawab oleh Allah, bukan berarti Allahnya “mati”. Kitanya yang mati. Qalbu kita belum hidup. Belum diaktivasi. Maka, untuk mencapai bentuk komunikasi yang karib, berbalas, alias nyambung; teknologi komunikasi harus diperbaiki. Karena, hati merupakan satu-satunya alat komunikasi yang menyambungkan kita dengan Allah. Itulah kenapa, Alquran senantiasa berbicara perbedaan antara orang yang hidup dengan orang mati dalam konteks qalbu. Sebab, hidupnya qalbu merupakan awal dari hidup (hadirnya) Tuhan dalam diri kita. Karena, yang disebut “kehadiran Allah” adalah kemampuan untuk akrab dan komunikatif dengan Allah.

***

Apa yang kita bahas ini bukanlah ilmu hebat-hebat kali. Bukan ilmu tinggi. Bukan ilmu yang dikhususkan bagi ulama kelas super. Ini murni ilmu untuk orang awam. Untuk kita semua. Ini adalah ilmu bagaimana cara menghidupkan qalbu, agar komunikasi dengan Allah dapat terjaga. Agar kita terbangun dari tidur kita, dari kematian kita. Kita merasa, selama ini kita sudah hidup. Padahal total mati. Karena belum pernah sekalipun berbicara dengan Tuhan kita.

Ingat. Tujuan hidup adalah untuk dekat (akrab) dengan Allah.  Untuk menyembah Dia secara efektif dan komunikatif. Untuk membangun hubungan yang interaktif. Ridha dan diridhai. Berdoa, dijawab. Bertanya, dibalas. Seperti dikatakan Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, “ketersambungan dengan Allah (muraqabah) adalah awal dari perjalanan ruhani”. Begitulah sejatinya ketauladanan dalam bertuhan yang diperlihatkan para nabi. Mereka akrab dengan Tuhannya. Kita pun harus begitu. Harus mencari Guru dan berguru, agar bisa mewarisi ilmu-ilmu paling dasar ini.

Pertanyaannya, dimana kita bisa temukan Guru yang mampu menghidupkan qalbu, kalau Nabi memang pernah mewarisi ilmu ini kepada umatnya, dan dia juga menginginkan kita untuk akrab dengan Tuhannya? Dimana kita bisa meng-upgrade jaringan komunikasi transendental, sehingga frekuensi keislaman kita menjadi lebih tinggi?

BACA JUGA: “Meng-upgrade Gelombang Ruh”.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

WHY DO WE EXIST?

Wed Oct 6 , 2021
  […]

Kajian Lainnya