PUASA DALAM BERBAGAI AGAMA

image: news.dm
image: news.dm

Puada dalam Berbagai Agama
Oleh Said Muniruddin

“Puasa, praktek-praktek ibadah ritual harian, serta bentuk-bentuk pendisiplinan yang menyiksa diri lainnya -bagi siapapun yang melakukan ini, tidak akan mendapat manfaat sedikitpun, melainkan hanya buang-buang waktu saja”.

Demikian kira-kira arti dari sebuah ayat yang tertera pada halaman 216 “Sri Guru Grant Shahib” (SGGS). Buku yang kemudian pada tahun 1708 Masehi menjadi kitab suci ke-11 sekaligus yang terakhir, bagi agama Sikh. Pernyataan ini menjadikan Sikh, mungkin satu-satunya agama di dunia yang tidak pernah mempromosikan puasa -kecuali untuk beberapa alasan kesehatan saja. Puasa, menurut ajaran Sikh, tidak lebih dari pekerjaan sia-sia.

Keyakinan Sikh ini tentu tidak mendapat tempat dalam Islam maupun agama-agama lainnya. Argumen puasa sebagai alat pendewasaan spiritual sudah tak terbantahkan. Tentu saja, jika dilakukan dengan benar. Wajar sekali jika tradisi puasa begitu membumi. Ia telah hadir sejak zaman pra-sejarah. Bahkan jauh sebelum kita pengikut Muhammad mempraktekkannya (“… seperti telah diwajibkan kepada ummat-ummat sebelum kamu” Q.S. Sapi Betina: 183).

Pentingnya puasa, disamping secara sangat baik diuraikan dalam alQur’an-nya Islam, juga ada disebut-sebut dalam Injil-nya Kristen, Mahabrata dan Upanishad-nya Hindu, Taurat-nya Yahudi,Tripitaka-nya Budha, Kitabil Aqdas-nya Baha’i, dan sejumlah literatur Jainisme. Tulisan ini mencoba melihat beberapa bentuk praktek puasa yang dilakukan oleh sejumlah agama dunia. Perbedaan dan kemiripannya dengan Islam juga coba kita diskusikan.

Hindu

Puasa adalah bagian tak terpisahkan dari umat Hindu. Puasa mereka sangat beragam karena tergantung adat lokal dan kepercayaan masing-masing. Sebagian Hindu berpuasa pada hari-hari tertentu di setiap bulan. Misalnya “Ekadasi”, yaitu puasa hari ke-11 dari setiap bulan lunar. Lalu ada “Purnima”, yaitu puasa saat bulan purnama. Ini mirip dengan Islam yang menganjurkan puasa pada 13, 14 dan 15 setiap bulan lunar. Bedanya, puasa Hindu ini hanya malam hari saja.

Selanjutnya, kalau Muslem dianjurkan puasa Senin dan Kamis, maka Hindu juga hampir serupa. Mereka disarankan puasa Kamis saja. Ini dapat dijumpai pada masyarakat India bagian utara. Sebelum berbuka, kalau kita umat Islam Indonesia memiliki tradisi nonton sinetron, maka Hindu India memiliki tradisi mendengarkan cerita-cerita. Kenapa puasa pada hari Kamis? Karena hari ini diperuntukkan untuk menyembah “Dewa Vrihaspati”. Untuk tujuan tersebut, pada setiap Kamis mereka menghiasi sesuatu dengan warna kuning. Mulai dari pakaian sampai makanan. Semua serba kuning. Jangan-jangan, tradisi membuat nasi kuning dalam masyarakat kita, juga warisan dari kepercayaan India Hindu ini.

Puasa Hindu jenis lainnya dapat ditemukan pada perayaan hari-hari keagamaan. Misalnya puasa 9 hari pada bulan April dan Oktober/November. Ini yang disebut dengan puasa “Maha Shivaratri”. Masih di India bagian utara, puasa unik lainnya adalah apa yang dinamakan dengan “Karwa Chaut”. Ini dilakukan oleh wanita yang baru kawin. Tujuannya? Agar mereka menjadi lebih cantik, keluarga tambah makmur dan suaminya tidak akan pernah selingkuh. Puasa ini baru dibuka setelah sang istri melihat bulan melalui saringan atau ayakan tepung saat matahari tenggelam. Cukup unik!

Cara berpuasanya orang Hindu pun beragam. Ada yang tidak makan dan minum sejak matahari tenggelam, sampai 48 menit setelah matahari terbit hari berikutnya. Puasa dapat berbentuk pembatasasan diri dari jenis makanan tertentu. Atau hanya makan makanan yang telah ditentukan saja. Dalam beberapa kasus, puasa mengandung arti “tidak makan makanan yang terbuat dari daging”. Bahkan ada yang lebih ekstrim: puasa menjadi batal kalau menyentuh makanan yang terbuat dari binatang, seperti daging dan telur (Lipner, J. 1998. “Hindus: Their Religious Beliefs and Practices. Rouledge).

Budha

Dalam tradisi Budha, biarawan dan biarawati yang mengikuti aturan “Vinaya”, umumnya tidak makan lagi setelah sarapan siang. “Vinaya” adalah kumpulan hadist dari Siddharta Gautama, yang menjadi kerangka hukum agama Budha untuk aktifitas pendisiplinan diri. Karena aturan ini diturunkan dari tradisi lisan (ucapan-ucapan Budha) maka seperti halnya Islam, melahirkan banyak mazhab dalam Budha. Dengan praktek yang variatif bahkan saling memperdebatkan. Akibatnya, banyak sekte hari ini tidak mengindahkan lagi aturan ini. Ada yang menganggap ini bukan puasa, melainkan hanya sebuah model pendisiplinan diri untuk mendukung meditasi.

Puasa bagi pengikut Budha cenderung dilihat sebagai bagian dari “asketisme”. Atau apa yang dalam Islam disebut prosesi “sufistik”. Yaitu sebuah usaha sungguh-sungguh untuk menghindari kenikmatan semu duniawi. Oleh sebab itu, puasa tidak terlalu diperhatikan karena dianggap agak ektrim atau bertentangan dengan “Madhyama Pratipad” (Jalan Tengah), atau ajaran-ajaran Budha yang bersifat moderat. Namun demikian, prakteknya masih dilakukan oleh sebagian pengikut Budha dewasa ini. Karena menurut “The Shambala Dictionary of Budhism and Zen” (Kohn, Michael H. 1997. Boston), diyakini dapat menjadi jalan untuk mempercepat pencerahan spiritual.

Jainisme

Jainisme adalah salah satu agama tertua di dunia yang lahir di India kuna. Jumlah pengikutnya di India hampir sama dengan jumlah penduduk Aceh -sekitar 4,2 juta jiwa. Mereka pun memiliki keragaman berpuasa. Pertama adalah apa yang dinamakan dengan”Chauvihar Upwas” atau puasa malam hari. Sementara “Tivihar Upwas” adalah puasa tanpa makan, namun boleh minum air (yang telah dimasak). Meskipun puasa dapat dilakukan kapan saja, tapi biasanya dilaksanakan 8 hari dalam “Paryushana” (perayaan keagamaan di musim hujan). Puasa ini disebut dengan “Atthai”. Jika dilakukan selama sebulan penuh, maka namanya menjadi “Maskhamana”.

Puasa jenis lain dalam Jain dapat dikategorikan sebagai ‘diet’. Yaitu mengurangi jumlah makanan,agar badan tetap langsing. Ada juga jenis puasa dengan hanya memakan kacang-kacangan atau makanan yang hanya berbumbukan garam atau cabai saja. Tujuannya untuk mengurangi nafsu dan meningkatkan kesabaran. Sementara tujuan pokok lainnya adalah untuk memperbaiki karma.

Ada satu jenis puasa yang paling mengerikan dalam agama Jain. Namanya “Santhara”.Yaitu suatu ibadah untuk mencapai kematian dengan cara puasa. Sebenarnya ini lebih tepat disebut “bunuh diri” daripada “puasa”. Namun mereka menolak disebut demikian. Alasannya, karena ‘puasa sadis’ ini dilakukan secara sukarela dan penuh pemahaman. Sementara bunuh diri sifatnya emosional dan lepas control. Mengapa dilakukan “Santhara” atau “mogok makan sampai mati”? Kalau dalam konsepsi Islam, nafsu itu untuk dikendalikan, maka dalam Jainisme, nafsu itu untuk dibunuh. Dengan demikian tubuh menjadi suci. Sayangnya, setelah puasa tidak hanya nafsu yang mati. Pemilik nafsu juga tewas. Inilah puasa paling kontroversial di muka bumi.Sekaligus yang paling illegal di India (Hynson, C. 2007. “Discover Jainism”.Mehoool Sanghrajka (ed). London: Institute of Jainology).

Yahudi

Dalam Judaism ada dua puasa utama. Pertama, “Yom Kippur”. Inilah satu-satunya puasa yang secara jelas disebutkan dalam Taurat (Leviticus23:26-32). Ini puasa paling pokok dan wajib hukumnya bagi setiap Yahudi yang akil baligh: 13 tahun bagi laki-laki dan 12 tahun untuk perempuan. Tujuan puasa ini untuk “pengakuan dan pengampunan dosa”. Beda dengan Islam, cara puasanya Yahud ini lumayan menyiksa diri. Selama berpuasa tidak boleh memakai listrik, memasak, mandi, mencuci pakaian, mengendarai mobil, memakai telefon, menulis, memakai sepatu kulit, serta larangan memakai make-up dan perhiasan bagi wanita. Pakaian selama puasa serba putih. Hampir sama dengan Islam, hanya orang sakit, sangat tua, hamil dan menyusui saja yang boleh tidak berpuasa. Meskipun demikian, mereka tetap disarankan untuk makan sedikit saja (Sausa, D.D. 2006. “Kippur -the Final Judgement: Apocalyptic Secrets of the Hebrew Sanctuary”. FL: the Vision Press).

Begitu tingginya nilai puasa Yom Kippur ini bagi Yahudi, sehingga muncul doktrin “Jika seseorang melakukan puasa, meskipun hanya tidur-tiduran dirumah, dia dianggap telah mengantongi nilai ibadah penuh”. Singkatnya, “dalam bulan puasa, tidur pun bernilai ibadah”. Jangan-jangan, ini adalah ajaran Yahudi yang entah bagaimana menjadi dogma dalam Islam yang diulang-ulang dari satu mimbar ke mimbar lainnya. Statement keagamaan ini lumayan beresiko. Pada level tertentu, ideologi ini telah menjadi alat pengganda kemalasan masyarakat. Ini menjadi referensi untuk menjustifikasi ngantuk dan menguap sepanjang hari-hari puasa. “Begitu besarnya nilai Ramadhan, bahkan tidak produktif sekalipun (tidur-tiduran) bernilai ibadah”. Unbelievable! Mari kita cari teks-teks keagamaan lain yang lebih progressif untuk membangun kesadaran ummat.

Penting juga untuk di catat, Yom Kippur ini adalah puasa yang disebut-sebut berbarengan waktunya dengan puasa Asyura yang diamalkan oleh sejumlah Muslem. Sebagian muslem lain tidak mempraktikkan ini. Orang Aceh dulu juga cenderung merayakan hari Asyura (10 Muharram) dengan makan dan membagi-bagikan bubur kanji. Karena tradisi lokal Aceh dulu sangat kental dengan kecintaan kepada Ahlul Bait. Sehingga mereka lebih fokus pada kenduri duka untuk memperingati kesyahidan cucu Nabi saw, Sayyidina Husain, yang juga jatuh pada 10 Muharram.

Selanjutnya, puasa kedua terpenting Yahudi adalah “TishaB’Av”. Ini dilakukan untuk memperingati kehancuran kuil suci Yahudi di Jerussalem sekitar 2000 tahun yang lalu. Sekaligus meratapi pengusiran mereka dari Palestina oleh tentara Romawi. Makanya, pada puasa 9 hari ini semua bawaannya sedih. Tidak ada aktivitas hura-hura atau ketawa-ketiwi. Juga tidak boleh makan daging, potong rambut dan berenang. Duduk pun harus dikursi rendah bahkan dilantai. Tujuannya hanya untuk mengingat tragedi-targedi pahit yang menimpa Yahudi, termasuk (dongeng?) Holocaust.

Beda halnya dengan Islam, kedua puasa utama Yahudi tersebut dilakukan selama 25 jam. Sejak matahari tenggelam sampai tenggelamnya lagi esok hari. Hanya puasa sunat saja (Puasa Gedaliah, Puasa hari ke-10 bulan Tevet, Puasa hari ke-17 bulan Tammuz, dan Puasa Esther) yang dilakukan sejak terbit sampai tenggelam matahari. Beda halnya dengan puasa wajib, puasa sunat Yahudi membolehkan mereka melakukan hubungan seksual. Sementara untuk mengurangi lamanya puasa, sebagian mereka melakukan kegiatan santunan yangdisebut “tzedakah” (Islam: Shadaqah). Ini hampir mirip dengan kita, dimana kompensasi pengurangan puasa, untuk orang-orang tertentu saja, dilakukan dengan membayar “Fidyah”. Persis seperti halnya Islam, puasa Yahudi juga dibarengi dengan ibadah-ibadah tambahan yang sangat intensif.

Kristen

Dikarenakan Kristen terpecah ke dalam banyak sekali kelompok dan sekte gereja, maka pendapat tentang puasa dalam kristen pun menjadi sangat variatif. Puasa dipraktekkan oleh beberapa kelompok kekristenan. Meskipun banyak teks dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyebutkan tentang puasa, namun beberapa kelompok kristen malah meninggalkannya. Ini disebabkan bentuk kepatuhan terhadap puasa dianggap tidak wajib.

Bagi kelompok “Kriten Kharismatik”, puasa dianggap perintah Tuhan. Targetnya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Makamereka mempraktekkannya satu atau dua hari setiap minggu. Sementara bagi “Kriten Ortodoks”, Rabu dan Jum’at sepanjang tahun adalah hari-hari untuk puasa. Dengan pengecualian keharaman berpuasa pada minggu setelah Epifani, Paskah dan Pantekosta. Puasa disini dapat juga berarti tidak makan daging, segala jenis minyak, anggur atau minuman beralkohol. Pada beberapa komunitas ortodoks, bermiripan dengan Islam, hari Senin disarankan untuk berpuasa. Kenapa? Karena hari Senin dianggap sebagai moment paling tepat untuk lebih dekat serta meniru kesucian malaikat. Bagi kelompok ini, seperti dalam ajaran Islam, puasa tanpa diikuti sedekah adalah tak berguna dan malah semakin merusak bangunan spiritualitas.

Bagi “Kristen Roma”, puasa tidak lebih dari pengurangan porsi makanan. Caranya hanya dengan makan dua kali dan itupun sedikit saja, pagi dan malam hari. Diantara ke dua waktu tersebut hanya minum yang diperbolehkan. Tapi ada juga yang boleh makan. Namun bagi beberapa kelompok Katolik Roma lainnya, puasa berarti hanya minum air saja. Menariknya, aturan berpuasa mereka dapat dirubah-rubah sesuai kehendak gereja. Paus Pius XII misalnya, pada tahun 1956 pernah mengeluarkan aturan untuk memudahkan syari’at puasa. Sementara pada tahun 1966, Paus Paul VI malah merubah aturan secara radikal. Ia hanya merekomendasikan puasa bagi umat Kristen jika kondisi ekonomi lagi tidak menguntungkan. Tapi, puasa satu jam saja, berdasarkan aturan Vatikan II ketika Ekaristi, adalah sesuatu yang masih ditemukan dalam tradisi Katolik Roma. Sebelum kedua paus ini naik tahta, aturan puasa dalam Kristen sangat ketat. Misalnya mewajibkan puasa pada hari-hari tertentu sepanjang tahun. Tentu ini sesuatu yang sangat sulit bagi masyarakat kapitalis yang konsumtif. Efeknya, obesitas (kelebihan berat badan) adalah penyakit kronis yang harus dihadapi bangsa-bangsa barat hari ini.

Sementara itu, bagi kelompok “Kristen Latter-Day Saint” puasa adalah menahan diri dari segala makanan dan minuman. Dalam sebulan, dua hari secara berturut-turut disarankan untuk berpuasa. Hari Minggu pertama setiap bulan ditetapkan sebagai hari baik untuk berpuasa. Caranya beragam. Ada yang tidak makan sejak hari sabtu malam sampai paginya. Ini menjadi alasan mengapa “makan pagi” dalam bahasa inggris disebut “breakfast” (buka puasa). Ada juga yang berpuasa sejak malam Minggu sampai Minggu sore berikutnya. Sementara uang yang tidak terpakai karena tidak makan atau berbelanja, diinfaqkan ke gereja untuk disalurkan kepada fakir miskin (The State of the Church”. Ensign. May 1991).

Baha’i

Baha’i adalah sebuah agama yang didirikan oleh Baha’ullah. Nama kecilnya Mirza Husain Ali. Lahir di Teheran – Iran pada 12 November 1817. Meninggal di Bahji – Palestina pada 29 Mai 1892. Puasa dalam ajaran Baha’i, seperti halnya Islam, dilakukan sejak terbit sampai tenggelamnya matahari. Puasa mereka lamanya 19 hari, yang ditunaikan dalam bulan ‘Ala. Yaitu tanggal 02 Maret sampai dengan 20 Maret. Untuk para perokok, sepertinya agama Baha’i sangat cocok buat anda. Kenapa? Karena puasa bagi mereka adalah menahan diri secara total dari makan dan minum, tapi boleh merokok! Sama halnya dengan Islam, puasa hukumnya wajib bagi setiap pengikut Baha”i dewasa, atau telah mencapai umur 15 tahun. Juga seperti halnya Islam, bagi Baha’i Puasa adalah salah satu ibadah terpenting. Fungsi utamanya menurut mereka adalah sebagai alat penekan ego dan nafsu seks. Yang dengan ini, menurut Shogi Effendi -salah satu khalifah penerus ajaran Baha’i, kekuatan spiritual dapat terperbaiki (Giachery, Ugo. 1973. Shoghi Effendi – Reflections. Oxford, UK.).

Kesimpulan

Puasa janganlah dipandang sebelah mata. Hampir semua agama melakukan praktek ini. Hanya cara, waktu dan metoda yang berbeda-beda.Tujuannya hampir semuanya sama: untuk mendewasakan tubuh spiritual sekaligus menyehatkan jasad material. Dari observasi penulis, dibandingkan agama-agama lainnya didunia, puasa dalam Islam lebih menempati posisi istimewa. Ibadah ini menjadi salah satu rukun atau fondasi Islam setelah kewajiban shalat. Begitu pentingnya Ramadhan bagi kita, sehingga begitu komprehensifnya aturan dan petunjuk yang mengikutinya. Bagi Islam, tidak hanya ia menjadi pilar agama,tapi ia juga sarat sekali dengan makna. Bagi yang melakukan, puasa menjadi pengalaman batin yang mengesankan. Sekaligus menjadi tradisi yang luar biasa menyenangkan. InsyaAllah, dengan ini kita semua akan menjadi orang bertaqwa! *****

(Tulisan ini pernah dimuat di harian “Serambi Indonesia”, 19/09/2007).

4 thoughts on “PUASA DALAM BERBAGAI AGAMA

Comments are closed.

Next Post

"DER FRIEDEN"

Tue Oct 23 , 2007
“DER […]

Kajian Lainnya