JELASKAH VISI MISI DINAS PEMERINTAH?

image: growindonesia.com
image: growindonesia.com

Jelaskah Visi Misi Dinas Pemerintah?
Oleh Said Muniruddin

Setiap organisasi wajib memiliki visi. Visi kemudian dijabarkan dalam misi. Disamping menentukan bentuk dan struktur organisasi, misi tersebut didetilkan dalam tujuan organisasi. Bagaimana tujuan ini hendak dicapai, kemudian dituangkan dalam kebijakan dan strategi. Strategi dirumuskan lebih lanjut dalam bentuk program kerja. Program ini diaktualisasikan melalui kegiatan-kegiatan. Pada akhirnya, semua kegiatan ini dijelaskan dalam dokumen uraian tugas (job descriptions) masing pegawai.

Inilah skema ideal kelahiran uraian tugas setiap pegawai yang bermula dari visi dan misi organisasi. Uraian tugas tidak muncul dengan sendirinya, atau dibuat tanpa merujuk kepada rangkaian turunan visi sebuah organisasi.

Oleh sebab itu, sebelum bekerja, setiap pegawai wajib memahami visi organisasinya, dalam hal ini adalah visi masing unit kerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh/Daerah (SKPA dan SKPD). Sama halnya dengan manusia, jika ingin selamat dunia akhirat, maka harus memahami apa tujuan hidupnya. Jika tidak, maka ia akan bekerja tanpa arah, terjebak dalam pekerjaan yang tidak pernah membawanya kepada tujuan.

Begitulah kritik terhadap dinas-dinas pemerintahan di seluruh Indonesia, kebanyakan pegawai bekerja untuk visi yang tidak pernah diketahuinya. Akibatnya, penggunaan anggaran oleh dinas menjadi tidak efektif dan jauh dari efisien. Alhasil, masyarakat tidak merasakan dampak signifikan dari keberadaan dinas-dinas tersebut. Inilah salah satu akar masalah mengapa pembangunan jalan ditempat, angka kemiskinan tidak menurun signifikan.

Disamping merampingkan struktur organisasi, salah satu reformasi birokrasi adalah merumuskan uraian tugas yang baik dan benar untuk seluruh pegawainya. Diakui ini merupakan pekerjaan sangat mendasar, karena fondasi dari seluruh pekerjaan pembangunan. Namun di Aceh, reformasi ini baru bergaung di tingkat provinsi saja dengan pelaksanaan Analisa Jabatan untuk seluruh SKPA sejak 2009 lalu. Sementara kabupaten kota di Aceh belum melakukan bahkan memikirkan hal ini. Masih banyak SKPD atau dinas di daerah yang belum memiliki dokumen yang baik tentang visi, misi, tujuan, strategi, program kerja, dan uraian tugas atau Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pegawainya.

Beberapa penemuan menarik penulis menemukan dari penelitian selama beberapa tahun terakhir. Ada SKPD yang benar-benar kehilangan dokumen visi dan misinya dan tidak tau menemukannya dimana. Pada saat yang sama tidak ada satu pegawai pun yang mampu menghafal atau mengingat visi dan misi tersebut. Bagaimana strategi dan program dinas dirumuskan tanpa merujuk kepada visi dan misi adalah pertanyaan tersendiri. Sementara pada dinas lainnya ditemukan kasus berbeda. Meski visi dan misi telah ada, namun tidak satu pegawai pun mengetahui apa visi dan misi tersebut. Dokumen visi dan misi tersimpan rapi dan tidak pernah tersosialisasi dalam bentuk poster atau pajangan dinding kantor.

Ada juga dinas yang seluruh pegawainya mengetahui dan memiliki dokumen visi dan misi SKPD nya. Tetapi, antara satu bidang dengan bidang yang lain memiliki dokumen visi dan misi yang berbeda. Ketika semua berada dalam satu forum diskusi, pegawai sendiri bingung kenapa organisasi mereka memilki dokumen visi dan misi yang berbeda. Disamping mereka baru sadar akan hal ini, mereka juga tidak tau mana dokumen visi dan misi yang asli.

Sebagian dinas sudah memiliki dokumen visi, misi, tujuan, kebijakan, strategi dan program kerja yang lengkap. Tetapi anehnya masih merupakan dokumen tahun 80-an. Ternyata proses copy paste visi sampai kepada program kerja sudah berlangsung lebih dari 20 tahun. Bisa dibayangkan bagaimana tidak relevannya kebanyakan aktifitas yang dilakukan oleh dinas karena masih merujuk kepada situasi dan kondisi jauh di masa lampau. Visi dan program ini jelas tidak sesuai dengan kebutuhan terkini masyarakat. Program ini juga sangat diragukan dapat menjawab tantangan dan permasalahan terbaru di daerah.

Sebagian SKPD sudah memilki visi misi yang baik. Sebagian besar lainnya masih perlu merumuskannya kembali. Ada dinas memiliki visi dan misi yang terlalu luas, sementara ada yang terlalu sempit. Oleh sebab itu, disamping perlu memperhatikan penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, singkat dan padat, visi dan misi dinas juga perlu memperhatikan sasaran pelayanannya. Dengan kata lain, formula SMART perlu diperhatikan dalam perumusan dokumen ini. Formula tersebut mencakup specific (spesifik), measurable (dapat diukur), achievable (dapat dicapai), reasonable (masuk akal), and timely (memilki batasan waktu). Khusus dalam kaitannya dengan “Aceh Green” penting bagi sebuah visi dan misi dinas memperlihatkan aspek keberlanjutan dari pembangunan. Aspek sustainabilitas ini tidak hanya terhenti pada penyataan visi, kebijakan dan program, namun harus terjelaskan jauh sampai kepada uraian tugas semua pegawai.

Perumusan visi dan misi dinas sebaiknya melibatkan seluruh pegawai. Banyaknya pegawai yang tidak tau serta tidak mau tau visi misi dari dinasnya dikarenakan rendahnya rasa memiliki terhadap organisasi. Rendahnya rasa memiliki terhadap organisasi diakibatkan oleh paradigma pemerintahan kita yang sangat top-down approach. Hampir seluruh kebijakan, aturan dan program di dikte dari atas ke bawah. Pegawai level bawah sering dianggap sebagai buruh yang tidak tau apa-apa dan tidak perlu tau. Padahal, paradigma partisipatif merupakan pola yang baik untuk mencerdaskan semua orang. Kenaikan gaji bukan satu-satunya jaminan untuk perbaikan kinerja instansi pemerintah. Apresiasi dan keterlibatan pegawai dalam proses perumusan dokumen-dokumen penting organisasi, akan memunculkan rasa memiliki terhadap organisasi. Rasa memiliki inilah yang menjadi ruh kinerja sebuah SKPD dalam melayani masyarakat.

Untuk mampu merekayasa proses partisipatif ini, manajemen atas dan menengah setiap dinas seperti Sekretaris, Kepala Bidang dan Kepala Seksi perlu keterampilan menjadi fasilitor yang baik. Dinas pemerintah harus mengadopsi warna LSM. Bentuk kekakuan birokrasi pemeritahan kita perlu diperlunak dengan memadukan unsur-unsur fasilitasi dan pendekatan partisipasi. Penerapan pendekatan ini tidak akan menghilangkan wibawa birokrasi, selama sistem reward and punishment juga berjalan dengan baik. Ide pola hubungan horizontal dan vertikal intern dinas yang lebih demokratis ini tentu akan mendapatkan resistensi karena budaya dan iklim birokratis dinas yang sudah mengakar. Tapi layak dicoba.

Kita semua terus berharap agar dinas pemerintah menjadi lebih tekun dan cerdas. Dinas-dinas adalah stakeholder pembangunan yang paling berperan dalam mewujudkan kemakmuran. Kekuasaan dan pundi-pundi uang untuk pembangunan hampir seluruhnya ada ditangan SKPA atau SKPD. Dengan visi, misi dan program yang jelas, serta pengelolaan kegiatan yang profesional, insyaAllah angka kemiskinan dan keterbelakangan akan turun. Jika tidak, maka akan terjadi seperti apa yang sedang kita alami hari-hari belakangan ini: angka kemiskinan di Aceh dan beberapa daerah lainnya di Indonesia masih tinggi, jauh di atas rata-rata nasional.*****

Next Post

CINA, RAKSASA BARU EKONOMI DUNIA

Fri Dec 2 , 2011
Cina, […]

Kajian Lainnya