ISLAM ITU “TIDAK!”

Islam itu “TIDAK!”
Oleh Said Muniruddin

 Islam is a religion that begins with “NO!”. Islam adalah agama yang diawali dengan “tidak”. Untuk menjadi seorang muslim anda harus memulainya dari proses “tidak”. Hanya dengan keberanian menyatakan “tidak”, anda akan mengenal Allah. Inilah pesan inti dari kalimah syahadat “La ilaha illa Allah.”

Perhatikan. Kalimah ini memiliki 4 kata, (1) “La”, (2) “ilaha”, (3) “illa”, (4) “Allah”. Diartikan dengan, “TIDAK bertuhan kecuali kepada Allah”, “TIDAK tunduk kepada sesuatu apapun kecuali kepada Allah”, “TIDAK menghambakan diri se­lain kepada Allah”. Ingat, kalimah ini diawali dengan “La” (tidak) dan diakhiri dengan “Allah”. “Tidak” adalah awal dari tauhied. Sementara “Allah” adalah akhir dari tauhied.

Mengapa dimulai dengan “tidak” dan berakhir dengan “Allah”? Dengan kata lain, mengapa dimulai dengan “tidak” kepada banyak tuhan (dengan “t” kecil), lalu berakhir dengan “iya” kepada satu Tuhan (dengan “T” besar). William Ury dari Harvard University (2007) menulis sebuah buku berjudul The Power of a Positive No: How to Say No and still get to Yes. Dapat kita terjemahkan dengan, “Kekuatan Tidak yang Bernilai Positif: Cara Mengatakan Tidak namun masih memperoleh Iya.”

Buku ini menguraikan bagaimana seharusnya kita memiliki keberanian mental untuk mengatakan “tidak” kepada banyak hal yang kita inginkan, untuk pada akhirnya memperoleh satu hal yang benar-benar kita butuhkan. Penulis ini sendiri bukanlah seorang muslim. Tapi tanpa sadar, sebenarnya ia secara rasional sedang menguraikan makna kalimah tauhid.

Memang benar. Selama hidup di dunia, kita terlalu rakus ingin memiliki dan mengakomodir semuanya. Padahal ujung-ujungnya, kita hanya butuh satu hal saja: “ridha Allah SWT”. Dalam hirarki eksistensi, dunia ini rendah sekali derajatnya dibandingkan Allah SWT sebagai pencipta, pemilik, dan pengaturnya. Dunia ini seperti kotoran, yang melalui mata batinnya Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Dunia adalah bangkai”, hanya anjing yang sibuk mengejarnya (Khoemaini, “Hakikat dan Rahasia Sholat”, 2007).

Segala kemajemukan dunia memalingkan seorang hamba dari fokus utama, yaitu Allah. Karena hanya orang yang mengenal Allah yang mampu “menguasai” dunia. Sementara yang tidak mengenal Allah akan “dikuasai” oleh dunia. Inilah makna men-“tidak”-kan dunia dan segala ilah yang ada di dalamnya, lalu pada akhirnya juga menyatakan “iya” tetapi hanya kepada Allah.

Inilah kalimah “La ilaha illa Allah”, a very powerful tool for character building. Kalimah tauhid menjadi sumber kekuatan yang sangat dahsyat bagi manusia. Kalimah tauhid adalah pernyataan keimanan yang sangat rasional, yang jika diamalkan secara sungguh-sungguh dapat membangun kekuatan moral dan mental. Karena secara alamiah, dari sisi realitas material, manusia tercipta dalam kondisi lemah (QS. anNisa’ -4: 28; QS. arRum -30: 54). Konon lagi, syahwat begitu intensif menenggelamkan manusia dalam sensasi fisik dan psikis, yang sering berakhir pada kerusakan tubuh dan mental. Berbagai penyakit lahir dan batin juga muncul karena kita terperosok dalam nafsu yang menjauhkan kita dari Allah.

Pada awalnya, ketika masih di alam ruh, kita sangat mengenal Allah. Bahkan kita bersumpah bahwa Allah lah satu-satunya ilah (QS. al‘Araf -7: 172). Itulah, inti manusia adalah ruh. Hanya melalui dimensi suci ini seseorang mampu mendekati Allah. Namun kini ruh itu telah “terpenjara” dalam kerangkeng fisik material kita. Akibatnya, manusia tidak menyadari lagi eksistensi spiritualnya. Kita merasa diri hanya sebatas makhluk material yang cuma butuh makan, minum, tidur, dan bersetubuh saja.

Dalam realitas fisik yang dikontrol nafsu inilah manusia perlahan melupakan Allah. Tuhan-tuhan baru (ilah) mulai bermunculan, baik itu tuhan internal maupun tuhan eksternal. “Tuhan internal” merupakan berhala-berhala psikologis yang ada dalam diri, seperti ego. Sementara “tuhan eksternal” berbentuk berhala-berhala sosio-politis, seperti menuhankan manusia dan alam, (Ali Syari’ati, 1970). Pada tarikan nafsu dan dunia materi yang tidak terkendali inilah manusia mengalami kegelapan (dhulm), kebodohan (jahil), keraguan (sceptism), penolakan (ateism), pengingkaran (kufr), sampai kepada penyembahan-penyembahan kepada selain Dia (syirk). Ini semua bentuk “akhlak yang rusak”, akhlakul madzmumah (Said Muniruddin, “Bintang ‘Arasy”, 2014).

Oleh sebab itu, Tuhan mengajarkan manusia kalimah “La ilaha illa Allah” untuk mengembalikan mereka ke fitrahnya. Kata “tidak” diawal kalimah tauhied menjadi statement perlawanan terhadap tuhan-tuhan palsu yang membelenggu itu. Sikap “berani” hanya dibutuhkan untuk berbuat baik. Sedangkan tindakan jahat hanya terjadi karena kita pengecut. Kata “tidak” pada awal kalimah tauhid merupakan petunjuk untuk memiliki keberanian moral.

Karena secara psikologis, manusia lebih mudah menjadi pengecut dengan mengatakan “ya” daripada “tidak”. Manusia adalah makhluk manut, gampang meniru, dan ikut-ikutan. Jawaban “iya” sering kita berikan untuk sekedar menyenangkan teman, bahkan mengakomodir kesalahan. Sementara pernyataan “tidak” mengajari kita untuk memiliki nalar kritis.

Dalam Alqur’an, Ibrahim as dicontohkan sebagai salah satu monoteist sejati yang menggunakan formula “tidak” dalam menganalisa kebenaran. Ketika mencari Tuhan, Ibrahim melihat “bintang” lalu berkata “tidak!”. Kemudian ia menyaksikan “bulan” dan  menya­takan “tidak!”. Secara tegas ia juga men-“tidak!”-kan “matahari” sebagai ilah-nya. Ibrahim berlepas diri dari semua dimensi alamiah yang semu dan tidak abadi itu, “Aku tidak suka kepada yang terbenam” (QS. alAn’am -6: 76-78).

“Bintang”, “bulan” dan “matahari” merupakan representasi benda-benda bercahaya yang menjadi kekaguman manusia. Banyak suku bangsa terdahulu yang menyembah benda-benda langit yang bercahaya. Di abad modern ini, gemerlapnya “kekayaan” dan “kekuasaan” merupakan wujud lain dari ‘bintang’, ‘bulan’ dan ‘matahari’. Ibrahim menjadi salah satu contoh muslim sejati, yang punya keberanian mental untuk menyatakan “tidak” kepada berbagai ilah palsu.

Sikap hanief dan kritis Ibrahim menyebabkan ia menemukan Tuhan yang sesungguhnya (QS. anNahl -16: 120). Itulah kata “tidak” di awal syahadah, sebuah for­mula pembelajaran kritis. “No dulu, baru Yes”. Berawal dengan penegasian terhadap hal-hal buruk, maka berakhir dengan afirmasi kebaikan. Dalam terminologi kaum arifin, ini disebut proses takhalli (pengosongan diri dari keburukan) yang berujung pada tajalli (perolehan kebaikan). Ketika batin sudah meninggalkan perilaku koruptif, maka pada akhirnya kita akan dekat dengan Allah. Ber-islam itu sebenarnya sangat sederhana, cukup dengan mengamalkan satu suku kata yang ada pada awal syahadah kita: “Tidak!”.*****

(Artikel ini pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, Jum’at, 20.2.2015: http://aceh.tribunnews.com/2015/02/20/islam-itu-tidak).

Next Post

INTERMEDIATE TRAINING DI BATAM

Fri Feb 20 , 2015
INTERMEDIATE […]

Kajian Lainnya