PUASA DALAM ENAM AYAT

image: diwanikraf.com
image: diwanikraf.com

Puasa dalam Enam Ayat
Oleh Said Muniruddin

TULISAN ini kami buat pada sepertiga akhir malam 27 Ramadhan 1436 H (14 Juli 2015), setelah membaca dan memahami kembali pesan Tuhan pada 6 ayat dalam QS. Albaqarah 183-188 tentang puasa dan Ramadhan. Terasa ada yang mendorong untuk menuliskan ini. Semoga apa yang kami dapatkan dari refleksi tengah malam tersebut, dapat dibaca oleh saudara-saudara kami yang lain. Belum pernah ada yang mengurai 6 ayat tersebut dalam kajian seperti ini. Mudah-mudahan dengan ini kita mendapatkan pesan filosofis dan sufistik yang sangat dalam dari ibadah puasa.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ada 6 ayat yang secara beruntun menjelaskan “prinsip-prinsip umum” tentang puasa dan Ramadhan, yaitu: QS. Albaqarah 183, 184, 185, 186, 187, dan 188. Masing ayat ini saling terkait dan secara rasional dan filosofis membahas relevansi ritual puasa untuk membentuk satu spesies manusia yang digelari “taqwa.” Ternyata, pada ujung keseluruhan ayat-ayat ini disebutkan, sosok “muttaqin” itu adalah jenis manusia suci, godlikea spiritual homo deus, anti kapitalisme: terbebas dari perilaku mencuri dan korupsi. Inilah wujud pribadi yang mampu “menahan diri”, yang paling dibutuhkan dunia sejak dulu sampai kini. Mari kita lihat 6 ayat tersebut, satu persatu.

PertamaQS. Albaqarah 183

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Albaqarah: 183).

“Ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikumush shiyam…” dan seterusnya. Disini Tuhan membuka wawasan kita dengan menjelaskan “target group” dan “tujuan” dari perintah puasa: kepada siapa puasa diwajibkan dan apa tujuannya?

Setiap manusia berakal tentu butuh kejelasan “siapa” subjek pelaku sebuah aktifitas, serta apa “tujuan” dari semua itu. Dijelaskan, puasa Ramadhan diwajibkan kepada mereka yang “beriman.” Bukan cuma kita, umat-umat terdahulu yang beriman juga sudah menjalankan perintah ini. Tujuannya, untuk mencapai derajat “taqwa.” Sulit menahan lapar dan nafsu secara benar, apalagi sebulan lamanya, kalau kita tidak betul-betul yakin bahwa ini perintah Tuhan. Inilah “iman” (percaya kepada adanya Tuhan). Balasan kerja keras ini pun tak main-main, kita dijanjikan Tuhan menjadi pribadi yang memancarkan cahaya Ilahiyah dalam kehidupan personal dan sosial, yang disebut “taqwa” (merasakan kehadiran Tuhan). Jadi puasa ini membawa kita dari belief (percaya) kepada omnipresence (merasakan) Tuhan.

KeduaQS. Albaqarah 184

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS.Albaqarah: 184).

“Ayyamam ma’dudat, faman kana minkum…” dan seterusnya. Disini Tuhan menjelaskan: berapa lama harus berpuasa dan siapa saja yang diberikan keringanan?

Meski tak disebutkan jumlah hari, dalam ayat berikutnya menjadi jelas bahwa puasa ini dilakukan selama bulan Ramadhan. Orang sakit dan musafir tidak diwajibkan berpuasa, namun harus menggantinya pada hari lain, atau membayar dalam bentuk fidyah bagi orang-orang uzur dan tidak mampu lagi berpuasa.

Ketiga, QS. Albaqarah 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Albaqarah: 185).

“Syahru Ramadhanalladzi unzila fihil Quran…” dan seterusnya. Ayat ini menjawab: apa sih hebatnya bulan ramadhan?

Jika penghulu hari adalah Jum’at, dan penghulu manusia adalah Muhammad, maka penghulu bulan adalah Ramadhan. Ini bulan suci tempat turunnya petunjuk suci menuju kebenaran tertinggi: AlQuran. Inilah tamu agung. Seperti tersebut pada akhir ayat QS. Albaqarah 185 ini, kita ditekankan untuk mensyukuri pemberian Tuhan ini dengan cara melayaninya secara baik dan benar selama sebulan. Didalamnya kita diminta memperbanyak aktifitas untuk mengagungkan-Nya.

Keempat, QS. Albaqarah 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Albaqarah: 186).

“Wa idza sa alaka ‘ibadi ‘anni fainni qarib…” dan seterusnya. Pertanyaan selanjutnya: jika ini bulan momentum, bisakah kita menemukan apa yang kita cari?

Puncak kebutuhan dan pencarian manusia adalah Tuhan. Sejak zaman kuna, dua pertanyaan filosofis ini sudah diajukan: Dimana Tuhan? Bagaimana kita bisa menemukan-Nya? Melalui lisan Muhammad saaw, seperti tersebut di ayat ini, Allah swt menjawab, “Aku dekat dengan kalian.”

Lihatlah bagaimana seorang ibu yang segera datang menghampiri, ketika mendengar anaknya menangis memanggilnya. Begitulah perumpamaan Tuhan. Tuhan bahkan lebih mampu mendengar panggilan hamba-hambanya, jauh melebihi kemampuan seorang ibu mendengar panggilan anaknya. Bagaimana seorang ibu punya kasih sayang kepada anaknya, kasih sayang Tuhan kepada hambanya lebih tak tergambarkan oleh kata-kata. Jika seorang ibu tergesa-gesa berlari menuju anaknya, Tuhan bahkan ‘berlari’ untuk memeluk setiap hamba yang menangis-nangis memanggilnya.

Tuhan tak bisa dijangkau lewat mata atau indera. Melainkan Dia didekati melalui dzikir dengan Nama-Nama terindahnya. Satu langkah kita menghampiri Tuhan melalui Kalimah Tayyibah dan do’a-do’a, seribu langkah Dia menghampiri kita. Dia dekat dan akan datang ketika kita memanggilnya lewat Asma-Asma yang Agung, tasbih, dan rintihan-rintihan doa. Apalagi di bulan ini dijanjikan sebuah waktu yang menyingkap hijab antara kita dengan Dia dan para malaikat dan Ruh Suci lainnya, yaitu “Lailatul Qadar.” Inilah yang pada ujung ayat QS.alBaqarah186 ini disebut sebagai “the moment of truth”, moment yang akan membuat kita selalu taat kepada Tuhan dan selalu berada pada jalan kebenaran.

Kelima, QS. Albaqarah 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa” (QS. Albaqarah: 187).

“Uhilla lakum lailatash shiyamir rafasu ila nisa-i kum…” dan seterusnya. Lalu muncul pertanyaan berikut, apakah dengan demikian bulan puasa adalah bulan untuk fokus kepada Tuhan saja?

Benar ini bulan untuk mencapai ‘klimaks’ dengan Tuhan. Tapi tidak benar jika kita melupakan intimasi dengan istri. Islam bukanlah agama para rahib dan pendeta yang mengasingkan diri dari hubungan duniawi. Bahkan di bulan suci ini kita dihalalkan untuk menggauli istri. Ini bulan fokus ke akhirat (mengontrol nafsu) tanpa melupakan kenikmatan dunia (penyaluran nafsu dengan benar). Namun pada ayat ini jelaskan kapan dibolehkan ‘mendatangi’ istri, yaitu malam hari. Tidak diperkenankan pada waktu-waktu lain seperti saat iktikaf, atau dalam bahasa hadis disuruh kencangkan ikat pinggang disaat sedang mencari malam seribu bulan pada 10 ganjil terakhir.

Memang ada makna sufistik lainnya terkait “jangan menggauli istri saat iktikaf di masjid”. Saya kira mereka yang beriktikaf adalah orang-orang paling sadar dalam beragama. Tidak mungkin masjid menjadi semacam hotel untuk melampiaskan nafsu. Masa sih ada orang melakukan iktikaf di masjid sambil menggauli istrinya. Masjid jelas bukan tempat berhubungan sex. Apalagi disana selalu ramai orang, khususnya bulan Ramadhan.

Namun, yang sesungguhnya dialami oleh orang-orang yang sedang beriktikaf (menjalani suluk) adalah didatangi oleh berbagai citra negatif dirinya (ego/ananiyah). Bagi kita yang masih diperbudak oleh birahi, biasanya pada level kekhusyukan suluk tertentu akan didatangi oleh berbagai sosok “perempuan” untuk menggoda. Pengalaman seperti ini bisa ditanyakan pada para salik atau mursyid. Banyak yang harus mandi wajib setelah itu. Di kedalaman zikir  saat mendekati Allah (Lailatul Qadar) ini, kita diminta untuk “tidak menggauli mereka”.

Di ayat ini juga dijelaskan teknis waktu berpuasa, yaitu sejak terbit fajar sampai masuk waktu malam. Dari kalimat akhir ayat QS. Albaqarah 187 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa, “menyenangkan Allah serta membahagiakan istri pada bulan Ramadhan adalah jalan menuju taqwa. Namun tidak boleh menghayal tentang istri atau perempuan seksi lainnya saat iktikaf (suluk/zikir).”

Keenam, QS. Albaqarah 188

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Albaqarah: 188).

“Wa la tak kulu amwa lakum baina kum bil bathil…” dan seterusnya. Pada ayat ini terkandung inti pesan dari puasa: tahan diri, jangan korup!

Seluruh makna “taqwa” yang disebut dimuka tercermin dari kesediaan kita untuk hidup seperti tergambar pada ayat terakhir ini. Arti lengkap ayatnya adalah, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan cara bathil, dan janganlah kamu membawa urusan hartamu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Albaqarah: 188).

Pada ayat terakhir ini disebutkan dua cara mengkonsumsi makanan haram: (1) secara illegal, dan (2) secara ‘legal’. Makan haram secara illegal adalah segala bentuk bisnis, perilaku, atau aktifitas yang didalamnya kita secara diam-diam ataupun terang-terangan menipu dan mengambil hak atau kepunyaan orang lain. Ini yang dalam ayat di atas diingatkan: “janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan cara bathil.”

Sedangkan makan haram secara ‘legal’ adalah mencuri dengan cara terlebih dahulu memperoleh pengesahan dari para pengambil keputusan (seperti hakim) atau badan-badan pemerintahan lain yang punya kekuatan hukum (seperti birokrasi pemerintahan dan DPR). Ini yang dalam ayat dikatakan dengan: “kamu membawa urusan hartamu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan cara dosa.”

Termasuk memakan harta haram secara ‘legal’ adalah menyusun dan mengesahkan anggaran yang disengaja untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Juga termasuk memakan harta haram secara ‘legal’ adalah dengan meminta stempel dan persetujuan penguasa anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pemborosan. Kita tau, boros adalah prinsipnya setan. Padahal inti dari puasa adalah “menahan diri”, tidak hanya dari makan minum saja, tapi dari segala nafsu dan perilaku kotor yang membatalkan jati diri fitrah kemanusian.

Proses menahan haus dan lapar cuma sebulan. Tetapi spirit taqwa harus terus muncul di setiap bulan. Kemampuan “menahan diri” untuk tidak berperilaku konsumtif yang penuh kebatilan harus tumbuh sepanjang tahun kemudian. Ini pesan akhir ayat-ayat tematis puasa seperti terangkum dalam QS. Albaqarah 188.

Kesimpulan

Puasa akan segera berakhir. Pertanyaan reflektifnya adalah: Apakah setelah Ramadhan kita masih akan berperilaku kapitalis? Apakah setelah bulan puasa kita masih akan memperoleh harta secara bathil? Apakah setelah puasa kita masih akan mencuri dan memanipulasi? Apakah pada hari-hari mendatang kita masih akan berkutat dengan korupsi? Apakah setelah ini kita masih akan mengkonsumsi harta-harta haram?

Jika iya, kita masih berakhlak binatang. Seperti kata Nabi saw, “Tak ada yang tersisa kecuali lapar dan dahaga”, bahkan semakin loba dan tamak. Maka seperti janji Tuhan, bukan lagi tugas puasa untuk membakar keburukan kita, tetapi nerakalah yang nanti akan memanggang semua itu.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

UNTUK KALIAN YANG BELUM BANGUN DARI SUJUD

Wed Jul 15 , 2015
Untuk […]

Kajian Lainnya