RABITHAH ALAWIYAH ACEH (RAA): CATATAN TENTANG PENDIRIANNYA

Logo-Rabithah-Alawiyah-494x350
image: rabithah-alawiyah.org

Rabithah Alawiyah Aceh:
Catatan tentang Pendiriannya
Oleh Said Muniruddin

Berawal dari Diskusi Santai di bawah Pohon Flamboyan. Waktu itu sekitar penghujung November 2003. Saya, kakak saya Syarifah Fadhilah, dan Sayed Indra Gunawan alJamalullail sedang duduk santai dibawah pohon flamboyan di dekat kantin, depan foto copy Koperasi Petualima Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.

Nama yang saya sebutkan terakhir, Sayed Indra Gunawan, memiliki rambut panjang, dengan jenggot yang terurai rapi berwarna kuning keemasan. Di kampus, ia dijuluki “Jesus”, karena memiliki wajah yang mirip sekali sketsa Nabi Isa yang dipajang di rumah-rumah orang Nasrani. Beliau hilang dalam gelombang tsunami di pantai Ulee Lheue pada hari Minggu, 26 Desember 2004. Menurut saksi mata, beliau memilih berdiri mengumandangkan adzan ke arah lautan, daripada lari seperti kebanyakan orang, ketika gelombang tsunami datang.

Kita kembali ke diskusi di bawah pohon flamboyan. Ketika kami sedang santai berdiskusi, Aspian Ibrahim, yang merupakan ketua Koperasi Petualima Fakultas Ekonomi datang menyapa, “hai, peu nyoe sayed ngen syarifah meusapat that lagoe? Peu na rapat? Jeut lon gabong?” (Ada apa ini. Sayed dan Syarifah kok kompak sekali. Ada rapat ya? Boleh gabung gak?). Aspian Ibrahim bukan Alawi, namun sangat kagum dan hormat kepada Alawiyyin. Ketika kami sedang berdiskusi, tiba-tiba lewat seorang mahasiswa yang juga sayyid. Aspian bertanya, apakah kami mengenal dia. Ternyata tidak ada dari kami yang mengenalnya. Lalu dia mengkritisi, kok sesama sayyid tidak saling kenal, padahal satu kampus lagi. Diakhir pembicaraan, saya mengangkat sebuah pertanyaan, “bagaimana jika kita bentuk sebuah perkumpulan yang menghimpun seluruh sayyid dan syarifah?”. Semua mengangguk, setuju!

Tujuan Pendirian. Dari diskusi ini, saya mengorganisir beberapa teman untuk mempercepat terealisirnya ide ini. Diantaranya adalah Sayed Ahmad Sabiq alHabsyi, Said Jamaluddin alHabsyi, dan Said Nazarullah asSagaf. Undangan kami persiapkan. Sebuah konsideran atau alasan mengapa organisasi ini harus didirikan turut kami lampirkan pada halaman depan undangan.

Pada Term of Reference (ToR) undangan tersebutkan bahwa organisasi ini direncanakan hanya sebagai perkumpulan muda-mudi Alawiyin. Di sana tercantum setidaknya ada 3 tujuan utama pendirian organisasi ini. Pertama, mempersatukan Alawiyin muda dalam satu organisasi yang modern dan terstruktur. Kedua, memperkuat kapasitas keilmuan dan intelektualitas Alawiyin muda melalui pelatihan dan usaha-usaha terarah lainnya. Ketiga,memperkuat kualitas keislaman Alawiyin Muda melalui pendalaman aqidah dan pengkajian spiritualitas lainnya. Dengan tiga tujuan tersebut, diharapkan Alawiyin Muda dapat menjadi manusia-manusia yan tangguh di masa depan dalam hal akidah, keilmuan dan kepemimpinan.

Ketika ingin mendirikan organisasi ini, kami tidak pernah tau bahwa di Aceh pernah ada persaudaraan Alawiyin yang bernama KIAS (disebut-sebut perkumpulan ini mati karena perbedaan prinsip dan pergumulan kepentingan lainnya). Saat mendirikan organisasi ini, kami juga tidak pernah tau jika di Indonesia ada organisasi yang namanya Rabithah Alawiyah yang berpusat di Jakarta.

Organisasi Alawiyin Aceh berdiri pada Sabtu: 3 Dzulqa’idah 1424 H, bertepatan dengan 27 Desember 2003 M . Undangan pendirian organisasi ini disebarkan kepada sejumlah alawi muda. Namun sekitar tiga puluh persen pesertanya adalah alawi tua. Ternyata mereka ingin melibatkan diri karena tertarik juga dengan ini pendirian organisasi ini. Beberapa diantaranya, seperti Said Abdul Haris –kini sedang memperdalam ilmu agama di Hadramaut Yaman,  bahkan telah berniat sejak dulu ingin membentuk organisasi ini, tetapi belum punya kesempatan untuk memobilisir orang. Mereka berterima kasih atas ide pertemuan ini. Alhasil, rapat dan deklarasi pendirian dilakukan di lantai 2 Bim’s Caféé, Jl. T. Nyak Arief No 159 Lingke, depan masjid Brimob (sekarang Polda Aceh). Tidak kurang dari peserta hadir pada pertemuan yang berlangsung dari pukul 15.00 s.d 18.00 WIB tersebut. Semua yang hadir setuju dan merasa bahagia sekali dengan ide pendirian ini.

Ada beberapa usulan yang berkembang saat itu. Misalnya, pada undangan tersebutkan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mendirikan organisasi “Ahlul Bait Aceh (disingkat: ABA)”. Kata-kata “Ahlul Bait” diputuskan untuk diganti dengan “Alawiyin”. Alasannya, karena sayyid dan sayyidah lebih tepat di sebut kaum Alawiyin karena keturunan Imam Ali as, daripada disebut Ahlul Bait. Diskusi lainnya berhubungan dengan nama organisasi. Usulan nama terus berubah mulai dari FKAA (Forum Komunikasi Alawiyin Aceh) sampai kepada FORMIKALA (Forum Shilaturrahmi Keluarga Alawiyin Aceh). Organisasi ini juga diperlebar tidak lagi khusus sebagai perkumpulan muda-mudi Alawiyin seperti ide awalnya, tapi menjadi perhimpunan seluruh keluarga besar Alawiyin Aceh.

Karena semua setuju terhadap ide pendirian organisasi ini, maka saya mewakili semua yang hadir membacakan deklarasi pendiriannya:

“Dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahim, dengan mengharap Ridha Allah swt, hari ini Sabtu, 3 Dzulqa’idah 1424 H, bertepatan dengan 27 Desember 2003, Forum Silaturrahmi Keluarga Alawiyin Aceh, disingkat FORMIKALA, secara resmi kita nyatakan berdiri”.

Secara kebetulan, tanggal berdirinya organisasi Alawiyin Aceh ini sama persis dengan tanggal berdirinya Rabithah Alawiyah Indonesia berpusat Jakarta, 27 Desember. Sekretariat pertama Rabithah Alawiyah Aceh adalah di Jl.T.Nyak Arief No.159 J, Lingke, Banda Aceh (Studio Guntomara depan Masjid Brimob/Polda Aceh sekarang).

Perubahan nama dari Forum Shilaturrahmi Keluarga Alawiyin Aceh (FORMIKALA) ke Rabithah Alawiyah Aceh (RAA). Pertemuan lanjutan untuk mematangkan konsep organisasi terus dilakukan. FORMIKALA ini awalnya di inginkan bersifat independen atau berdiri sendiri. Kemudian dari Sayed Hasnan alHabsyi diperoleh informasi bahwa di Indonesia telah lama ada sebuah organisasi perkumpulan Alawiyin, yang bernama Rabithah Alawiyah. Maka untuk kesatuan yang lebih besar, serta membuka koneksi yang lebih luas dengan rabithah-rabithah yang ada diseluruh Indonesia, maka diputuskan FORMIKALA merupakan bagian dari Rabithah Alawiyah Indonesia. Nama FORMIKALA beberapa waktu kemudian diganti menjadi Rabithah Alawiyah Aceh (RAA). Pada pertemuan di rumah Said Fairuz di Kuta Alam, juga dihadiri oleh (alm) Kombespol Said Husaini, Sayed Hasnan alHabsyi terpilih sebagai ketua umum pertama. Saya sendiri yang ketika itu berumur relatif muda (24 tahun), dimintakan menjadi Sekretaris Umum, karena dianggap sebagai deklarator pendirian yang diharapkan dapat terus mengawali proses kelahiran dan pematangan struktur serta konsep internal organisasi. Tentang ketua umum pertama, Sayed Hasnan alHabsyi, M.Sc, mengikuti pendidikan sarjana di Jogyakarta dan lulusan program master bidang psikologi di Malaysia. Beliau pernah bekerja di PT Arun dan sejumlah perusahaan di berbagai provinsi di Indonesia. Beliau ini orangnya sangat cerdas, memiliki kedalaman ilmu agama dan umum. Alawiyin sering mengadakan diskusi dengannya. Setahun setelah organisasi ini berdiri, beliau sekeluarga yang bertempat tinggal di Taman Siswa, meninggal dalam tsunami.

Pengurus pertama Rabithah Alawiyah Aceh. Susunan pengurus Rabithah Alwiyah Aceh yang pertama tertuang dalam SK DPP Rabithah Alawiyah No.017/SK/DPP-RA/II/04, tertangal 28 Februari 2004 M/ 07 Muharram 1425 H. Pengurus pertama dilantik langsung oleh DPP Rabithah Alawiyah pada acara Maulid Nabi Besar Muhammad saw, di rumah Kombes Polisi Said Husainy alHabsyi di Banda Aceh. Seperti tersebutkan diatas, Ketua Umum pertama adalah Sayed Hasnan, M.Sc, dan Sekretaris Umum Said Muniruddin, SE. Ak, dengan Bendahara Umum Sayed Azhar alAthas (anak Said Mudhahar, mantan Bupati Aceh Selatan). Sementara Ketua Dewan Pengawas adalah Kombes Polisi Sayed Husaini, dan wakilnya Prof. Dr. Said Muhammad, dengan anggotanya Sayed Syarief alHashiemy. Sementara Ketua Dewan Penasehatnya Said Ali Abdullah. Susunan lengkap pengurus dapat dilihat pada SK RA-Aceh pertama.

Perubahan Pengurus. Banyak keluarga Alawiyin meninggal dalam tsunami, termasuk Ketua Umumnya. Karena organisasi Rabithah Alawiyah telah ada di Aceh, maka respon untuk membantu keluarga Alawiyin dari luar sangat tinggi. Hanya saja, bantuan itu tidak terkoordinir melalui satu pintu Rabithah Alawiyah Aceh. Karena kondisi saat itu yang tak terkendali, semua orang bekerja ikhlas untuk kemanusiaan dan pendistribusian bantuan-bantuan. Di Alawiyin sendiri terbentuk satu task force untuk penyaluran bantuan yang dikoordinir oleh Sayid Abdul Haris alAydrus. Ketika beliau berangkat ke Yaman, pekerjaan ini diserahkan kepada Sayed Mirza alAydrus. Sementara banyak Alawiyin lainnya juga bekerja secara personal dalam pendistribusian bantuan. Saya sendiri saat itu sedang di Jakarta mengikuti pelatihan bahasa inggris sebelum berangkat menempuh pendidikan master di Birmingham, Inggris. Mengingat organisasi telah kehilangan Ketua Umum, serta banyak pengurus yang tidak terkoordinir aktif, maka saya selaku Sekretaris Umum bersama dewan Pembina, Prof. Dr. Said Muhammad, mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan di sebuah tempat di daerah Peurada, mendiskusikan normalisasi susunan pengurus serta agenda penyegaran organisasi lainnya. Dalam rapat itu, dipilih Sayed Mirza alAydrus sebagai Ketua Umum baru yang kemudian disahkan melalui SK DPP-RA/V/2005 tertanggal 16 Mei 2005. Dalam rapat itu juga diputuskan kewajiban bagi Rabithah Alawiyah untuk membuat satu rekening organisasi sehingga pengelolaan dana bantuan tsunami menjadi jelas dan dapat dipertanggungjawabkan pada akhir periode kepengurusan.

Dan diharapkan, selama setiap satu periode kepengurusan, 5 tahun, Rabithah Alawiyah Aceh dapat dikelola secara profesional guna mencapai tujuannya: “meningkatkan kesejahteraan lahir batin Ummat Islam Aceh umumnya dan Keluarga Alawiyin Aceh khususnya”. Disaat yang sama, tercapai juga misinya: “Membina Ukhuwah Islamiyah, meningkatkan kesadaran dan peran serta Alawiyin Aceh dalam kehidupan bermasyarakat, menciptakan kader-kader Alawiyin Aceh sebagai insan dan pemimpin yang berakhlaqul karimah, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran”. Pada akhirnya, tercapai pula visi Rabithah: “menjadi wadah penggerak dan pemersatu Alawiyin di Aceh”.

Penutup. Demikianlah, Rabithah Alawiyah Aceh dulu pernah berdiri, dan kini sudah tidak ada lagi. Matinya organisasi ini terjadi karena regenerasi kepemimpinan yang tidak berjalan dengan baik. Periode keorganisasian di bawah kepemimpinan Sayed Mirza telah jauh melampaui periode yang diamanahkan konstitusi organisasi. Tidak adanya pertanggungjawaban kepengurusan juga menyebabkan hilangnya amanah dari publik alawiyin saat itu, sehingga lahir mosi tidak percaya serta desakan pembekuan organisasi. Disamping itu tuntutan adanya kejelasan dan keabsahan nasab dari lembaga nasab bagi setiap orang yang memimpin organisasi ini juga sangat penting.

Saat ini, organisasi ini sudah tergantikan fungsinya oleh beberapa organisasi yang memiliki fungsi serupa seperti Asyraf Aceh, Al-Mukarram Pidie, Ba’Alawi Kota Banda Aceh, Hadrah Aceh, dan sebagainya. Untuk organisasi sosial seperti ini, model kepemimpinan yang efektif adalah berbentuk “presidium.” Yaitu, sebuah model organisasi yang dipimpin oleh ketua umum yang lebih dari satu orang. Banyak sekali sekarang berkembang organisasi dengan ketua umum (presidium) berjumlah 3, 5, atau 7 orang. Ini disebut model group leadership, kepemimpinan bersama. Pola seperti ini memungkinkan terjadinya sharing & control of power, atau distribusi beban secara merata kepada sejumlah sosok yang dituakan. Sebab, jika organisasi kekeluargaan yang besar seperti ini dipimpin oleh satu orang saja, maka cenderung muncul sikap “one man show.” Selain itu juga ada beban yang besar yang harus dipikul oleh satu orang ketua untuk menghadapi berbagai isu dan persoalan. Bentuk kepemimpinan yang tunggal inilah yang membuat organisasi seperti ini sejak dulu selalu bubar ditengah jalan.*****

Next Post

SUNSET TERPOTRET DARI KAJHU

Wed Dec 30 , 2015
SUNSET […]

Kajian Lainnya