“BINTANG BULAN”

image: http://liputansatu.com/

“Bintang Bulan”
Oleh Said Muniruddin

Ramalan Kuno

Pada tahun 1994, sebuah naskah kuno tanpa sengaja ditemukan oleh seorang jurnalis Italia bernama Enza Massa di perpustakaan Biblioteca Nationale Centrale Roma. Pada lembaran naskah terdapat sejumlah ramalan, salah satunya menyebutkan, “Pada akhir masa, bintang bulan akan menguasai dunia”. Manuskrip tertanggal 1629 dan berjudul “Nostradamus Vatinicia Code” itu kemudian diketahui ditulis oleh Michel de Notredame, seorang futurolog kenamaan Eropa abad-14.

Tidak seperti karya-karyanya yang lain, kitab ini tidak pernah ia publikasikan. Nostradamus mewariskan manuskrip tersebut kepada anak­nya. Anaknya yang kemudian menyerahkan kepada Pope Urban VIII untuk disembunyikan, dan baru ditemukan kembali hampir 400 tahun kemudian.

“The Lost Book of Nostradami”. Demikian judul yang diberikan The History Channel pada siaran resmi tanggal 28 Oktober 2007 silam. Bertahun-tahun sebelumnya, pakar prophecy dari berbagai universitas terkemuka dunia telah duduk bersama meneliti isi buku yang sudah lama menjadi rahasia kekristenan ini. Buku ini sendiri berisi 80 ilustrasi berwarna, diantaranya terdapat imej pasukan bulan bintang dengan kekuatan dan keberanian yang tidak terhentikan pada akhirnya di­sebutkan, “menguasai puncak bukit masa depan dan berada pada posisi teratas dari roda akhir kehidupan”.

Dipercayai, Nostradamus sang mistikus besar tidak menampakkan ramalan-ramalannya kepada institusi kepausan Roma. Karena apa yang ia prediksikan adalah kehancuran keimanan gereja. Konon lagi, sebuah sketsa bertulisan latin menyebutkan nama pemimpin penaklukan dunia sebagai “the hidden one”, bermiripan dengan sosok gaib dalam konsep “al-Mahdi” dalam beberapa petunjuk Nabi.

Yang membuat heran pakar sejarah dari Barat adalah, bagaimana mungkin seorang seperti Nostradamus yang anti Islam justru secara jujur meramalkan bahwa orang-orang yang sekarang dilabeli teroris, tertindas, bodoh, dan terbelakang, akan mewarisi pera­daban masa depan.

Memang tidak bisa dipungkiri, saat ini barat was-was dengan eksistensi “bintang bulan”. Mereka juga mengalami “islamophobia”, khawatir jika ramalan-ramalan kuno para intelektual-mistik mereka menjadi nyata. Maka usaha-usaha untuk membumi hanguskan dunia Islam tidak pernah berhenti mereka lakukan.

Tetapi dunia tidak bisa menutup mata. Bukti-bukti revivalisme bangsa “bulan bintang” semakin nyata, tidak pada kekuatan bersenjata, tetapi pada sisi kebenaran keimanan dan etika pengetahuan. Tidak hanya jumlah orang yang berbondong-bondong meng­anut Islam, ide-ide islami dalam ranah bisnis dan ekonomi juga mulai diadopsi di berbagai sentra perdagangan dunia.

Makna “Bintang Bulan”

Manusia hidup dengan simbol-simbol. Bahkan alam dengan segala fenomena yang ada di dalamnya juga sebuah “simbol” atau “tanda-tanda” (ayat) yang menjelaskan esensi wujud yang ada dibelakangnya, yaitu Tuhan. Begitu berperannya simbol, sehingga setiap orang dan organisasi punya lambang dan atribut yang digunakan untuk menyederhanakan keseluruhan tentang diri mereka.

Simbol merupakan substansi tentang sesuatu yang diyakini atau ingin dituju. Dari banyak simbol, “bintang” menjadi yang paling populer. Berbagai organisasi mengadopsi lambang ini. Negara komunis besar seperti China, sejak 1949 telah mengadopsi “lima bintang” sebagai cita-cita sosialnya. Pun negara liberal terbesar seperti Amerika terpaut hatinya dengan “bintang-bintang” sebagai identitas negara-negara bagiannya. Walaupun sama-sama skeptis terhadap transendensi nilai-nilai, mereka tetap mensakralkan simbol-simbol.

Namun bintang yang terkombinasi dengan bulan sudah lama dikenal sebagai identitas dunia Islam, khususnya di era kekhalifahan Ottoman. Bahkan pada puncak bangunan ibadah umat Islam terpajang simbol ini. Seolah-olah mengisyaratkan, bahwa puncak dari tujuan ibadah setiap muslim adalah menjadi bintang yang menerangi. Ada apa dengan bintang?

Bintang adalah benda langit yang memiliki “cahaya otonom” sehingga mampu menerangi benda langit lainnya. Sementara bulan tidak punya cahaya, ia bersinar karena ada cahaya bintang (matahari). Secara kasat mata, bintang terlihat sangat kecil dibandingkan bulan. Tetapi substansinya sangat besar. Alam yang besar menjadi terang karena pengaruh dia. Pada elemen “bintang bulan” tersirat wujud ideal bagaimana seorang pemimpin harus menjalani hidup, yaitu menjadi “penerang” bagi rakyatnya.

Bintang (atau matahari) juga menjadi simbol pemimpin yang tidak pernah lelah bekerja. Bintang tidak pernah sejenakpun beristirahat dari aktifitas “melontarkan energi”. Pengabdiannya mampu menghidupkan makhluk-makhluk yang ada dalam orbit pancarannya. Cahayanya memiliki kekuatan untuk mencairkan bumi yang beku, menghangatkan dunia yang dingin, menghidupkan sel kulit yang mati, melancarkan peredaran darah, membunuh kuman, serta menyembuhkan berbagai penyakit. Kehidupan yang sempurna dari hewan, tumbuhan, dan manusia tergantung pada kehadiran “matahari” mereka. Itulah esensi seorang pemimpin sejati, menjadi “nergi” yang “menghidupkan” segenap alam masyarakatnya. Menjadi rahmatallil ‘alamin.

Untuk menjadi cahaya, seorang pemimpin harus menjalani hidup melebihi tapal batas diri dan kelompok. Menjadi “bintang” bagi dunia bukan menjadi pemimpin yang hidup dengan slogan-slogan Islam. Seseorang dikatakan sebagai bintang ketika menjadi “matahari terdekat” dengan masyarakat dalam tata suryanya. Seorang bintang adalah “matahari” yang menjadi pusat orbit komunitasnya. Ia menjadi pelita yang dicari dan selalu dikelilingi, dijadikan suri tauladan. Inilah pemimpin sejati, penentu arah perubahan, trendsetter, bukan follower.

Kesimpulan

Sebagaimana umumnya dunia Islam, Aceh masih didera beragam persoalan. Mulai dari korupsi, fanatisme mazhab, sampai kepada buruknya tata kelola pemerintahan. Namun kita masih berupaya optimis terhadap masa depan, bahwa kita akan menjadi provinsi “bercahaya”, menjadi bintang yang akan menerangi Indonesia. Tetapi kesibukan memperjuangkan simbol-simbol telah melupakan substansi yang sepatutnya ditegakkan, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Sepuluh tahun setelah MoU Helsinski ditandatangani, Pemerintah Aceh dan barisan eks-GAM, dengan segala power yang mereka miliki, seharusnya sudah menjadi “bintang”, menjadi “cahaya” yang memajukan rakyat mereka. Dengan limpahan dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (TDBH MIGAS), Aceh pada 2016 ini semestinya sudah terbebas dari predikat salah satu provinsi yang masyarakatnya termiskin di Indonesia.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Angka kemiskinan yang ditargetkan berada dibawah 10 persen menjelang berakhirnya kabinet Zaini Mualem, kini masih berkisar pada 18 persen, jauh di atas rata-rata nasional (11 persen). Seharusnya kinerja mereka-mereka yang ada di Pemerintahan dan DPRA lah yang sudah berkibar terang, bukan bendera itu. Sepertinya ramalan kuno tentang kejayaan “Bulan Bintang” dimasa depan tidak akan terjadi di bumi Iskandar Muda. Saya khawatir, dengan masih begitu birokratis dan pragmatisnya praktik-praktik kekuasaan, di bawah bendera inilah kita akan semakin miskin dan ketinggalan.*****

Next Post

SAUDARA TUA UIN & UNSYIAH

Fri May 6 , 2016
SAUDARA […]

Kajian Lainnya