“THE LAST SUPPER”

“The Last Supper”
Oleh Said Muniruddin

Makhmud Sharshekeev (22th), setidaknya untuk saat ini, merupakan mahasiswa asing terakhir pada International Accounting Program (IAP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Tepat pada Rabu pagi, 27 Juli 2016, ia bertolak dari Banda Aceh ke Kuala Lumpur, untuk selanjutnya terbang dan transit di Uzbekistan, dalam perjalanan pulang ke negara asalnya Kyrgystan.

Ia merupakan satu dari 7 mahasiswa asing yang sebelumnya telah memperoleh sarjana dari Program Studi Akuntansi Internasional, FEB-Unsyiah. IAP merupakan sebuah program yang lahir dari visi internasionalisasi pendidikan oleh Prof. Dr. Said Muhammad, MA (dekan saat itu) yang terintis melalui pre-international class (PIC). Program ini terformalkan lebih lanjut pada saat Prof. Dr. Radja Masbar menjabat sebagai dekan. Saat itu ibu Zuraida, kemudian ibu Cut Afrianandra bersama saya secara khusus diamanahkan untuk membidani kelahiran dan membesarkan program ini baik secara konseptual dan teknis. Belakangan program ini telah dimenej oleh ibu Rahmawaty dan bapak Heru Fahlevi.

Sebelum Makhmud, program ini telah meluluskan Temirlan Bokenbay (Kazakhstan), Dilshod Nazarov (Tajikistan), Sukhrobi Rustamzoda (Tajikistan), Zohiri Tohir (Tajikistan), Jovid Abdulbehobov (Tajikistan) dan Zikrullo Nabiev (Tajikistan).

*****
Kembali ke Makhmud. Pemuda langsing ini telah berada di Aceh selama 4 tahun. Pada Ramadhan 2016 silam ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di kampus Darussalam. Skripsinya yang ikut saya bimbing berjudul ““The Influence of Market Overreaction Effect, Operating Cash Flows, and Dividend Policy on Stock Prices: A Study on Borsa Istanbul Stock Exchange 2011-2014” mendapat nilai A. Demikian juga dengan hasil ujian sidang untuk mata kuliah lainnya.

Ia termasuk mahasiswa yang tidak banyak bicara, bahkan tidak begitu lancar berbahasa Indonesia. Namun ia termasuk mahasiswa yang cerdas.

*****
Ada pengalaman menarik dengannya. Suatu ketika ia mengalami kecelakaan di Simpang Jambo Tape, Banda Aceh. Motor yang ia kendarai saat pulang kuliah bersenggolan dengan sebuah mobil box. Lampu samping mobil tersebut pecah, sementara motor dia baik-baik saja.

Saya kebetulan melewati lokasi kejadian dan melihat pemilik mobil sedang berdebat dengannya di pingir jalan. Saya turun dan ikut terlibat dalam percekcokan itu. Ketika melihat saya, wajah Makhmud sedikit terlihat gembira. Ternyata, dia sedang diminta pertanggungjawaban oleh si pemilik mobil. Sementara Makhmud mengaku tidak salah. Saya langsung menghampiri pemilik mobil dan mengatakan bahwa saya ini dosen di Fakultas Ekonomi Unsyiah dan anak ini murid saya. Saya ingin mengetahui apa yang terjadi dengannya.

Saya menanyakan apa yang terjadi. Ternyata mereka sudah lama berdebat. Si pemilik mobil kesal karena semua pertanyaan dia tak dijawab oleh Makhmud. Sebaliknya, apa yang diomongin oleh si Makhmud ini juga tak diketahui maknanya oleh si pemilik mobil. Si Makhmud tidak bisa bahasa Aceh, dan si pemilik mobil tak bisa bahasa Inggris.

Perseteruan ini selesai setelah saya katakan kepada pemilik mobil untuk menghargai mahasiswa asing yang sedang menuntut ilmu di Aceh. Kalau dia salah maka maafkan saja. Kalau anda yang salah, kami pun memaafkan anda. Karena tidak ada kerusakan yang berarti bagi kedua kendaraan. Pun tak ada manfaat membawa urusan kecil ini ke kepolisian yang justru semakin menambah biaya. Akhirnya damai, salaman, selesai. Makhmud lega. Tapi gerak lengannya terlihat pegal. Mungkin akibat benturan.

Selanjutnya saya hanya mengingatkan agar dia lebih berhati-hati di jalan raya. Karena lalu lintas di Banda Aceh penuh dengan ‘pengendara gila.’ Kalau bukan kita yang gila menabrak orang, maka kemungkinan kita yang ditabrak orang gila lainnya.

*****
Sambil menempuh studi di Unsyiah, Makhmud menjadi pembimbing di SMP Fatih Bilingual School, Lamlagang – Banda Aceh. Ia cukup senang berada di Aceh. Namun penghujung studinya berakhir dalam suasana duka. Dalam minggu-minggu menjelang kepulangannya, semua wajah guru dan pembina di Sekolah Fatih dalam keadaan risau dan sedih. “Tak terlihat ada senyum”, katanya.

Penyebabnya adalah kekisruhan yang terjadi Turki paska drama kudeta, 15 Juli 2016. Presiden Erdogan terus menangkap semua orang yang dinilai tidak sepaham dengannya. Ia menuduh lawan-lawannya sebagai “teroris.” Ia tidak main-main. Hanya dalam seminggu diberitakan puluhan ribu sudah menjadi tahanan. Militer, hakim, guru, dosen, jurnalis, mahasiswa, ulama, birokrat, politisi, siapapun yang dianggap terkait dengan Gulen akan diciduk. Tidak hanya berhenti sampai disitu, Erdogan menutup sekolah-sekolah swasta yang terkait dengan Gulen dan lawan-lawan politiknya.

Fatih School merupakan sekolah yang didirikan dari ide-ide Gulen terkait toleransi, pendidikan dan persaudaraan dunia. Tak bisa kita pungkiri betapa banyak anak-anak Aceh yang telah meraih berbagai prestasi dari didikan di sekolah ini. Namun Gulen yang bagi pengikutnya adalah seorang “imam”, dalam frame politik Erdogan adalah “teroris”. Jika Gulen dimata para jamaah “Hizmet” Turki merupakan “ulama sufi”, bagi Erdogan dan konstituennya terlabeli sebagai “ulama sekuler.”

Politik “borgol-borgolan” ala Erdogan terhadap warga Turki yang berseberangan dengannya inilah yang saya kira telah membuat galau para guru-guru semacam sekolah Fatih yang ada diseluruh dunia. Mereka para guru ini bukan orang politik. Mereka juga bingung bagaimana mereka bisa disebut teroris. Mereka juga heran kenapa bisa mendapat cap sekuler, padahal sekolah seperti Fatih justru memisahkan laki dan perempuan. Sekolah seperti Fatih juga mengajari ilmu agama dan peribadatan secara cukup baik bagi siswa-siswanya.

Jelas ini urusan politik Erdogan di Turki dan mereka telah dijadikan korban. Situasi seperti ini akan menyudutkan mereka. Sebab, sustainabilitas sekolah dengan situasi politik seperti itu akan menjadi pertanyaan. Demikian juga dengan masa depan mereka, apakah sudah ada dalam list nama yang akan ditangkap Erdogan ketika kembali ke Turki nantinya. Banyak kekhawatiran lain yang muncul akibat perubahan iklim politik di Turki. Program seperti IAP Unsyiah sejauh ini juga banyak mendapat pasokan students melalui jasa sekolah-sekolah ini.

Yang juga cukup mengkhawatirkan lagi sebenarnya adalah bentuk-bentuk fanatisme terhadap Erdogan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia mudah tersulut ekstrimisme akibat berita-berita yang disetting sedemikian rupa. Akankah para guru yang telah mendidik dan mencerdaskan anak-anak kita ini akan menjadi korban dari kampanye negatif Presiden Erdogan terhadap semua yang terkait dengan Gulen dan jaringan keilmuannya?

Wallahu ‘alam. Demikianlah sedikit dari bagian diskusi kami saat “The Last Supper” (makan bareng terakhir) di Gravity Coffee and Bistro, Jl.Panglima Nyak Makam, Banda Aceh pada Minggu 24 Juli 2016.

Semoga perjalanmu pulang dimudahkan Tuhan. Semoga ilmu dan pencerahan yang kami berikan selama 8 semester di Aceh menjadi sedikit bekal dalam karir dan amal perjuanganmu di Kyrgystan. Perkuliahan kita sudah putus. Tapi persaudaraan kita abadi. Good bye Makhmud. Allah blesses you!

Dari pelukan terakhir malam itu, terlihat matanya berkaca-kaca. Ada rasa terima kasih kepada semua guru dan sahabat-sahabatnya disini yang tak terucap dengan kata-kata.

Dan bagian paling penting dari cerita ini adalah: “Terima kasih, jacket “Boss” yang sepertinya engkau beli secara online untuk saya, bagus sekali. I like it!”*****

3 thoughts on ““THE LAST SUPPER”

  1. Pak Said, you are awesome. We are international students proud of you. I wish one day we will meet again. Whene ever if you get a holiday please come to Tajikistan. Kita jalan2 🙂

Comments are closed.

Next Post

MAGRIB MENGAJI

Wed Jul 27 , 2016

Kajian Lainnya