PILIH KAYA ATAU MISKIN?

PILIH KAYA ATAU MISKIN?
Oleh Said Muniruddin

Suatu ketika Rasul SAAW didatangi Jibril as: “Ya Muhammad, Tuhanmu menyampaikan salam”. Muhammad menjawab salam. Jibril melanjutkan, “Tuhanmu menanyakan, hidup seperti apa yang engkau inginkan ya Muhammad? Apakah engkau ingin seperti Sulaiman yang “kaya raya” atau ingin seperti Aiyyub yang “miskin papa”?

Pertanyaan ini sengaja diajukan Tuhan, mengingat Muhammad SAAW adalah kekasihNya. Tuhan akan memberikan apapun yang diminta Muhammad SAAW. Dalam sejarah terdapat nabi-nabi yang memiliki banyak harta. Juga ada nabi-nabi yang hidup dalam kekurangan. Tuhan ingin menjadikan Muhammad SAAW sosok nabi seperti apapun keinginan Beliau.

Pada dasarnya, Muhammad SAAW dapat memilih menjadi “nabi yang kaya”, atau “nabi yang miskin”. Namun baginya, memilih salah satu kondisi tersebut tidaklah etis. Jika memilih kaya, berarti menafikan kezuhudan Aiyyub. Jika memilih miskin, maka seolah-olah kaya itu tidak baik. Padahal Muhammad SAAW menyuruh ummatnya bekerja keras dan tidak terjebak dalam kemiskinan yang berpotensi kufur.

Lalu apa jawaban Muhammad? “Aku ingin menjadi Nabi, yang hidupnya sehari kenyang, sehari lapar” (Riwayat tentang ini diantaranya dapat ditemukan dalam tariqah alawiyah).

Terdapat nilai filosofis yang sangat tinggi pada jawaban singkat ini. Muhammad SAAW menginginkan hidup “kaya” ala Sulaiman as (‘sehari kenyang’), namun juga ingin merasakan “kemiskinan” Ayyub as (‘sehari lapar’). Kenyataannya, Muhammad SAAW itu perpaduan dua kutub kaya-miskin: Sulaiman dan Aiyyub. Pada satu sisi, beliau menjadi nabi yang paling sukses membangun kekuasaan. Seorang yatim piatu yang jadi raja. Dengan kekuasaan ini dapat dikatakan, Arab miliknya. Beliau pantas dinobatkan sebagai orang paling kaya.

Namun anehnya, hidupnya lebih banyak dihabiskan dengan berpuasa daripada memakan semua harta yang berada dibawah otoritasnya. Bahkan ketika wafat, kepemilikannya sangat sedikit. Hidupnya seperti orang miskin. Hal serupa terjadi pada Ali bin Abi Thalib, seorang khalifah (penguasa) namun terkenal tidak punya harta. Sebenarnya mereka ini bukan miskin, sebuah riwayat menyebutkan, seandainya mereka mau menyimpan sepersepuluh saja dari harta yang mereka peroleh (karena ada hak mereka dari harta umat seperti rampasan perang, khumus, dan lainnya) maka mereka akan sangat kaya raya. Ternyata tidak, mereka lebih banyak mendistribusikannya.

Meskipun demikian, mereka berdua tidak anti kaya. Mereka mendorong ummat untuk kaya raya, namun tidak melupakan yang miskin papa. Mereka menyuruh kita memiliki banyak hal, namun jangan lupa “berbagi” dan “berpuasa”. Ini konsep hidup Nabi dan amirul mukminin. Ini wujud manusia sempurna, “manusia paradoks”, manusia yang hidup pada titik keseimbangan antara dua nilai yang bertentangan. Miskin sekaligus kaya, sabar sekaligus syukur.

Oleh sebab itu terkenal kata-kata imam Ali kwh: “Ya Allah, aku tidak tau apa yang terbaik bagiku, apakah menjadi kaya atau miskin. Bisa jadi kalau kaya aku sombong. Bisa pula kalau miskin aku berburuk sangka kepada-Mu. Terserah Engkau ya Allah mau Kau jadikan aku kaya atau miskin. Yang penting jadikan aku selalu sabar dalam kekurangan dan senantiasa bersyukur dalam kelebihan” (S.A. Al-Jailani. 2012. “Menjadi Kekasih Allah”, hal. 198, cet. XII, diterjemahkan oleh M. Ahmad dari judul asli al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmani. Citra Media: Yogyakarta).

Nabisaw berkata, “iman itu memiliki dua bagian, sebagian berupa sabar dan sebagian berupa syukur”.

Next Post

LEADERSHIP FOR CORPORATIONS

Fri Dec 9 , 2016

Kajian Lainnya