‘HABIB’ SIMEULUE

habib-ara-000‘Habib’ Simeulue

Oleh Said Muniruddin

Tanpa sengaja pada Kamis 19 Januari 2017 saya bertemu dengan seseorang, yang kemudian setelah berkenalan saya ketahui bernama Raswiyadi. Ia mengaku bekerja di Departemen Agama Kabupaten Simeulue, Aceh. Saat ini sedang mengambil S2 Fiqh di UIN Arraniry. Sebenarnya bukan tanpa sengaja bertemu. Tetapi Sayyid Ahmad, anak saya yang baru berusia 1 tahun yang ‘mengarahkan’ saya untuk bertemu dan berkomunikasi dengan orang ini.

Ini terjadi beberapa saat setelah sholat Dhuhur di Masjid Oman Lampriet Banda Aceh. Habib Ahmad (demikian panggilan akrab saya terhadap anak saya) sedang merangkak-rangkak di dalam masjid. Ia berkeliling kesana kemari. Sampai kemudian ia berhenti di depan salah satu jamaah yang terlihat sedang duduk-duduk santai. Disampingnya terlihat ada kertas dan ballpoint yang kelihatannya akan ia gunakan untuk menulis.

Habib Ahmad menghampiri orang ini, lalu mengambil ballpointnya. Ahmad merangkak menyerahkan alat tulis ini kepada saya. Dari sinilah percakapan terjadi.

Anak muda yang saya perkirakan berusia 30-an ini belakangan mengaku asli Simeulue, memulai pertanyaan tentang anak saya. “Siapa namanya?”

“Habib Ahmad”, jawab saya.

“Anak keberapa?”, tanyanya kembali.

“Anak pertama”, jawab saya.

“Sama dengan anak pertama saya, namanya Habib juga”, balasnya.

Penasaran dengan jawaban  beliau, saya ingin tau apakah beliau juga dari kaum Sayyid.

Saya kembali bertanya, “Kalau bapak anaknya ada berapa?”.

Maka mulailah ia menjelaskan panjang lebar tentang anak-anaknya dan latar belakang keluarga. Ternyata, selain anak pertama yang ia beri nama “Habib” (3 tahun), anak keduanya yang perempuan bernama “Syarifah Munawwarah” (1,5 tahun).

Saya tanyakan apakah beliau sendiri memiliki nama Sayyid atau Habib. Ternyata tidak. Namanya hanya “Raswiyadi” saja. Sementara istrinya bernama Asmaul Husna, juga bukan Syarifah.

Saya penasaran, mengapa putranya diberi nama “Habib”. Raswiyadi menjelaskan. Awalnya ia beri nama “Habiburrahman.” Tapi ayahnya mengusulkan jangan diberi nama itu. Ayahnya yang bernama Sulaiman (dan juga bukan sayyid) saat itu punya kepercayaan tradisional tertentu, agar tidak memberi nama anak yang punya “nun mati” di ujung.

Namun nama “Habib” ia sarankan tetap dipertahankan. Maka digantilah nama Habiburrahman menjadi “Habib Almukarramah”, yang ia artikan sebagai “kekasih yang mulia.”

*****

Sementara anak keduanya yang perempuan bernama Syarifah Munawwarah, juga punya kisah tersendiri kenapa punya awalan “Syarifah.”

Rupanya, nama itu diusulkan oleh adik ayahnya yang perempuan yang ternyata walaupun bukan Syarifah dan asli suku Simeulue, tapi entah bagaimana namanya Syarifah Radhiah.

Syarifah Radhiah ini tidak punya anak. Makanya ia sarankan kepada Raswiyadi keponakannya tersebut untuk memberi nama anaknya “Syarifah” agar sama nama dengan bibinya. Harapan lainnya dari Syarifah Radhiah, kalau seandainya ia meninggal, maka masih ada dari keluarganya yang bernama Syarifah.

Saya juga mencari tau, apakah keluarga Raswiyadi ini berasal dari Kabupaten Aceh Barat, tetangga terdekat dengan Simeulue. Karena boleh jadi, penggunaan nama sayyid atau syarifah tersebut terkait dengan asal usul dari Aceh Barat. Ternyata tidak. Ia mengaku bahwa dirinya asli Simeulue. Wajahnya pun khas Simeulue, sedikit agak chinese.

Kemudian saya melanjutkan pertanyaan, apakah mengetahui ada nama-nama sayyid atau syarifah lainnya di Simeulue. Ternyata beliau tidak tau, dan mengaku tidak pernah mendengar ada nama itu di Simeulue. Tapi ia tau jika di Meulaboh banyak yang bernama sayyid atau syarifah dan hidup berkelompok. Namun ia sendiri juga tidak tau mengapa seseorang diberi nama sayyid atau syarifah.

*****

Di akhir pembicaraan saya menjelaskan bahwa gelar sayyid, syarif, dan syarifah adalah gelar atau nama yang melekat pada mereka dari keturunan imam Ali bib Abi Thalib dan Fatimah, yakni dari Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein (salam atas mereka semua).

Beberapa informasi saya ini menjadi pengetahuan baru bagi beliau. Namun anaknya sudah terlanjur bernama Habib dan Syarifah. Sepintas saya bisa merasakan, jika saudara Raswiyadi ini cukup terbuka, bersahabat, dan baik hatinya. Namun ia tidak memahami pembubuhan nama yang benar bagi anak-anaknya.

Problem seperti ini terjadi di sejumlah tempat. Bahkan secara bergenerasi telah melahirkan sayyid dan syarifah-syarifah baru, tetapi jelas terputus atau tidak bernasab kepada Fatimah binti Rasulullah saaw. Ini menjadi problem tersendiri dikemudian hari. Karena penamaan sayyid atau syarifah punya berbagai konsekwensi syariah (i.e. hukum nasab, zakat, dan perkawinan) serta sosial lainnya.

Inilah salah satu bentuk pekerjaan “taksonomisasi genetik” atau perapian nasab yang dilakukan oleh lembaga “Disdukcapil” Asyraf Aceh. Selain mendokumentasikan anggota keluarga sayyid, lembaga ini juga menyimpan data sejumlah keluarga yang bukan sayyid atau syarifah, namun menggunakan nama tersebut.

Masjid Almakmur Oman, Banda Aceh: 19 Januari 2017.

Next Post

"A MAN OF TEN AND TEN"

Sat Jan 21 , 2017
“A […]

Kajian Lainnya