TUJUAN PENDIDIKAN

TUJUAN PENDIDIKAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Awwaluddin makrifatullah.” Segalanya bermula dan harus tentang Tuhan, karena semua berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Termasuk pendidikan, tujuannya adalah: (1) untuk “mengenal Tuhan” -dimensi moral/adab (divine ethics), (2) dan mampu “memakmurkan bumi Tuhan” -dimensi praktikal (ubudiyah/penghambaan).

Problem Pendidikan Barat

Negara-negara maju (i.e., Finlandia, Jepang, Canada, Korsel, Singapura, Belanda, dan lainnya) sering disebut sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Menurut saya benar. Namun level baiknya hanya kentara pada capaian kedua. Mereka mampu mendidik bangsanya menjadi orang-orang yang punya karakter untuk “menguasai dunia.” Tetapi pada akhirnya mereka “dikuasai oleh dunia.” Ini terjadi akibat Tuhan tidak menjadi “ruh” dalam kurikulum pendidikan.

Itulah bentuk kesuksesan sistem pendidikan sekuler. Mereka mampu mencapai ketinggian sains dan teknologi, dan dengan itu mereka memakmurkan bumi. Namun paradigma pendidikan empiris ini membuat mereka gagal mengenal Pemilik semua hukum yang menguasai alam ini.

Demikian juga dalam hal moralitas. Dalam kadar tertentu, mereka merupakan bangsa yang berkarakter (i.e., disiplin, rajin, efisien, produktif, dan lainnya). Sistem pendidikan mereka mampu membangun model etika yang berbasis rasionalitas. Sehingga nilai-nilai universal kebaikan (i.e., jujur, adil, dan lainnya) dapat diterima dan diterapkan. Dengan demikian negeri-negeri mereka menjadi aman dan tertib.

Namun di atas rasionalisme dan pragmatisme yang dibangun manusia, tentu ada nilai-nilai tertinggi lainnya yang mengatur kehidupan personal dan kemasyarakatan. Tuhan paling tau apa kebutuhan ciptaannya. Maka ada nilai-nilai etika dan syariah lainnya yang sudah menjadi ketentuan Tuhan sebagai kurikulum bagi kesempurnaan hidup manusia. Nilai-nilai ini terkompilasi dalam berbagai Kitab Suci, termasuk yang sudah ter up-date dari itu semua ada dalam Alquran.

Tetapi ini tidak terakses oleh mereka. Akibatnya, ekonomi negara memang maju; tetapi mabuk-mabukan, perzinaan, praktik ekonomi ribawi, perkawinan sejenis dan sebagainya masih menjadi masalah sosial yang tidak akan pernah selesai jika tidak merujuk kepada hukum Tuhan.

Itu problem di Barat. Di satu sisi, pendidikan positivistik-materialistik telah berperan dalam memajukan peradaban mereka. Tetapi maju ke “kiri.” Mereka sangat menguasai dunia, tetapi kosong dari Tuhan.

Sebenarnya agak sulit juga mendefinisikan “timur” dan “barat.” Timur tidak seluruhnya berarti “Islam”. Karena di Timur juga ada banyak agama formal selain Islam. Demikian juga “barat”, tidak selalu bermakna ateis. Karena disana juga terdapat berbagai agama. Kalaupun ada tendensi “timur” dan “barat” dalam tulisan seperti ini, itu hanya simplifikasi timur sebagai “nilai-nilai Islam” dan barat sebagai “sekuler.” Simplifikasi seperti ini sesungguhnya juga tidak tepat, karena timur dan barat, keduanya milik Tuhan. pada keduanya terdapat kebaikan.

Problem Pendidikan Timur

Pendidikan kita justru sebaliknya. Maju juga, tetapi terlalu ke “kanan.” Paradigma berfikir kita cenderung menjual nama Tuhan. Kita masih berputar-putar di wilayah ayat dan riwayat. Alhasil, praktik politik dan kenegaraan tidak semakin baik. Industri dan teknologi juga tidak berkembang.

Moralitas bangsa juga tak karuan. Agama dan Tuhan memang selalu jadi sandaran. Tetapi rasio tidak jalan. Sehingga akhlak kita terbentuk dari berita hoax, sektarianisme mazhab, sukuisme, serta pemikiran-pemikiran dogmatis yang dipupuk oleh kebencian.

Model Pendidikan Terbaik

Kalau pendidikan Barat bergerak terlalu ke “kiri”, pendidikan kita bergerak terlalu ke “kanan”. Sehingga tidak ada yang “on the track.” Semua miring ke sisi yang berbeda.

Maka jika ada pertanyaan: “Model pendidikan seperti apa yang terbaik?”, jawabannya adalah model pendidikan yang menyeimbangkan keduanya. Sehingga output yang lahir nantinya adalah manusia-manusia yang “mengenal Tuhan” (moralitas immanen dan transenden) sekaligus punya skil yang tinggi untuk menjadi “wakil Tuhan” (eksekutor) dalam pengelolaan bumi.

Karena kita diciptakan untuk menjadi “khalifah Tuhan” (pemimpin/wakil Tuhan) di muka bumi, maka stressing pendidikan adalah untuk “membangun karakter leadership.” Kita ini persis seperti ‘kepala dinas’, yang dipilih gubernur/bupati untuk mengatur tatakelola pemerintahan. Kita punya otoritas untuk mengeksekusi berbagai program dan kegiatan di muka bumi.

Namun bagi yang berfikir “kebarat-baratan” tadi, mereka melihat jabatannya itu hanya untuk memuaskan dirinya sendiri (individualisme) atau menjual kepentingan masyarakatnya (komunisme). Karena tidak percaya Tuhan, maka mereka tidak melihat ada “bos” yang lebih tinggi yang patut dilayani. Hanya diri dan masyarakatnya lah yang ia tuhankan.

Demikian juga dengan yang berfikir cenderung “ketimur-timuran” tadi, mereka taunya hanya Tuhan. Sedikit-sedikit Tuhan. Siang malam hanya melayani Tuhan. Begitu azan berkumandang, cepat-cepat ke masjid. Ini mungkin tidak jadi masalah. Masalahnya adalah, begitu ada bayi-bayi yang menjerit kelaparan, tak ada yang bergerak. Begitu fakir miskin memanggil-manggil meminta bantuan sandang dan papan, tak ada yang sigap. Kita ini spesialis untuk melayani yang “di atas”. Pelayanan publik ke bawah amburadul. Ini problem orang (salah) beragama, hanya mengenal Tuhannya tapi tidak mengenal rakyatnya.

Jadi sekali lagi, ibarat ‘kepala dinas’, kita harus melayani dua pimpinan. Yang satu Tuhan kita. Satu lagi masyarakat kita. Tuhan tidak mau dirinya diabaikan gara-gara kita sibuk mengurusi dunia kita. Pun Tuhan yang baik ini juga sangat senang jika pada saat yang sama kita juga melayani ‘konstituennya’ (rakyat).

Sebenarnya inilah tujuan kita diciptakan, “untuk beribadah kepadaNya, dengan juga melayani hamba-hambanNya.” Namun jarang kita menemukan jenis ‘kepala dinas’ yang “on the track” seperti ini. Sebagian kita sibuk menservis bos, sebagian lain justru meninggalkan bos dan membangun kekuasaannya sendiri.

Jadi, pendidikan yang baik, menurut saya adalah pendidikan yang mempertemukan dimensi “timur” dan “barat”. Dunia membutuhkan integrasi nilai-nilai sekuler barat (empirisme) dalam spiritualitas Islam (rasional-iluminatif). Melalui ini akan terbentuk sebuah kecerdasan rasional-saintifik yang mampu membuktikan kehadiran Tuhan. Bukan jenis kecerdasan “barat” yang justru memperkuat filsafat materialisme dan atheisme. Juga bukan pengetahuan “timur tengah” yang kini justru banyak melahirkan ekstrimisme dan takfirisme. Pendidikan terbaik adalah yang memperindah akhlak kita dengan Tuhan, alam dan masyarakat.

Inovasi untuk melahirkan sistem pendidikan seperti ini masih menjadi impian kita. Namun harus kita akui, berbagai model pendidikan Islam mulai menunjukkan pergerakan ke arah sana. Bandingkan dengan pendidikan dayah tradisional yang cuma mengkaji ‘ilmu agama.’ Atau bandingkan juga dengan sekolah modern yang hanya terfokus pada ‘ilmu dunia.’ Ada berbagai model sekolah dan perguruan tinggi yang saat ini mencoba mengadopsi berbagai ilmu dunia dan akhirat, khazanah timur dan barat. Namun lagi-lagi, manajemen pendidikan, kurikulum, fasilitas, metode pengajaran dan kualitas guru menjadi faktor krusial lainnya.

“Pendidikan: Memanusiakan Manusia”

Jika pendidikan disebut sebagai usaha untuk “memanusiakan manusia”, maka pendidikan harus memaksimalkan seluruh potensi kemanusiaan: indera, otak, dan hati. Ketiga elemen kemanusiaan ini harus diolah agar memiliki kecerdasan yang mampu menyibak rahasia alam dan masyarakat serta menemukan Tuhan. Bagaimana ketiga potensi ini berfungsi?

Pertama, maksimalisasi indera akan mengarah pada aktifitas observasi dan eksperimentasi alam semesta. Dari proses ini lahir berbagai pengetahuan empirik terhadap objek-objek fisik yang basis ontologinya materialistik (ilmu hushuli). Pertumbuhan ilmu-ilmu fisika dan teknologi dapat ditelusuri melalui metode induksi ini. Namun karena objek selidikan hanya berkisar pada dunia materi, metode ini tidak akan mampu menjangkau Tuhan karena wujudnya non-materi. Barat mengingkari Tuhan karena mazhab utama pengetahuan mereka adalah empirisme.

Kedua, maksimalisasi otak akan mengarah pada filsafat dan logika. Objek telaahnya tentu bersifat metafisis (alam mitsal/alam akal). Dari metode deduksi ini lahir berbagai pengetahuan rasional dan argumentatif, termasuk matematika dan cabangan ilmu hitung lainnya yang terkait materi dan gerak. Juga bagian dari pengetahuan rasional ini adalah objek metafisis lain terkait teologi dan ekskatologi (keimanan). Keberadaan Tuhan hanya bisa dibuktikan dengan metode ini, termasuk dengan penggunaan hukum “sebab-akibat.” Artinya, secara rasional Tuhan dapat dibuktikan ada. Oleh sebab itu, metafisika (sains) Islam menjadikan metode rasional sebagai mazhab utama pengetahuan.

Ketiga, apa yang membuat berbeda sebenarnya adalah sebuah pendidikan dan pengetahuan lain yang tidak berkembang di barat, namun menjadi mainstream di banyak negeri Islam. Inilah yang dinamakan “pengetahuan iluminatif” (hati/jiwa). Pengetahuan ini bersifat intuitif (ilmu hudhuri). Objek studinya bersifat metafisis (alam spiritual). Dunia barat yang materialis itu menolak jenis pengetahuan ini. Mereka tidak mengakui dimensi ruhiyah sebagai metode mencari jawaban atas sebuah permasalahan.

Akibat kuatnya indoktrinasi filsafat Barat dalam struktur pengetahuan kita, “metode makrifat” ini menjadi tidak populer lagi di dunia akademis muslim. Padahal, saintis muslim abad pertengahan sangat kental dengan latihan “penyatuan jiwa.” Intelektual era keemasan Islam umumnya juga terkenal sebagai shufi selain sebagai seorang saintis. Dari proses “penyucian ruhani” inilah mereka mendapat pengetahuan (rahasia) tertentu dari Tuhan. Sehingga lahir kitab-kitab yang luar biasa.

Jika pengetahuan otak/akal/inteligensi (ilmul yaqin) dan inderawi (ainul yaqin) yang disupervisi para profesor doktor hanya mampu “membuktikan” tanda-tanda adanya Tuhan, maka pendidikan hati/jiwa melalui bimbingan para arif rabbani lah yang mampu membuat kita “merasakan” kehadiran Tuhan (haqqul yaqin). Akhlak manusia terbentuk disaat merasakan kehadiran Tuhan (omnipresent), bukan sekedar mampu berteori secara logis bahwa Tuhan itu ada. Dengan demikian, bangunan pendidikan kita harus mengembangkan metode “irfan” untuk menjangkau objek metafisis melalui olah ruhani. Meski pengalaman ruhani bersifat subjektif, namun pengetahuan yang diperoleh sebenarnya paling objektif. Karena bernilai “laduni.”

Karena kita tidak lagi memiliki “metode irfan” dalam pendidikan, maka wajar output pendidikan kita lebih ateis daripada Barat. Kita lebih koruptif dan bahkan lebih sekuler dari barat. Disamping tercuci otak dengan filsafat materialisme, bangunan pengetahuan kita juga kehilangan akar spiritualitas. Untung jamaah zikir dan shalawat mulai hidup lagi di negeri ini. Setidaknya bisa memberi “rasa aman” di tengah modernitas yang mulai membuat manusia menjadi robot-robot mekanis.

Terakhir, selain pengetahuan yang diperoleh melalui berbagai dimensi internal kemanusiaan seperti otak, indera dan hati; ada instrumen lain untuk memperoleh pengetahuan. Instrumen ini bersifat eksternal, yaitu “teks suci” (Alquran). Ada sejumlah pengetahuan baik bersifat fisik atau metafisik yang hanya bisa diperoleh melalui informasi dari beberapa catatan yang berasal dari Tuhan. Informasi-informasi ini terkompilasi dalam Kitab Suci.

Maka kita juga harus punya kemampuan untuk mengakses Alquran. Kandungan pengetahuannya beragam, mulai dari yang sifatnya tekstual (lahiriah) sampai kepada informasi kontekstual (batiniah) yang hanya bisa diperoleh jika kita bisa “berbicara” dengannya. Dan lagi-lagi, sistem pendidikan dunia Barat tidak mengakui keberadaan teks seperti ini. Bahkan Bible pun sudah mereka ditinggalkan karena dianggap penuh kejanggalan.

Penutup

Sekali lagi, membangun sistem pendidikan harus dimulai dari merekonstruksi pemahaman filsafat dan kemanusiaan. Saya pribadi tertarik dengan kemajuan negera Islam seperti Iran. Kita bisa mengatakan bahwa dunia muslim hari ini sudah larut dalam kebodohan dan keterjajahan asing dan aseng. Tetapi tidak untuk negara ini. Mereka semakin ditakuti. Negara demokratis yang dipimpin para ulama ini justru punya kemandirian berpikir serta perkembangan teknologi yang sangat pesat.

Begitu pesatnya, sampai-sampai para politisi busuk di negara Barat berkumpul untuk mencari berbagai cara agar program-program teknologi dan pengayaan nuklir mereka tidak terlaksana. Setelah revolusi 1979, Persia telah tumbuh menjadi sebuah negara muslim yang menjadi momok menakutkan bagi dunia materialisme-kapitalisme, yang wajah terburuknya diwakili oleh US dan Israel yang bernafsu ingin menguasai Timteng.

Inilah negeri yang pendidikannya memadukan potensi zikir dan nuklir. Sayangnya, cahaya ketauladanan dari negeri muslim demokratis seperti Iran ini berusaha dipadamkan oleh musuh-musuhnya. Lewat berbagai isu, agar kita menjauhinya. Kita belajar ke seluruh dunia, ke semua negeri kafir. Tapi akan dianggap aneh jika meneliti tentang sistem edukasi dan teknologi, atau terlalu dekat dan suka membela negara tempat lahirnya banyak ilmuan Islam dan inovasi ini.

Terserah. Kita bisa belajar dari siapapun. Dari negara manapun. Atau mungkin kita bisa membangun model sendiri. Intinya, pendidikan itu menyasar dua tujuan: (1) untuk “mengenal Tuhan” -dimensi moral/adab (divine ethics), (2) dan mampu “memakmurkan bumi Tuhan” -dimensi praktikal (penghambaan).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Suficademic
YouTube: 
https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on “TUJUAN PENDIDIKAN

Comments are closed.

Next Post

APA ITU "ISLAM?"

Fri Apr 21 , 2017
Apa […]

Kajian Lainnya