NAME AND FAMILY NAME

image: fb Sophia Listriani

Name and Family Name
Oleh Said Muniruddin

Tulisan singkat ini bertujuan merespon salah satu keluhan sahabat saya, seperti termuat pada gambar diatas.

Penggunaan nama “Qutb” atau “Qudrat” boleh bagi siapapun. Karena itu hanya nama-nama biasa. Yang tidak boleh adalah menggunakan family name orang lain. “Boleh” atau “tidak boleh” disini lebih kepada kepatutan sosial, meskipun dalam konteks tertentu para ulama memahaminya sebagai hukum syariat. Seperti pada kasus Nabi Muhammad saw yang tidak dibolehkan menjadi “nama ayah” Bagi Zaid anak angkatnya (QS. Al-Ahzab 33: 40).

Mengapa tidak boleh? Sebab, jika menggunakan family name orang lain, itu seperti tidak mengakui ayah/famili sendiri. Misalnya, ayahnya bukan Sayid, tapi menamakan anaknya Sayid. Identitas ini sendiri sebenarnya pemberian Nabi saw kepada dua cucunya hasil perkawinan imam Ali dengan Fathimah, “Kedua anakku ini titelnya “Sayid.”

Demikian juga saya kira dengan identitas keluarga dan lainnya dalam masyarakat kita, yang lahir dari konstruksi tertentu. Semua orang punya kelebihan dan kemuliaan masing-masing tanpa harus mengambil nama keluarga atau identitas orang lain. Family name itu hanya sebuah taksonomi genetik untuk social identification.

Teknik identifikasi melalui penamaan memang selalu kita gunakan dalam semua ranah kehidupan. Dalam dunia buah-buahan misalnya, memang semuanya buah mangga. Tetapi ada yang jenisnya “golek”, “simanalagi”, dan lain-lain. Semua ada kelebihan masing-masing. Dalam dunia binatang juga begitu, semuanya ayam. Tetapi ada yang namanya ayam “jago”, “buras”, “kate”, dan lain-lain. Semua ada kelebihannya. Nama-nama itu hanya identifikasi asal-usul atau kelompok keluarganya.

Begitu juga dalam dunia pengajaran. Ada yang namanya “abuya/teungku/ustadz” untuk guru agama. Ada yang namanya “profesor” di perguruan tinggi. Masing-masing punya kelebihan. Penamaan hanya untuk menunjukkan background dan kemuliaan masing-masing. Bahkan dalam sistem kepegawaian, kita manusia juga diidentifikasi berdasarkan strata pangkat/golongan.

Di Kartu Tanda Penduduk (KTP), kita juga dibuat pemilahan. Memang semua kita penduduk sebuah negara dengan berbagai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Namun di KTP kita semua dibedakan menurut agama, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, alamat, dan sebagainya.

Dalam dunia para nabi, kata “nabi” juga menunjukkan ‘family name’ keluarga besar kenabian. Memberi nama Muhammad, Isa, Ibrahim dan sebagainya tentu bagus sekali. Tapi kalau memberi nama anak-anak kita dengan nama-nama tersebut tapi diawali dengan kata “nabi” itu baru dipermasalahkan. Karena sudah mengambil nama identifikasi untuk bangsa para Nabi. Kalau mau dipaksakan juga tidak apa-apa, tidak akan ditangkap polisi. Toh ada juga yang menamai anaknya “Allah.”

Begitu juga dalam kehidupan sosial. “Sayid”, “Syarif”, “Habib” atau “Syarifah” merupakan salah satu alat identifikasi bagi keturunan bani Hasyim, dari Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain (salam atas mereka). Gelar-gelar ini merupakan generic family name (gelar umum). Karena ada specific family name lainnya, atau biasa disebut “marga”, yang secara khusus dalam ilmu nasab digunakan untuk mengidentifikasi family tree mereka.

Banyak bangsa di dunia ini yang punya family name sehingga membuat rapi dalam pencatatan dan pengidentifikasian keluarga. Silaturahmi mereka juga menjadi kuat karena mudah mengenal keluarga yang sedarah melalui sistem penamaan seperti itu. Dan masing kita tentu harus bangga (bukan sombong) dengan masing family name yang kita bawa.

Namun dihadapan Tuhan, tentu kita semua harus berkompetisi lagi untuk menunjukkan siapa diantara kita yang paling bertaqwa (QS. Alhujurat 49: 13). Dalam hal ini, seorang budak hitam yang tidak diketahui darimana asal namun bagus akhlaknya, lebih mulia dari seorang Sayid yang nasabnya tercatat rapi tapi berperangai jahat.

***

Kembali kepada topik awal, “Qutb” atau “Qudrat” dalam kasus anak ibu Sophia Listriani di atas, itu bukan family name yang dikenal dalam keluarga Sayid. Itu hanya nama-nama biasa yang bagus. Maka tentu boleh menggunakan nama-nama seperti itu. Jadi jangan mudah percaya dengan pendapat orang yang tidak punya ilmu pengetahuan terkait nama-nama, apalagi yang tidak memahami nasab dan family name kaum Sayid.

Namun di Aceh ada Kabupaten tertentu yang punya keluarga atau ulama kharismatik dengan gelar “qutb” atau “qudrat”. Dalam kasus ini, pencinta mereka mungkin tidak nyaman jika nama kebesaran panutan mereka itu diambil menjadi nama bagi yang lain. Jadi hanya masalah fanatisme dan emosional kepengikutan saja. Hal seperti ini sering terjadi dalam masyarakat tradisional manapun.

Terkait pengetahuan, nasab dan sejarah keluarga sayid di Aceh, bisa diperoleh di www.asyrafaceh.org***

Next Post

MI'RAJ CINTA

Mon Apr 24 , 2017
MI’RAJ […]

Kajian Lainnya