KEPEMIMPINAN DAN TRADISI MEUGANG

image: sinarharapan.co

Kepemimpinan dan Tradisi Meugang
Oleh Said Muniruddin

Jika sebuah negara makmur dan beradab, rakyatnya akan berbondong-bondong datang ke pendopo raja untuk menyerahkan hasil ternak dan kebun ala kadarnya. Ini bukan upeti yang bersifat memaksa. Tetapi lebih sebagai ungkapan terima kasih rakyat atas jasa pemimpin yang telah adil mengelola negara, sehingga mereka semua bisa makmur dan sejahtera.

Takzim kepada pemimpin memang cirinya masyarakat bermoral. Mungkin kita masih menemukan tradisi bagi-bagi hasil bumi dan laut ini dibeberapa komunitas tradisional yang masih menaruh hormat kepada pemimpinnya (ulama, imum mukim, dan keuchik).

Sementara fenomena rakyat datang ramai-ramai ke istana raja sambil menengadahkan tangan meminta belas kasihan “sie meugang”, adalah wujud dari kemiskinan negara: struktural dan kultural. Secara struktural sang raja gagal mendistribusikan sumberdaya kerajaan, dan secara kultural rakyat pun terpaksa mengemis menjelang puasa.

Memang dalam sejarahnya dikatakan, “Meugang” adalah budaya raja-raja di Aceh untuk menyembelih ternak guna dibagikan kepada rakyatnya sebagai rasa syukur menjelang hari seperti Ramadhan. Sultan Iskandar Muda misalnya, dalam Qanun Meukuta Alam Bab 2 Pasal 47 misalnya (1608 M) menyebutkan regulasi tentang bagi-bagi daging “Makmeugang” sebagai simbol cinta dan pertolongan kepada rakyatnya. Bahkan sampai hari ini, banyak pemimpin dalam bebagai institusi menunjukkan kemurahhatiannya kepada konstituennya menjelang Ramadhan.

Namun seorang gubernur dan bupati melakukan bagi-bagi daging untuk jutaan atau ratusan ribu orang mungkin hari ini akan tidak efektif lagi, kecuali dibagikan secara selektif dan dalam jumlah terbatas. Maka mengembalikan kepemimpinan dan tanggungjawab kesejahteraan kepada level desa atau mukim adalah sesuatu yang hari ini harus secara serius diperjuangkan.

Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang “Desa” memberi peluang besar untuk itu. Dana alokasi dan transfer ke desa (dari pusat, provinsi dan kabupaten) yang jumlahnya bisa mencapai milyaran setiap tahunnya, sepatutnya bisa dikelola untuk memberdayakan ekonomi pada level akar rumput.

Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) misalnya, jika dikelola dengan baik berpotensi menjadi lembaga keuangan yang keuntungannya bisa disisihkan salah satunya untuk penyediaan daging “Meugang” bagi warga desa masing-masing. Dengan demikian kepemimpinan desa menjadi lebih berharga dimata rakyatnya. Jika tidak, maka rakyat akan selalu mengepung pusat-pusat kekuasaan untuk mengingatkan raja-raja mereka tentang tradisi yang tak boleh dilupakan ini.*****

Next Post

"WALED, LEBARANNYA KAPAN?"

Fri May 26 , 2017
A: […]

Kajian Lainnya