PEMIMPIN ORANG-ORANG YANG LEMAH

image: inc.com

Pemimpin Orang-Orang yang Lemah
(Sebuah Refleksi pada Pelantikan Gubernur/Bupati se-Aceh)
Oleh Said Muniruddin

Pemimpin dan Perjuangan Ideologis Politis

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Selama 23 tahun Nabi menempuh pergerakan politik yang begitu rumit dan penuh resiko. Sebuah perjalanan politik yang hanya mampu dilalui oleh para pemberani. Karena sepanjang jalan ia menemukan orang-orang yang bukan hanya tidak sepakat pada ide-idenya, tapi matian-matian berusaha menjatuhkannya.

Selama 13 tahun pertama di Makkah ia membangun “ideologi teoritis” (menyusun visi dan konsep keyakinan). Lalu pada 10 tahun terakhir ia pusatkan aktifitas di Madinah untuk membangun “ideologi praktis (mendirikan dan mengelola negara).

Ketika membentuk pemerintahan di Madinah, misi keadilan sosial menjadi fokus utama. Program kerja dan keberpihakan Nabi kepada kelompok lemah (mustadh’afin) sudah terlihat sejak hari pertama ia memasuki Madinah.

Berpihak Kepada Orang Miskin

Diriwayatkan, setelah 15 hari tinggal di Quba lalu Nabi berangkat menuju Madinah (saat itu masih bernama Yatsrib) yang letaknya tidak jauh dari Quba.

Penduduk Madinah begitu antusias menyambut pemimpin baru ini. Karakter mulianya sudah lebih dahulu sampai ketelinga meskipun wajahnya belum pernah mereka lihat. Sebagian diantaranya sudah pernah berinteraksi dengan Nabi dan kini menjadi bagian dari jaringan yang menyambutnya di Madinah.

Unta yang ditunggangi Nabi masuk ke Madinah dan penduduk mengelilinginya. Pada masa itu, kota Madinah terdiri dari beberapa daerah. Setiap daerah memiliki pintu gerbang, rumah-rumah, jalan dan lorong, serta aktifitas perdagangan dalam kekuasaan dua suku besar: Aus dan Khazraj (al-imam as-Sayyid Ali Khamenei, “Manusia 250 Tahun”, Penerbit Nur al-Huda, 2015, hal. 40-42).

Ketika unta tunggangan Nabi tiba di pintu gerbang daerah suatu suku, maka para pembesar dan orang-orang dari suku tersebut keluar seraya memegang tali unta Nabi. Mereka berkata:

“Wahai Rasulullah, tinggallah di tempat kami! Rumah, harta dan kehidupan nyaman kami, akan kami serahkan kepada anda. Kami semua siap melayani anda.”

Nabi menjawab, “Lepaskan tali kekang unta ini, innaha ma’murah (sesungguhnya unta ini diutus oleh Allah), biarkan dia berjalan.”

Demikian pula ketika Nabi memasuki pintu gerbang suku selanjutnya, mereka juga menarik tali kekang unta dan meminta Nabi untuk menetap bersama mereka. Tetapi lagi-lagi Nabi memberi jawaban serupa.

Unta pun terus berjalan melewati satu daerah ke daerah yang lain hingga tiba di wilayah milik Bani Najjar. Ibunda Nabi (Siti Aminah) berasal dari suku ini. Para pria Bani Najjar berkata: “Wahai Rasulullah, kami adalah paman mu, kerabat mu, tinggallah disini.”

Nabi kembali menjawab, “Sesungguhnya unta ini diutus oleh Allah, biarkan ia berjalan.”

Ternyata untanya berhenti disebuah daerah miskin di Madinah. Ia berlutut tepat di depan sebuah rumah. Penduduk Madinah penasaran, rumah reyot milik siapa itu. Kemudian diketahui nama pemiliknya adalah Abu Ayub al-Anshari. Ia bersama keluarganya mengangkat barang-barang bawaan milik Nabi dan membawa masuk ke rumahnya.

Memimpin adalah Memberi Contoh

Pada hari pertama membangun negara dan pemerintahan Islam di Madinah, Nabi telah menjadi tamu di rumah orang miskin! Ia menolak permintaan orang-orang kaya, para pembesar, kepala suku dan semisalnya untuk menetap bersama mereka. Ia bahkan menolak tawaran nepotisme kerabatnya. Ia justru bersama orang miskin tak dikenal.

Sejak awal memimpin negara, Nabi sudah menentukan sikap sosial kemasyarakatannya. Ia sudah memilih berpihak kepada siapa. Tentu ia milik semua. Namun ia sudah menentukan kelompok mana yang patut mendapat perhatian lebih dan manfaat paling besar dari eksistensinya.

Di depan rumah Abu Ayub ada lahan kosong. Nabi bertanya, “Tanah siapa ini?”. Orang-orang menjawab, “Milik dua anak yatim.” Lalu Nabi menyerahkan sejumlah uang untuk membeli tanah tersebut. “Kita akan membangun masjid di tanah ini”, kata Nabi. Di Masjid inilah dipusatkan kegiatan politik, peribadatan, kemasyarakatan dan pemerintahan.

Lihat, Nabi butuh tempat sebagai pusat kajian dan diskusi. Ia bukan peminta-minta. Meskipun bisa, namun ia tidak meminta apalagi menodong tanah dari seseorang. Ia justru membelinya dengan uang pribadi. Meskipun anak yatim ini tidak punya wali dan pelindung, Nabi tetap menjaga hak mereka.

Tidak hanya sampai disitu. Ketika penduduk Madinah mulai membangun masjid, Nabi adalah orang pertama yang datang membawa cangkul dan menggali tanah untuk fondasi. Ia bukan pekerja yang sifatnya hanya sebatas serimonial dan formalitas saja. Ia mengucurkan keringat. Sehingga ada sebagian dari mereka yang berkata, “Kita hanya duduk-duduk saja, sementara Nabi kita sibuk bekerja. Mari kita ikut kerja.”

Ini yang disebut “leading by example”, memimpin dengan memberi contoh, bukan memberi perintah. Atau dengan bahasa lainnya, “action speaks louder than words.” Bahasa contoh lebih terdengar daripada bahasa perintah.

Penutup

Semoga paska Pilkada tempo hari kita menemukan pemimpin-pemimpin baru, para pemimpin ideologis, yang sejak hari pertama sudah berpihak kepada kaum miskin (pro-poor) serta memiliki perilaku inspiratif (tauladan) bagi kita dalam melakukan perbaikan diri dan masyarakat.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

KALIGRAFER ABDYA

Wed Jul 5 , 2017
“WAHYU […]

Kajian Lainnya