WHO ARE INTELLECTUALS?

image: saidmuniruddin.com

Who are Intellectuals?
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kalau anda melihat ada seorang penerima Hadiah Nobel, yang bekerja selama 70 jam dalam seminggu dan menghabiskan hampir seluruh waktunya di laboratorium, anda belum bisa menyebutnya sebagai intelektual. Demikian juga kalau anda mengamati dunia kampus, lalu disana anda temukan ada orang-orang yang menulis banyak sekali buku dan artikel terindeks scopus, anda juga tidak boleh terburu-buru menyimpulkan mereka sebagai intelektual.

Lalu bagaimana pula halnya dengan, katakanlah, seorang petugas kebersihan di kantor orang-orang yang saya sebutkan di atas. Sehari-hari ia bekerja membersihkan dan mempersiapkan ruang belajar, sambil ikut mendengarkan kuliah dari para ahli. Kemudian ia memiliki pengetahuan yang mengagumkan tentang sains, politik, ekonomi, kemanusiaan dan sebagainya; melebihi akademisi lainnya. Apakah ini sosok yang layak disebut sebagai intelektual? Lagi-lagi, kita tak usah sembrono menyebutnya intelektual.

Jadi, Siapa itu Intelektual?

Noam Chomsky (90th), seorang profesor ternama di Massachusetts Institute of Technology (MIT), termasuk salah satu yang saya kagumi. Ia ahli linguistik, sejarawan, filsuf, kognitif saintis, dan juga aktifis sosial yang rajin mengkritik berbagai kebijakan politik Amerika diberbagai belahan dunia. Beliau menghabiskan usianya untuk terus melakukan itu. Kegigihannya menentang Israel dan zionisme sangat populer, meskipun ia sendiri seorang Yahudi dari klan Ashkenazi.

Suatu ketika ia menjelaskan, “intellectuals are people who have certain degree of privilege, enough to be able to reach audiences and who discuss issues of general public interests” (Chomsky’s Philosophy, 25/11/2015). Intelektual, katanya, adalah sebuah bentuk kehormatan atau privilege yang dimiliki oleh sekelompok orang, yang dengan itu mereka mampu meraih audien dan mendiskusikan hal-hal terkait kepentingan umum. Cara ia mendefinisikan intelektual juga bermiripan dengan ide-ide kritis Ali Syariati (1933-1977), salah satu ideolog yang memantik Revolusi Islam Iran tahun 1979.

Tiga (3) Kriteria Intelektual

Untuk disebut sebagai intelektual, seseorang harus memiliki 3 kriteria. Pertama memiliki rasa, marwah, kehormatan atau harga diri (certain degree of privilege). Ini merupakan kesadaran diri tentang “siapa saya”. Disini seorang intelektual memiliki persepsi yang kuat akan pentingnya dirinya. Serta memahami akan adanya peran dan tanggungjawabnya sebagai manusia. Inilah inner power yang sebenarnya dimiliki setiap orang. Tetapi tidak semua orang menyadari akan adanya kesempatan dan hak-hak istimewa yang mereka bawa sejak lahir.

Dalam konsepsi leadership, akar kepemimpinan terbentuk dari sistem keyakinan tentang betapa pentingnya diri kita bagi yang lain (privilege). Mentalitas inilah yang membuat seseorang memiliki keberanian untuk menjangkau orang lain. Jadi intelektual bukanlah “menara gading”, bukan sekelompok orang cerdas, saintis atau akademisi yang mengasingkan diri di ruang-ruang kelas. Mereka harus konek dengan realitas masyarakat. Mereka memiliki massa dan hidup di tengah-tengah mereka. Ini yang menjadi kriteria kedua dari intelektual, mampu meraih audien (able to reach audiences).

Kriteria ketiga adalah, kemampuan mendiskusikan berbagai hal terkait kepentingan umum (discuss issues of general public interests). Pada level ini, seseorang disebut intelektual karena kemampuannya menggerakkan berbagai elemen dalam diskursus sosial. Jadi jelas sekali, kepentingan publik menjadi konsern utama kaum intelektual. Dan seringkali dalam proses-proses ini mereka tampil untuk menentang dogma, keyakinan, tradisi, serta praktik dan kebijakan yang sedang berkembang.

Karena memilih jalan hidup seperti ini, maka banyak dari mereka yang tidak hanya hidup mulia, tapi juga menikmati kematian sebagai syuhada (termasuk diasingkan, diembargo dan dipenjara).

Dalam sejarah misalnya, Imam Husain bin Ali termasuk ikon syahid dan intelektual besar yang mengusung Islam sebagai “the religion of protest” saat menghadapi despotisme kekuasaan. Dalam proses pembangunan keumatan dan kebangsaan, seperti yang dihadapi cucu Nabi ini, yang sering kita hadapi justru bukan kaum kafir. Tetapi malah kejahatan dan kebobrokan penguasa Islam sendiri, mulai dari kepala desa sampai presiden (i.e korupsi, pengabaian hak-hak masyarakat, ketidakadilan, dan sebagainya).

Para schoolar lain semacam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Syafii, Thabari, Nasai, juga mengalami penindasan akibat berbeda pandangan dengan orang-orang yang kita sebut sebagai gubernur atau khalifah.

***

Seorang akademisi, doktor, profesor, peneliti atau siapapun mereka; baru dapat disebut sebagai intelektual sejauh memiliki motif yang tinggi bagi kemanusiaan. Dan itu diperlihatkan dari gerakan-gerakan yang ia lakukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatan.

Rumit memang, pragmatisme juga melahirkan orang-orang yang giat menulis isu-isu agama dan sosial. Tapi fokus tujuan dan tendensinya untuk memenuhi personal interests semacam uang, pangkat dan jabatan. Bahkan program-program pengabdian dilakukan karena adanya anggaran, bukan panggilan kemanusiaan. Tanpa uang tidak ada pengabdian. Uang itu penting. Tapi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Bukan menjadi tujuan.

Self-interest juga bagian rasional dari setiap diri. Tapi itu berada pada level terbawah dari motif intelektual. Adalah “cinta” kepada kepentingan umum, terutama kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, yang menduduki hierarkhi teratas dari kesadaran setiap conscious being (orang-orang yang tercerahkan). Terkait leveling kesadaran manusia ini dapat dibaca pada artikel berjudul “Agama Cinta.”

Ini mungkin salah satu penyebab mengapa profesor doktor semakin banyak, namun persoalan sosial dan kemiskinan semakin parah. Karena yang kita hasilkan hanya rekomendasi kepada pemerintah yang kemudian ditindaklanjuti dengan proses pencarian kwitansi atas jerih payah studi kita. Kita sendiri tidak punya kehormatan dan kemampuan untuk turun memobilisir perubahan.

Akademisi itu idealnya menguasai “powerpoint.” Point pemikirannya harus jelas. Lalu punya power untuk menindaklanjuti. Tetapi umumnya kita, point pemikirannya saja yang jelas. Power-nya tidak. Yang paling rusak adalah akademisi yang bahkan tidak punya point apapun, apalagi power.

Dalam perjalanan sejarah, kita dapat menemukan orang-orang yang disebut sebagai “intelektual.” Mereka bisa siapa saja. Termasuk filsuf, raja, nabi, imam, ulama, akademisi, politisi, birokrat, dokter, pengacara, pekerja sosial dan sebagainya. Karakter mereka sangat sederhana: (1) memiliki kesadaran diri yang tinggi, (2) punya massa dan hidup bersama mereka, serta (3) mampu memberi pencerahan dan aksi yang terorganisir untuk memperbaiki kehidupan mereka.

We hopefully are intellectuals!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad*****

4 thoughts on “WHO ARE INTELLECTUALS?

Comments are closed.

Next Post

AHMAD & THE CATS

Wed Apr 4 , 2018
AHMAD […]

Kajian Lainnya