MENG-UPGRADE LEVEL SHALAT

Meng-Upgrade Level Shalat
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Salah satu ibadah tertinggi dalam struktur keislaman kita adalah shalat. Apa itu shalat?

Memahami mana shalat dan mana yang bukan shalat

Secara formal-tradisional, shalat didefinisikan sebagai “sebuah sistem doa yang dimulai dari niat, berdiri, takbiratul ihram dan sebagainya, yang diakhiri dengan salam dengan berbagai sistematika gerak dan bacaan yang bernilai tertib.” Disini, shalat diartikan sebagai sebuah ibadah yang terstruktur dan sistematis. Ada serangkaian syarat sah serta rukun fi’li (gerak) dan qauli (bacaan) yang detil dan kaku. Itu pengertian shalat dalam dimensi fiqh atau syariat (rules-based ‘ubudiyah).

Sementara Al-Quran memberi kita pemahaman yang lebih substantif tentang shalat. Dalam QS. Al-Ankabut 29: 45 Allah menyebutkan: “…shalat adalah sesuatu yang jika kamu kerjakan maka perilakumu akan terjauhkan dari sifat keji dan munkar…”.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“… dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” QS. al-Ankabut 29: 45.

Dalam makna hakiki (principles-based ‘ubudiyah), shalat adalah “sesuatu yang jika kamu kerjakan maka perilakumu menjadi mulia.” Pertanyaannya, jika setelah ruku dan sujud sebanyak 17 rakaat pada 5 waktu dalam sehari semalam, tetapi pikiran dan tindakan kita masih berbalut kekotoran dan kejahatan; apakah itu shalat?

“Bukan, itu bukan shalat“, kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa-Aali Wasallam (SAAW). “Itu adalah gerakan mematuk-matuk seperti burung gagak.” Bahkan diriwayatkan, ada jenis shalat yang setelah kita melakukannya lalu malaikat meremas-remas hasilnya. Kemudian dilemparkan kembali ke wajah kita. Hanya Allah yang tau kenapa, seperti disebut pada akhir ayat diatas: Wallahu ya’lamu ma tashna’un: “Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Mungkin catatan amalan shalat kita isinya seperti kertas kosong atau amburadul. Kita memang bergerak-gerak dalam berbagai bentuk, tetapi tidak terkoneksi dengan Dia Yang Maha Agung (subhana rabbiyal ‘azhimi). Kita memang komat-kamit membaca berbagai doa, namun tidak naik kepada Dia Yang Maha Tinggi (subhana rabbiyal ‘ala). Badan kita memang di rumah Allah atau di tikar sajadah. Tetapi hati dan pikiran kita ada di pasar atau entah kemana-mana. Tidak jelas siapa yang kita sembah.

Shalat seharusnya menjadi proses mikraj-nya ruhani kita. Tetapi itu tidak benar-benar terjadi. Malah menjadi arena tempat kita menghayal habis-habisan. Diluar shalat saja kita tidak pernah berfikiran demikian liar. Anehnya, saat shalat kita justru kehilangan total akal dan kesadaran (tidak khusyu’). Kelihatannya setan berhasil membawa jiwa kita pergi berkelana bersamanya.

Ini bisa kita ketahui dari kisah di zaman Nabi SAAW. Saat masuk masjid Beliau melihat ada iblis sedang merasuki alam bawah sadar orang yang sedang shalat. Sementara si iblis tidak mampu masuk ke alam mimpi orang yang sedang tidur disampingnya. Ini karena makrifat orang yang tertidur itu sangat tinggi. Alih-alih menyembah Allah, karena terperangkap syaitan, kita justru semakin jauh dengan Allah. Shalat seperti ini tidak jauh berbeda dengan penyembahan berhala. Syaitan yang mengambil manfaatnya.

Inilah penyebab shalat tidak memberi impact (pengaruh) bagi pelakunya. Shalat jalan terus. Pada saat yang sama; korupsi, menipu, berbicara bohong, memfitnah, mencaci dan membenci orang juga berlanjut. Mengapa bisa demikian? Ya, karena kita menyembah syaitan dalam formalitas shalat, bukan Allah.

Pada ayat lain Allah mengutuk orang-orang seperti ini sebagai “pendusta agama.” Mereka shalat, tetapi ngawur (lalai). Kepribadiannya tidak membaik. Di tengah masyarakat, pribadi seperti ini umumnya tidak memiliki sensitifitas sosial. Ia bahkan cenderung menjadi “pencuri” atau “perampok”. Agama menyebutnya sebagai orang-orang yang menindas anak yatim dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Ketika memiliki kekuasaan, apakah sebagai eksekutif, birokrat, legislatif dan lainnya; mereka tak ragu-ragu menelikung anggaran dan hak-hak masyarakat guna memperkaya diri. Ini perilaku yang lahir dari berbagai bentuk kemusyrikan dalam shalat (riya). Semua ini dijelaskan dalam surah Al-Ma’un 107: 1-7.

QS. Al-Ma’un 107: 1-7

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah, bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (QS. Al-Ma’un 107: 1-7).

Hanya mereka yang benar-benar menyembah Allah dalam shalat yang akan mengalami transendensi perilaku menjadi sosok terpuji (ahmad). Allah itu sumber kebenaran, kebaikan dan keindahan. Sudah pasti dengan “menyatu” bersama Dia akan membawa perubahan positif bagi diri kita, dalam bentuk paling sempurna dan menyempurnakan (kamil al-mukammil).

Satu-satunya bentuk ibadah formal individual (ibadah mahdhah) yang paling bisa membawa kita kepada ketauhidan sosial adalah shalat. Itulah mengapa, sebagaimana diriwayatkan, ibadah yang pertama diperiksa di akhirat adalah shalat. Mengapa? Karena shalat sejak awal mendefinisikan apakah kita benar-benar ikhlas menyembah Dia atau tidak (bebas dari vested interest atau riya’). Jika shalat kita benar (dalam pengertian yang substantif, “substance over form”), maka sudah pasti semua ibadah lain akan diterima. Sebab, ibadah lainnya itu turunan dari shalat yang benar itu. Kalau pokoknya sudah amburadul, maka cabangnya menjadi bermasalah. Inilah pentingnya tauhid sejak awal, yang diukur dari indikator kebenaran dalam menegakkan shalat.

Meng-upgrade shalat

Oleh sebab itu, kalau ingin belajar shalat dalam pemahaman syariat (berupa gerakan dan bacaan), kita bisa menjumpai ulama-ulama fiqih. Ada banyak kitab yang mengajari ini, yang tersebar dalam berbagai mazhab. Kita tidak bisa mengabaikan dimensi syariat terkait shalat. Karena dalam “badan” yang sehat” terdapat “jiwa” yang kuat. Kesucian fisik merupakan awal dari kesucian batin.

Namun kita tidak boleh mandek pada level syariat. Kita harus terus meng-upgrade shalat. Apalagi sudah belasan, bahkan puluhan tahun shalat kita tidak memberi efek bagi perubahan negeri. Penyebabnya adalah shalat yang dipandang sebagai rutinitas semata. Padahal, salah satu potongan awal Al-Ankabut 45 di atas menegaskan: “Dirikanlah” shalat! Jadi shalat itu harus “ditegakkan” sedemikian rupa. Bukan sekedar berdiri, ruku’ dan sujud yang kosong dari “rasa”.

Untuk belajar shalat dalam pengertian substantif seperti ini, kita harus menjumpai guru-guru spiritual yang mumpuni. Allah itu substansi spiritual. Maka shalat harus melampaui bahasa lisan. Pada level hakikat, shalat adalah teknik berkomunikasi dengan “lidah qalbu.” Ingat, keutamaan shalat ada pada “dzikrullah.” Lihat juga  Al-Ankabut 45 di atas. Disana ada kalimat: Walazikrullahi akbar (“mengingat Allah lebih utama”). Inilah rukun qalbi dari shalat, yang harus ditempuh melalui dimensi ruhani.

Usaha mengingat Allah melalui dimensi ruhiyah akan menghasilkan jenis shalat yang powerful. Shalat yang setiap gerakan dan bacaannya melahirkan vibrasi. Ingat bagaimana Imam Ali a.s melakukan shalat. Mendengar adzan saja ia sudah bergetar. Ia tidak lagi mendengar manusia yang memanggil, tetapi Tuhan. Dalam shalat pun ia fana sehingga panah yang dicabut dari kakinya tak terasa. Bukan tidak sakit. Tetapi jiwanya sudah teralihkan ke Sidratul Muntaha. Ia sedang melakukan mikraj ruhani. Dalam prosesi shalat ia ‘melihat’ Allah. Atau paling tidak ia tau, Allah sedang melihatnya.

Shalat yang seperti ini sudah pada level entertaining (menyenangkan). Agama itu memang harus memberi rasa tenang. Semakin sering shalat seharusnya kita semakin bahagia. Tapi kelihatnya semakin hari kehidupan manusia modern semakin galau. Ini karena shalat masih dirasa sebagai beban. Obatnya sederhana: shalat yang benar. Narasi awal shalat itu sendiri sebenarnya juga sebagai media untuk menyenangkan Nabi Muhammad SAAW. Saat itu ia berada pada tahun kesedihan (‘ammul huzni). Tidak lama setelah lepas dari dari embargo kafir Quraisy, dua pendukung setianya wafat: Abu Thalib dan Khadijah (salam kepada mereka berdua). Lalu Allah mengobati Nabi SAAW dengan perjalanan mikraj dan shalat.

Maka pelajarilah metode shalat yang mampu mencapai level menyenangkan dan membahagiakan. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain dengan cara ‘mengingat’ atau ‘berjumpa’ Allah. Guru-guru yang arif biasanya masih mewarisi metode-metode praktis dari Rasul SAAW, Imam Ali a.s, sahabat dan wali-wali Allah lainnya yang ahli dalam urusan “mengingat Allah” melalui kekuatan jiwa. Metode-metode ini diajarkan dalam kurikulum pengetahuan iluminatif (irfan atau tasawuf). Atau dalam praktiknya disebut “tarikat.” Aceh atau Nusantara pada awalnya cukup kaya dengan sistem pembelajaran ini. Sampai sekarang juga masih bisa dijumpai satu atau dua guru yang memang langka dibidang ini.

Selamat mencari!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

OUR FUTURE

Sun Apr 15 , 2018
Syarifah […]

Kajian Lainnya