KOMUNIKASI TRANSENDEN

image: makmeugang dan makrifat (foto by: tgk.khalis)

Komunikasi Transenden
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kita boleh saja teriak-teriak, atau secara bisik-bisik memanggil Tuhan. Dia pasti tau. Karena tak ada satupun yang luput dari perhatiannya, bahkan selembar daun yang jatuh juga ada dalam pengetahuannya. Namun belum tentu do’a dan harapan kita akan diapresiasi atau direspon oleh-Nya.

Karena untuk mencapai jenis do’a atau panggilan yang terijabah (ud’uni astajib lakum, QS. Al-Mukmin: 60), kita harus menguasai teknik komunikasi yang efektif. Lihat bagaimana efektifnya para nabi berdo’a yang secara umum langsung dikabulkan Allah. Juga pelajari bagaimana orang-orang mulia yang hajatnya dipenuhi seketika atau pada waktu tertentu setelah ia berdo’a untuk dirinya atau juga untuk orang lain.

Kita sering menyebut ini sebagai mukjizat (bagi nabi) atau karamah (bagi manusia lainnya). Kemampuan ini masih dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dekat dan dikenal oleh-Nya. Orang-orang ini dikenal Allah karena sering berkomunikasi atau senantiasa ‘mencari muka’ dengan menyebut-nyebut nama-Nya.

Nabi dan orang-orang shaleh sama seperti kita. Mereka juga manusia biasa (basyariah), namun sangat terlatih dalam penguasaan teknik komunikasi transenden. Sehingga mampu bercakap-cakap bahkan mendengar langsung ‘suara’ Tuhan. Seperti pengalaman Musa AS di gunung Sinai, “wakallamallahu Musa taklima” (QS. An-Nisa’: 164). Atau Muhammad SAWW yang face to face dengan Allah SWT saat mikraj di Sidratul Muntaha atau pada setiap waktu lainnya di Alam Rabbani (inni wajjahtu wajhiya). Mereka punya kemampuan berkomunikasi yang bisa memastikan bahwa benar-benar ‘melihat’ Allah, dan Allah benar-benar mendengar mereka.

Kita juga dijanjikan bisa seperti itu. Banyak riwayat yang menceritakan bagaimana putri Nabi SAWW, Fatimah Azzahra bercakap-cakap dengan malaikat. Ini dikenal dengan komunikasi “malakuti.” Begitu juga anggota Keluarga Nabi yang suci lain yang dalam shalat kita juga senantiasa bershalawat kepada mereka. Ilmu-ilmu komunikasi melalui media alam jabarut, malakut dan rabbani ini diturunkan oleh Nabi ke kita hingga hari ini melalui Keluarga dan juga via sahabatnya.

Komunikasi yang bisa merasakan dan memperoleh feedback secara langsung dari Allah adalah jenis komunikasi yang terlatih, melalui metode tertentu sesuai petunjuk-Nya. Dalam khazanah keilmuan Islam, metode komunikasi atau jalan penyampaian pesan melalui jalur istimewa ini disebut dengan “tarekat” (berasal dari kata “thariqah” yang artinya “jalan”).

Garis besar metodologi komunikasi model ini sudah diberitakan dalam Alquran (QS. Al-‘Ala: 14-15):

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ . وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ .

“(14) Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, (15) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”

Menurut ayat ini, ada tiga kunci komunikasi efektif yang merupakan bagian dari proses tarikat: (1) Dimulai dari “Pembersihan Diri”. Ini merupakan aspek terluar atau syariat dari agama, karena masih bicara “diri” kita atau membangun “wadah”. (2) Lalu masuk ke tahap “ingat Nama Tuhan”. Ini sudah level hakikat, yaitu mulai menghidupkan koneksi atau menyebut-nyebut asma Tuhan; dan (3) Shalat. Ini inti dari agama atau makrifat, yaitu perjumpaan dengan Wajah atau Dzat Tuhan.

Kita mulai dari bagian akhir atau shalat, sebagaimana tersebut pada ujung ayat ke 15 surah Al-‘Ala. Sembahyang (shalat) merupakan puncak komunikasi kita dengan Allah, setelah proses penyucian diri dan latihan mengingat nama Allah. Efektifnya, shalat itu merupakan bentuk mikraj kaum mukmin: “as-Shalatu mikrajul mukminin” (HR. Bukhari). Maknanya, (ruh) kita benar-benar ‘terbang’ dan berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Itu shalat khusyuk, shalat yang hanya terkoneksi dengan Allah (dan juga dengan ruhul muqaddasah Rasulullah). Inilah puncak pengalaman. Fana.

Namun shalat kita sering salah sambung. Saat shalat, seperti bunyi surah Annas ayat 4-6, kita justru konek dengan dunia “was-was” (halusinasi jaringan jin ataupun tarikan imajinasi dunia materialisme: min syarril was wasil khannas. alladzi yuwas wishufi shudurinnas. minal jinnati wannas).

Maka komunikasi efektif dengan Allah harus dimulai dengan proses taubat dan permohonan perlindungan dari Allah. Semua ini ada dalam kerangka awal komunikasi, sebagaimana bunyi awal surah Al-‘Ala ayat 14 di atas, yaitu “pembersihan diri” (tazakka). Nabi, para imam dan mursyid-mursyid yang suci adalah orang-orang yang setiap hari bertaubat kepada Allah (tazkiyatun nafs). Kalau dipikir-pikir apa dosa mereka. Mereka tidak pernah mabuk, tidak berzina, tidak korupsi, tidak melakukan kemungkaran-kemungkaran yang biasa kita jumpai.

Mereka adalah orang-orang yang hatinya selalu dalam keadaan takut (khauf). Maksud takut disini adalah, takut jangan-jangan ada satu detik atau satu tarikan nafas yang disana mereka lalai dari mengingat Allah. Karena dosa terbesar kita bukanlah dosa mabuk, zina dan sebagainya itu. Dosa terbesar adalah kumpulan dosa-dosa kecil yang kita anggap itu bukan dosa. Termasuk dosa-dosa akibat lalai dari mengingat Allah.

Maksud “lalai” disini bukan tidak mengakui Allah sebagai Tuhan. Tetapi sesudah kita dulu dalam sulbi ibu kita sungguh-sungguh mengakui Dia sebagai Tuhan (QS. Al-‘Araf: 172), kemudian saat tumbuh besar kita tidak lagi berinteraksi/berkomunikasi secara efektif dengan-Nya. Dalam Surah Al-Ma’un, orang-orang seperti ini disebut sebagai “pendusta agama.” Punya Tuhan tapi lalai dari mengingatnya. Persis seperti kita yang punya orang tua, tapi lalai dari mengingat mereka. Atau juga seperti sebagian suami yang punya anak dan istri, tapi lalai dari mengingat mereka. Maka sudah bisa dipastikan, kita akan terus bekerja namun bukan persembahan untuk yang diingatnya. Bahkan boleh jadi ia bekerja untuk ‘berhala-berhala’ lain (selingkuhannya).

Banyak dari kita yang menganggap sepele urusan mengingat Allah. Tema-tema dzikrullah terkesan rendah. Karena umumnya menganggap itu perkara mudah. Tapi perhatikan bagaimana kenyataannya. Jangankan di luar shalat, dalam shalat pun kita gagal mengingat Allah (tidak khusyuk). Padahal, shalat itu dzikrullah, media khusus untuk ingat Allah. Tetapi dalam shalat kita justru ingat kambing, ingat barang dagangan, ingat pemilu, ingat jabatan yang mau diganti, ingat lawan politik, ingat gaji, ingat proyek, dan lain sebagainya.

Kalau masa jahiliah dulu kaum musyrik hanya menyembah 1 berhala perhari, dengan total 365 berhala dalam setahun, maka kita yang beragama di era modern ini lebih parah dari itu. Bayangkan, setiap shalat muncul 1 imajinasi liar. Kalau sehari semalam ada 5 waktu shalat, maka ada 5 berhala yang kita ingat. Bayangkan setahun, 5 x 365 = 1.825 berhala yang kita hadirkan dalam shalat kita. Wajar kalau akhlak kita tidak pernah sempurna.

Maka maqam awal untuk terkoneksi dengan Allah adalah “taubat”, khususnya akibat lalai dari mengingat Allah. Ada berbagai metode taubat. Dalam tarekat diajarkan itu. Termasuk meregulerkan shalat taubat. Bagi masyarakat awam seperti kita, shalat taubat adalah barang langka. Sementara para nabi dan kaum arif lainnya, ini justru bagian dari lifestyle harian mereka.

Tahap selanjutnya, sebagaimana bunyi awal ayat ke 15 Surah Al-‘Ala di atas, adalah “wazakarasma rabbihi” (Dan dia ingat Nama Tuhannya). Untuk mencapai level efektif dalam berkomunikasi dengan Allah harus diawali oleh kebiasaan-kebiasaan untuk menyebut Asma-Nya (Dzikir). Kalau tidak pernah melalui proses-proses dzikir yang intensif dan dengan cara-cara tertentu sebagaimana diajarkan Nabi SAWW dan para penerusnya, maka sulit connect dengan Allah saat shalat. Shalat itu juga dzikir. Maka perlu ada berbagai bentuk latihan zikir yang mengantarkan kita kepada shalat yang sempurna. Sebelum kita bertemu seseorang, maka tahap pertama biasanya adalah memanggilnya. Itu makna zikir. Dengan dipanggil maka ia datang.

Ada berbagai praktik zikir dalam tarikat. Mulai dari apa yang dibaca, banyaknya bacaan, kapan dibaca, dan berbagai bentuk komunikasi non-verbal lainnya seperti bagaimana cara baca, cara duduk, arah kepala, kondisi ruangan, wangi-wangian, dan sebagainya. Komunikasi dengan Allah bukan cuma persolan bahasa verbal, namun juga non-verbal. Shalat juga demikian. Sebagian besarnya adalah non-verbal, seperti posisi tubuh (berdiri, rukuk, iktidal, sujud, tahiyyat dan lainnya). Lainnya termasuk gerakan tangan (takbir), ekspresi wajah dan qalbu (tangisan) dan lainnya.

Training zikir ini disebut “suluk”, yang secara harfiah artinya “menempuh” (jalan). Sebagaimana shalat yang harus terus dilatih agar semakin baik, suluk juga demikian. Suluk adalah latihan spiritual untuk mengirim transmisi (pesan/message/zikir) kepada Tuhan. Ada tata cara tersendiri dalam melakukan suluk ini. Bisanya langsung langsung dibawah pengawasan dan bimbingan seorang guru rohani (mursyid/master of training). Semakin kuat spiritual atau karamah seorang mursyid maka semakin bagus hasil dari suluk ini. Karena ia juga menjadi washilah atau perantara untuk hadirnya ilmu-ilmu Allah bagi para kadernya.

Dalam bentuk paling sederhana, suluk ini disebut “iktiqaf.” Sebagaimana iktiqaf, suluk juga banyak dilakukan pada bulan Ramadhan. Karena pada bulan ini jarak seorang hamba dengan Tuhan sangat tipis. Sehingga zikir dan berbagai ibadah yang menyertainya menjadi lebih efektif. Segala permohonan akan dikabulkan, dengan syarat: semua rukun, syarat dan adab tarekat benar-benar terpenuhi. Sebagaimana Firman Allah:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala adab dan syarat) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186)

*****

Sesuatu yang membuat kita bahagia adalah karena “connect” dengan Allah SWT. Kalau konek kita pasti bahagia, karena komunikasinya efektif (berbalas). Bayangkan kalau anda bicara secara langsung dihadapan seseorang, atau bicara di Hp namun anda bisa melihat lawan bicara atau paling tidak mendengar ia membalas pesan anda. Anda pasti puas.

Lalu bandingkan dengan pengalaman anda ketika bicara sendiri, tak ada yang merespon. Apalagi kalau dicuekin. Pasti suntuk sekali. Bahkan bisa gila. Memang begitu, kalau tidak konek dengan Allah akan menjurus kepada penyakit jiwa. Banyak yang seperti itu. Semakin tua semakin kentara dengan perilaku aneh. Bicaranya juga semakin tidak terarah. Harusnya semakin tua semakin arif, karena semakin dekat (connect) dengan Allah. Maka beruntunglah yang sudah bertarekat sejak muda. Ali bin Abi Thalib sejak kecil sudah bermursyid kepada Nabinya. Itu mengapa karamahnya tinggi sekali, yang dalam dunia sufi digelari “karamallahu wajhah.”

Jadi, komunikasi paling buruk adalah komunikasi yang kita terus bicara dan berdoa, namun tidak terbalas. Kita bisa saja shalat puluhan rakaat dan berdzikir berjam-jam. Tapi didengar pun tidak. Orang-orang yang mengalami ini pasti hidupnya tertekan, stress, was-was, gundah dan tidak bahagia. Akhlaknya juga tidak berubah. Karena tidak terkoneksi dengan Allah.

Puncak dari beragama adalah “rasa.” Oleh sebab itu bersyukurlah orang-orang yang merasakan “nikmat” iman. Yaitu yang beriman bukan dengan sekedar percaya Allah itu ada. Tapi benar-benar bisa merasakan bahwa Allah selalu berbicara kepadanya dan senantiasa membalas setiap anda memanggilnya. Itulah yang disebut “kehadiran Tuhan” (God consciousness /omnipresent).

*****

Saya memohon bimbingan dari Allah dan guru-guru yang mulia agar bisa memperbaiki komunikasi saya dengan Allah. Saya menulis bukan karena sudah mendalami alam ketuhanan ini. Potongan-potongan hikmah ini sengaja saya susun agar juga menjadi pengetahuan bagi para murid yang sedang menempuh “jalan” serupa. Tulisan ini lahir setelah duduk sejenak, juga sambil tertawa-tawa, mendengar ulasan kocak Syeikh Ahmad Sufi Muda tentang berbagai hal terkait perjalanan menuju Tuhan.

Makmeugang kami bersama beliau tidak hanya bisa mencicipi gulai kambing, namun juga potongan ayat dan cahaya yang kemudian saya tangkap dan rangkai dalam bangunan tulisan yang mudah-mudahan ikut mengenyangkan jiwa kita. Bolehlah kalau saya sebut tulisan ini sebagai sajian gulai makmeugang makrifat. Bukan hanya kita menyembelih hewan. Namun juga menemukan rasa ketuhanan dalam kenduri dan silaturahmi menjelang Ramadhan. Terima kasih Abuya dan kawan-kawan semua!

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad.*****

Next Post

PANGGILAN ZIARAH

Tue May 15 , 2018
Panggilan […]

Kajian Lainnya