PUASA, SENI BERAGAMA DARI “PERCAYA” KE “MERASA”

image: guntomara.com

Puasa, Seni Beragama dari “Percaya” ke “Merasa”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Mukmin” itu artinya (orang-orang yang) “percaya” kepada adanya Allah. Sedangkan “Taqwa” itu maknanya (orang-orang yang) “merasakan” kehadiran Allah. Jadi, puasa itu sebagaimana di pesankan dalam Surah Al-Baqarah 183, bertujuan untuk menciptakan jenis orang yang sudah percaya kepada adanya Allah, berkembang menjadi sosok-sosok yang bisa merasakan Wujud yang dipercayainya itu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Agama dan Pencarian Tuhan

Agama adalah tentang pencarian kebenaran. Setiap orang mencari atau setidaknya bertanya-tanya tentang itu. Dan puncak dari kebenaran adalah Tuhan. Pun setiap orang punya feeling akan adanya Tuhan. Ini yang disebut fitrah. Oleh sebab itu, sikap percaya kepada adanya Tuhan sudah inherent dalam benak kita.

Para nabi kemudian diutus untuk menyampaikan kepada manusia, bahwa apa yang ada dalam pikiran kita itu benar adanya. Karena nabi adalah orang-orang yang sudah “menyaksikan” bahwa Allah benar-benar ada. Makanya iman dan kecerdasan para nabi tinggi sekali, karena sudah kasyaf (memperoleh pengetahuan) tertinggi. Mereka sudah mendapatkan apa yang dicari-cari banyak orang.

Akhlak mereka pun indah sekali. Karena sudah sudah memperoleh Tuhan, sudah menyatu atau dekat dengan Yang Maha Sempurna. Jadi, puncak beragama ada pada posisi “taqwa” (merasakan Allah) bukan “iman” (sekedar percaya kepada adanya Allah).

Untuk bisa sampai pada tingkat “percaya” juga sudah bagus. Karena ada orang-orang yang berusaha menolak untuk percaya (ateis). Sehingga untuk memupuk sikap percaya masyarakat awam secara benar kepada adanya Allah, lahirlah berbagai rumusan tentang Allah. Baik itu tentang sifat (asma) maupun perbuatan (af’al) Allah. Para ulama dan filsuf saling berkompetisi untuk mendefinisikan Tuhan. Tak jarang sesama mereka saling berantam untuk memaksakan karakter Tuhan yang dipercayainya.

Namun seperti apa sesungguhnya Allah, dalam pengertian Zat, itu urusan masing pribadi kita untuk menemukannya (merasakan, secara haqqul yaqin). Inti dari beragama adalah kembali kepada Allah SWT. Karena kita memang berasal dari-Nya. Tidak boleh terpisah. Itu makna “Innalillahi wainna ilaihi rajiun” (QS. Al-Baqarah 156). Kita kembali kepada-Nya tidak hanya dengan kematian alami. Tetapi juga dengan kematian diri (ego) melalui zikir (shalat), puasa, sedekah dan ubudiyah lainnya. Prosesi ini akan membawa ruh kita “kembali” bertemu Allah.

Maka kalau kita baca Albaqarah 183, pesannya jelas sekali. Kita diminta meng-upgrade level agama. Dari maqam “percaya” (iman) ke maqam “merasakan” (taqwa). Kita percaya adanya Allah melalui berbagai cara. Termasuk karena adanya petunjuk teks (ayat) dalam kitab Alquran. Namun tetap saja, seribu kali Alquran tamat kita baca, Allah tidak pernah kita temukan (rasakan). Karena Allah tidak ada dalam lembaran kertas itu.

Pun pemikiran rasional kita bisa saja terus berargumentasi akan eksistensi Allah. Tapi lagi-lagi, Allah hanya ada dalam bentuk pemikiran kita. Yang aslinya tidak pernah kita temukan. Seluruh panca indera juga bisa digunakan untuk melihat alam semesta. Tapi lagi-lagi, yang terlihat hanya tanda-tanda bahwa Dia ada. Dianya sendiri tidak bisa kita ‘lihat.’ Artinya, semua kecerdasan kita itu, baik secara rasional, empiris dan tekstual masih membuat kita terhijab (terhalang) dari perjumpaan dengan Allah. Maka dibutuhkan alat dan pengetahuan yang lebih tinggi untuk bisa sampai kepada Allah.

Ada beberapa hal yang membuat kita terhijab dari bertemu Allah. Selain hijab nafsu dan syahwat, juga ada yang namanya hijab agama (berupa doktrin-doktrin yang membuat kita semakin kaku dan radikal dalam berislam). Hijab lainnya adalah pengetahuan (terlalu banyak membaca, rajin berteori dan sok tau). Semua hijab ini tidak akan pernah membawa kita sampai kepada pertemuan dengan Allah. Puasa adalah media dari Allah untuk menghancurkan hijab-hijab itu. Melalui puasa kita ‘membakar’ itu semua. Termasuk mengurangi ‘bicara’ (ego). Lalu diganti dengan memperbanyak ingat (zikir).

Diam (zikir) adalah kuncinya

Inilah bulan untuk masuk ke tahap “diam”. Lihat bagaimana Maryam berpuasa: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Maha Pemurah, maka aku takkan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini (QS. Maryam: 26)“. Ini perintah untuk menghilangkan dimensi akademis (rasionalitas) kalau ingin “melihat” Allah. Dimensi diam adalah dimensi yang akan meningkatkan kecerdasan “mukasyafah” (tersibaknya tirai kegaiban) dan “musyahadah” (penyaksian akan Wajah Allah). Ini pangkal ilmu laduni.

Lihat apa yang diperoleh Maryam ketika telah sampai pada pengetahuan ini. Ayat 17-21 pada Surah yang sama menceritakan “karamah” Maryam lainnya. Ia dapat melihat dan bercakap-cakap dengan malaikat (Jibril as). Ini kelebihan orang-orang yang benar-benar berpuasa. Mereka mampu masuk ke dimensi lain (alam jabarut, malakut dan rabbani). Disana mereka berjumpa dengan wujud-wujud suci lain. “Pertemuan dengan malaikat pada situasi demikian menjadi hal biasa”, sebut Syaikh Ahmad Sufi Muda suatu ketika ke arah 9 orang kami yang menyimak ceramah dan guyonannya sehari sebelum puasa.

Pada dimensi inilah terdapat “Lailatul Qadar” yang kita cari-cari (QS. Alqadar: 1-5). Ini penyebab para imam suci dan ulama-ulama sufi memiliki pengetahuan rahasia tentang Alquran. Sebab, Alquran yang ada di alam tertinggi diturunkan ke dada mereka pada “malam” yang hening ini. Pun perjumpaan dengan “ruh suci” (ruhul quddus) pada waktu tersebut menjadi moment of truth. Puncak bahagia.

Ada orang yang seumur hidupnya mencari sesuatu, namun tak pernah menemukannya. Tapi sekejap pengalaman spiritual pada “malam mulia” ini membuat segalanya pay-off (terbayarkan). Ada yang ‘gila’ dengan pengalaman ini. Seperti pengalaman para sufi yang mabuk Cinta. Itu karena tak kuasa menahan haru ketika menemukan Kekasih yang sudah “1000 bulan” dicarinya. Ia menangis, tersenyum dan terkadang bicara sendiri. Bagi anda yang paham pasti akan ikut berbahagia dengan apa yang dia alami.

Mereka yang bertaqwa (telah menemukan Lailatul Qadar/merasakan kehadiran Allah) akan mengalami hidup sejahtera hingga fajar akhirat (“salamun hiya hatta mathla’il fajr”, QS. Alqadar: 5). Orang bertaqwa memang dijamin kemudahan dan dicukupkan rizkinya. Bahkan rizki mereka muncul secara aneh, dari arah tidak diduga-duga. Ini salah satu kemulian yang Allah beri untuknya. “… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS. At-Thalaq: 2-3).

Bagi umat lain sebelum Muhammad SAWW butuh waktu sampai 1000 bulan untuk menghancurkan berbagai hijab guna berjumpa Allah. Mungkin itu juga penyebab kenapa usia mereka panjang-panjang. Tapi rahmat yang Allah sediakan bagi pengikut Al-Mustafa tak ada duanya. Sebuah bulan paling mulia, yang jarak antara hamba dengan Tuhan tipis sekali (“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat… QS. Albaqarah: 186), datang setiap tahun. Maka kalau pengalaman spiritual Lailatul Qadar tidak kita alami, sungguh Ramadhan dan puasa menjadi tak begitu berarti. Tidak ada yang kita peroleh, seperti kata Nabi SAWW, “kecuali lapar dan dahaga.”

Kesimpulan

Kita sudah memilih untuk beragama. Dan inti dari beragama adalah menemukan Allah (merasakan kehadirannya). Ini pengalaman yang akan menyempurnakan akhlak. Mudah-mudahan kita tidak mati dalam kedangkalan aqidah. Yaitu, hanya percaya-percaya saja kepada Allah (iman) tanpa pernah berjumpa Wajahnya (syahadah).

Makanya bahasa dipenghujung Albaqarah 183 adalah “la’allakum tattaqun” (semoga kamu bertaqwa). Capaian taqwa murni karena usaha dan kesungguhan kita dalam menjalani berpuasa. Kalau masih menjalani puasa seperti orang awam, Lailatul Qadar tidak akan pernah ada. Pengalaman ini barang langka. Hanya bisa ditemukan dalam tradisi kelompok khawasul khawas (kaum sufi/irfan). Karena mereka ini mau bersungguh-sungguh (mujahadah) menjalani penyucian diri, puasa, dan zikir dengan metode suluk (iktikaf) yang ketat.

Ramadhannya para pencari Tuhan tentu berbeda dengan Ramadhan kita orang awam. Mereka berbuka hanya dengan sebutir kurma. Sementara kita merespon sirine dan beduk dengan berpiring-piring makanan yang tak pernah kita lihat pada bulan-bulan sebelumnya. Para sufi menghidupi Ramadhan dengan stock pangan ala kadar. Karena intinya memang mengurangi perputaran asupan makanan. Kita menghidupi Ramadhan justru dengan belanja besar-besaran. Maka bagaimana mungkin Tuhan hadir pada jiwa yang hedonis kapitalis. Tapi entahlah, mungkin Tuhan ada dibalik perputaran uang untuk memperbanyak makan.

Yang kita khawatirkan adalah, semakin panjang Ramadhan semakin jauh kita dengan Tuhan. Menjelang Hari Raya, Tuhan sama sekali sudah menghilang. Karena Dia tak kuasa menemani kita dari satu mal ke mal yang lain. Dari satu toko kue ke toko kue lain. Dari satu toko baju ke toko baju lain. Sementara hati kita kosong dari kehadiran-Nya.

Saya kira tak ada cara lain bagi kita untuk lebih efektif beragama, selain dengan mendalami kembali metode kearifan Islam warisan orang-orang terdahulu. Tarekat dan sufisme. Yang dibimbing oleh mursyid yang mumpuni!

Saya kira ini menu berbuka yang bisa saya sajikan untuk hari pertama puasa. Rempah-rempahnya saya olah dari kebun Makrifat Sufi Muda, yang saya petik di Surien menjelang Dhuhur sehari sebelum puasa.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

 

3 thoughts on “PUASA, SENI BERAGAMA DARI “PERCAYA” KE “MERASA”

Comments are closed.

Next Post

THE QURANIC CODES

Sun May 20 , 2018
“The […]

Kajian Lainnya