MANUSIA: ANTARA ANJING DAN MALAIKAT

image: oshoindonesia.com

Manusia: Antara Anjing dan Malaikat
Oleh Said Muniruddin

Suatu ketika anda berjumpa anjing. Lalu berkelahi dengannya. Anda kalah. Nah, pada saat itulah anda lebih hina dari anjing.

Dalam tasawuf, makna anjing disini bukanlah anjing betulan. Melainkan karakter buruk anjing yang ada dalam setiap diri kita. Seperti mudah tergiur dan menjulurkan lidah kepada berbagai jenis bangkai (barang haram). Ada perintah Agama untuk tidak memelihara anjing dalam rumah. “Rumah” dalam makna paling substantif adalah “qalbu.” Jangan ada anjing di hatimu. Anjing adalah simbolisasi dari berbagai bentuk syahwat dan penyakit batin.

Dalam Nahjul Balaghah Imam Ali as mengatakan, “dunia ini seperti seonggok bangkai dan hanya anjing yang tertarik dengannya”. Makna “dunia” disini adalah segala hal yang memalingkan kita dari Allah.

Barang-barang haram yang tidak pantas kita miliki atau kita miliki dengan cara-cara yang salah itu disebut “dunia.” Anak, istri, harta, jabatan, semuanya bisa menjadi “dunia” manakala berhasil membuat kita lalai dan gelap mata, kata Sufimuda. Secara metaforis Alquran mengatakan, “hanya anjing yang seperti itu.”

Manusia, antara anjing (fujur) dan malaikat (taqwa)

Manusia adalah makhluk yang dalam dirinya ada dua unsur: anjing (fujuraha) dan malaikat (wataqwaha). Setiap saat keduanya berebut pengaruh dalam diri kita.

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS. asSyams: 8)

Kita punya pilihan, atau apa yang disebut sebagai kehendak bebas (free will) untuk memenangkan salah satunya. Misalnya, saat bekerja sebagai polisi, jaksa atau hakim, tiba-tiba datang sekelompok orang menawarkan satu karung uang. Mereka menginginkan kemenangan atas kasus-kasus mereka, dengan mengeyampingkan aturan dan asas-asas keadilan yang sudah ada.

Kita bisa saja menerima sekarung ‘bangkai’ (uang) itu. Lalu jadilah kita seperti ‘anjing’. Kita juga bisa menolak ‘bangkai’ itu. Lalu jadilah kita seperti malaikat.

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al’araf: 176)

Ada orang yang mati dengan memelihara ‘anjing-anjing’ ini. Sehingga diriwayatkan, ketika berada di alam kubur, mereka didatangi wujud-wujud buruk rupa, berbau amis menyengat dan menggigit mereka. Inilah ‘anjing-anjing’ itu, wujud dari akhlak kita. Kubur berubah menjadi lubang neraka (huffarin niran).

Ingat. Kita punya dua wujud. Wujud kasar (makhluk) dan wujud halus (akhlak). Wujud kasar ada bentuknya dalam dimensi “nasut” (alam material atau dunia empiris). Sedangkan wujud akhlak memiliki bentuk tersendiri di alam “jabarut” (gaib).

Orang-orang shaleh yang sudah kasyaf mampu melihat diri kita dalam wujud-wujud halus ini. Ada orang yang wujud spiritualnya seperti binatang ternak karena hati, telinga dan mata mereka belum mampu merasakan kehadiran Allah (QS. Al’araf: 179, Alfurqan: 44). Ada yang berbentuk anjing karena suka memperturutkan dunia dan nafsu (QS. Al’araf: 176). Ada yang seperti kera dan babi akibat perilaku fasik (QS. Almaidah: 60).

Ada juga orang yang wujud akhlaknya berbentuk batu dikarenakan hatinya keras (QS. Albaqarah: 74). Ada yang berwujud laba-laba karena karakter sombongnya (QS. Alankabut: 41). Ada yang berwajah keledai dikarenakan banyak ilmu namun tidak memberi manfaat bagi manusia (QS. Aljumu’ah: 5). Ada yang seperti kayu, karena suka pamer tubuh atau kecantikan (QS. Almunafiqun: 4).

Jadi setiap apapun yang kita pikirkan dan lakukan di dunia ini akan membentuk “diri” kita di alam lain. Begitu juga kalau kita terus melakukan hal-hal baik, maka akan membentuk wujud-wujud rupawan, indah dan wangi, yang nanti akan menemani kita di alam kubur. Sehingga kubur akan menjadi salah satu dari taman surga (riyadhil jannah).

Penyucian Diri

Akan sangat berbahaya, jika nanti mati, berbagai jenis ‘binatang’ ini masih menyertai kita. Perlu usaha untuk mematikan berbagai wujud buruk ‘diri’ ini sebelum kita benar-benar mati. Ini yang disebut “matilah kamu sebelum kamu mati” (Hadis Qudsi).

Perlawanan untuk membebaskan diri dari nafsu dan ego ini dapat dilakukan dengan dua cara: ilmiah rasional (bayani dan burhani) dan spiritual (irfani).

1. Secara ilmiah rasional (bayani dan burhani)

Adalah dengan maksimalisasi ayat, ilmu dan akal sehat. Disini kita harus memiliki pengetahuan teoritis tentang benar-salah dan baik-buruk sesuatu. Termasuk doktrin-doktrin Alquran. Lalu setiap saat kita berhadapan dengan itu, kita harus memiliki keberanian mental untuk menyatakan “tidak” kepada yang mungkar. Serta “iya” kepada yang makruf.

Inilah bentuk aktualisasi kalimat tauhid “LA ilaha illa Allah”. Katakan “LA!” (tidak) kepada ilah-ilah palsu, kepada perangai-perangai buruk, kepada godaan-godaan syaitan. Kemudian bangun tabiat yang baik dalam berbagai sisi kehidupan. Maka lama kelamaan akan terbentuk karakter yang dimuliakan Allah (akhlakul karimah).

2. Secara spiritual (irfani)

Surah as-Syams ayat 8 di atas dilanjutkan dengan, “Maka beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya” (Qad aflaha manzakkaha, QS. As-Syams: 9). Inilah yang disebut tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ada setan-setan yang sangat halus yang harus diberantas, dikejar sampai ke lubang-lubang jiwa yang terkecil. Metode ini disebut irfan atau tarikat.

Inilah salah satu kesempurnaan Islam. Kita mewarisi sebuah metode pelatihan khusus yang membuka kesempatan bagi kita untuk mengalahkan ‘binatang-binatang’, ‘jin’, ‘setan’ atau makhluk buruk apapun yang sebagian besarnya adalah citra diri kita sendiri.

Dalam proses suluk, semua makhluk ini akan muncul dalam “alam jabarut.” Disanalah setiap salik melalui bimbingan seorang guru akan melakukan perlawanan sehingga semua “citra buruk diri” bisa dimatikan. Inilah alam takhalli (pembersihan diri). Dalam kisah Muhammad SAWW ini diidentikkan dengan proses menyendiri beliau ke ruang sepi di Gua Hira.

Jika seorang salik memiliki kapasitas dan terus bermujahadah, maka ia akan di-upgrade ke “alam malakut.” Disana ia akan menyerap energi malaikat, sehingga memiliki qalbu yang senantiasa berzikir. ini namanya tahalli, pengisian diri. Ini ibarat pertemuan Muhammad SAWW dengan Jibril untuk pengisian ilmu “Iqra” (kemampuan membaca yang tertulis dan tidak tertulis).

Level tertinggi adalah “alam rabbani”, dimensi ilahi. Disinilah terjadi tajalli. Seorang salik sudah berada di ‘Arasy dan melebur dalam Keagungan Allah. Ini Muhammad SAWW pada puncak pengalaman di Sidratul Muntaha. Pada maqam ini anda sudah lebih mulia dari malaikat. Karena malaikat tidak sampai kesana. Tidakkah apa yang dijalani dan dialami Muhammad SAWW menjadi tauladan untuk kita ikuti?

Maka carilah para mursyid pewaris Nabi untuk menjalani suluk, guna mengusir binatang yang hidup liar dalam jiwa anda. Go and move beyond your comfort stupid animal zone!

Maaf, saya sedang menasehati diri sendiri.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

JENDERAL-JENDERAL KAMI

Fri May 25 , 2018
Sejenak […]

Kajian Lainnya