MENCARI TUHAN SAMPAI KE MEKKAH, KETEMUNYA DI RUMAH

image: Para pencari Cinta sedang merayakan hari raya, 1 Syawal 1439 H

Mencari Tuhan Sampai ke Mekkah, Ketemunya di Rumah
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Suatu ketika Abu Yazid Albistami (804-875 M) pergi ke Mekkah. Putra Persia yang juga dikenal dengan Bayazid Al-Bustami ini menjadi salah satu syeikh besar dalam dunia sufi, dengan coraknya yang falsafi. Secara fiqh ia mengikuti imam Hanafi yang juga cenderung rasional.

Diriwayatkan oleh Syaikh Syamsuddin Attabrizi, guru dari Maulana Jalaluddin Rumi. Ketika sampai di Bashrah Irak, Abu Yazid bertemu salah satu guru sufi.

Lalu sang guru sufi bertanya, “mau kemana engkau wahai Abu Yazid?”. Abu Yazid menjawab, “mau pergi haji ke Baitullah.”

Sang guru sufi bertanya lagi, “berapa banyak bekal yang engkau punya untuk pergi bertemu Allah swt di Baitullah sana?” Abu Yazid menjawab, “200 dirham.”

Guru sufi menasehati Abu Yazid, “Kau serahkan saja 200 dirham itu kepadaku, lalu kau tawaflah aku sebanyak 7 kali.”

Guru sufi ini lebih lanjut menerangkan kepada Abu Yazid, “Kau pikir Allah itu ada dalam Kakbah? Apa kalian pikir Allah itu bisa kalian kurung dalam sebuah bangunan?”

“Jauh sekali engkau mencari Allah. Padahal Dia ada dalam hati seorang mukmin. Dia dekat, lebih dekat dari urat leher. Kau tawaflah aku saja, karena Allah ada dalam qalbuku,” kata sang guru.

Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa qalbu seorang mukmin adalah baitullah. Qalbu para sufi adalah qalbu yang senantiasa mengalami muraqabah. Allah bersemayam dalam qalbu yang seperti itu.

Sementara qalbu manusia biasa justru menjadi sarang syaitan. Karena jarang bahkan tidak pernah mengalami proses penyucian (suluk).

Kata guru sufi ini, “Allah tidak pernah masuk ke dalam baitullah sejak itu didirikan. Namun Allah tidak pernah keluar dari qalbuku sejak ia dibangun oleh-Nya.”

Setelah pengajaran makrifat ini, sang guru tetap mempersilakan Abu Yazid menunaikan rukun Islam kelima ke Mekkah.

Namun ada pesan sangat hakiki tentang keberadaan Allah yang diperoleh Abu Yazid dalam perspektif tasawuf dari pengalaman itu.

Disebutkan, Abu Yazid setelah itu menghabiskan seluruh waktunya di kota kelahirannya Bistami sampai akhir hayatnya. Karena ia melihat Allah ada di kampung halamannya, tak perlu mengembara kemana-mana sebagaimana umumnya pencari hakikat.

Katanya: “Temanku (Tuhanku) tidak pernah bepergian, dan karenanya aku juga tidak berhijrah dari sini” (Azyumardi Azra, Ilyas Ismail, dkk. 2008. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Penerbit Angkasa).

Ini mirip dengan yang kemudian disyairkan Hamzah Fansuri. Mencari Tuhan sampai ke Mekkah. Tapi ketemunya di ‘rumah’ (di qalbunya sendiri):

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah// Mencari Tuhan di Baitul Kakbah// Dari Barus ke Kudus terlalu payah// Akhirnya ditemukan di dalam rumah//

***

Banyak orang masih beranggapan Allah ada di Arab. Padahal hampir seluruh penjuru negerinya sudah menjadi pangkalan perang iblis dan syaitan (NATO). Termasuk Arab Saudi, setiap jengkalnya ada dalam kuasa mereka. Raja-rajanya tunduk patuh pada kekuatan hitam dunia.

Allah justru sudah pindah ke qalbu para pejuang Hizbullah, Ansharullah, HAMAS dan lainnya di luar Mekkah dan Madinah. Yang dengan itulah mereka masih bertahan menghadapi ISIS dan segenap kekuatan syaitan yang paling nyata di dunia (Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya).

***

Ternyata drama perjalanan Abu Yazid ke baitullah juga menggema sampai ke Pelekueng, Aceh. Ada berita bahwa para pengikut sebuah tarekat disana ramai-ramai naik haji ke Nagan Raya.

Kalau mengikuti aturan syariat, berhaji bukanlah kesana. Itu sudah pasti. Orang-orang tarekat juga berhaji ke negeri Arab.

Namun kelihatannya mereka masih percaya, bahwa Allah pada hakikatnya dapat ditemukan dalam qalbu seorang mursyid, seorang ulama yang dianggap mewarisi Cahaya Muhammadi.

Ditempat lain juga ada seorang habib yang saban hari ketika ditanya mau kemana, ia menjawab “mau naik haji ke rumah tetangga.”

Ternyata ada anak yatim disebelah rumah yang setiap saat ia santuni. Nabi saaw berkata, “memberi makan tetangga yang miskin sama pahalanya dengan naik haji.”

Kalau pengikut Syattariyah di Nagan naik haji ke Pelekung, maka pengikut habib ini naik haji ke rumah tetangga.”

Kaum sufi dalam berbagai konsep dan bentuk ritusnya memang terlihat aneh di mata awam. Tapi mereka tak pernah mengkafirkan orang. Sehingga kehidupan sosial cenderung tenteram. Seperti itulah dasar-dasar keislaman di Aceh dan nusantara ditegakkan.

Sementara kaum syariat, saban hari melalui corong masjid dan medsos membidahkan berbagai perbedaan dalam kehidupan beragama. Keberadaan mereka justru menggusur kedamaian.

Padahal mereka menimba ilmu agama sampai ke Arab. Tetapi kenapa Allah yang maha pengasih dan penyayang tidak dibawa serta? Apakah benar seperti hipotesis sebelumnya, bahwa tidak ada lagi Tuhan disana? Sehingga ilmu (syariat) lebih kental daripada adab (etika).

Itu perbedaan ketauhidan kaum sufi dengan ustadz-ustadz syariat, apalagi yang salafi yang begitu fenomenal belakangan ini. Yang satu membangun toleransi. Lainnya memprovokasi.

Syariat dan tarekat harus berjalan bersama. Agar melahirkan Islam lahir batin. Ketaatan yang toleran.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

PURE MIND WITH DIRTY CLOTHES

Sun Jun 17 , 2018
FATHIMAH. […]

Kajian Lainnya