PESAN TASAWUF DARI MIMBAR JUM’AT

image: saidmuniruddin.com

Pesan Tasawuf Dari Mimbar Jumat
Oleh Said Muniruddin 

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Setiap Jum’at sang khatib mengingatkan kita tentang kewajiban bertasawuf. Ayat ini dikenal dengan “pesan-pesan taqwa”:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ 

“Hai orang-orang yang percaya kepada adanya Allah (beriman), rasakanlah keberadaan Allah itu (taqwa) dengan benar-benar merasakannya (haqqu taqwa/ haqqul yaqin); dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan pasrah/berserah diri kepada Allah (muslimun)” (QS. Ali Imran: 102). 

Saya meng-highlight sejumlah poin pada ayat tersebut yang menjadi bahasan kita. 

Dari Iman (Tauhid) ke Taqwa (Tasawuf)

Ada bermacam pengertian “tasawuf” baik secara etimologis (kebahasaan) ataupun terminologis. Secara singkat diartikan sebagai “proses penyucian jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah.” Dan praktisnya, ada berbagai metode (jalan) yang digunakan dalam penyucian qalbu ini, yang disebut “tarekat.” 

Tujuan dari praktik irfan atau sufisme ini, sebagaimana tersurat pada Ali Imran 102 di atas, adalah untuk meng-upgrade level agama kita dari sekedar “mempercayai” (iman) ke level “merasakan” keberadaan Allah (taqwa). 

Kita percaya, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari itu” (Hadis riwayat ar-Rawiyani, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, adh-Dhiya’). Namun kapan dikatakan Islam itu tinggi? Tentu pada saat kita bisa mencapai dimensi ilahiah, yaitu mampu menghadirkan diri disisi Allah (taqwa). Ini dimensi irfan atau tasawuf.

Para ulama mengartikan taqwa sebagai “omnipresent” atau rasa kehadiran Tuhan. Dengan benar-benar merasakan kehadiran Tuhan maka terbentuk sebenar-benar rasa takut (yang juga diartikan sebagai taqwa). Kalau sekedar percaya maka belum menimbulkan rasa takut sekaligus cinta. Anda harus benar-benar “berjumpa” atau “bersentuhan” dengan-Nya untuk bisa merasa. 

Mereka yang sudah merasakan adanya wujud Allah juga disebut telah memperoleh “celupan”-Nya (shibghatullah, QS. Albaqarah: 183). Pemahamannya seperti ini. Secara teoritis misalnya, kita percaya kepada adanya laut dengan berbagai definisi dan sifat-sifatnya (ini disebut keyakinan berdasarkan ilmu atau ilmu yaqin). Tetapi kita baru mendapat pencerahan pada saat berkesempatan melihat laut (atau apa yang disebut sebagai penyaksian atau ainul yaqin). Lebih dari itu, keimanan kita kepada laut baru akan sampai pada level puncak atau haqqul yaqin pada saat dicelup, berenang-renang, menyelam atau fana di dalamnya. Pada saat itulah kita mengetahui/merasakan langsung apa yang kita diskusikan dan lihat sebelumnya.

Keimanan dan Maksiat 

Penting untuk memastikan kehadiran Allah dalam jiwa kita. Sebab, jika Dia tidak benar-benar kita pastikan ada dalam qalbu kita (haqqa tuqaatih, QS. Ali Imran: 102), maka kemungkinan setanlah yang akan mengisinya. “Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Kalau yang hak tidak mengisi kita, maka yang batil akan mengisinya. Sebaliknya, kehadiran yang hak akan menghancurkan yang batil (waqulja alhaqqu wa zahaqal batil, QS. Alisra: 81).

Aneh memang. Kita melakukan maksiat (korupsi dan sebagainya) justru saat sudah beragama atau percaya kepada adanya Allah. Yang tidak beragama juga banyak melakukan dosa. Dosa-dosa itu berani kita lakukan karena kita tidak merasakan kehadiran Allah. Kita tidak merasa adanya ‘mata’ yang sedang mengawasi.

Sama seperti kita para pegawai pemerintah yang yakin dan mengakui adanya KPK, BPK, inspektorat dan badan pengawas pembangunan lainnya. Tapi kita masih juga melakukan pelanggaran. Karena kita tau, lembaga-lembaga tersebut tidak hadir saat kita bekerja. Coba kalau kita tau mereka ada di kiri dan kanan sedang memplototin kita beraktifitas, pasti kita tidak berani melakukan tindak kecurangan. Pengetahuan intuitif bahwa Allah benar-benar hadir inilah yang disebut taqwa. Tidak banyak orang yang sampai kesana.

Karena itulah khutbah Jumat mewajibkan adanya pesan-pesan taqwa kepada jamaah. Begitu pentingnya “rasa kehadiran Allah” sehingga dimensi tasawuf dan tarekat menjadi sama wajibnya dengan syariat. Sebab, taqwa adalah kunci segala kebaikan (ihsan). Akhlak menjadi sempurna manakala kita sampai pada level makrifat/taqwa (merasakan Allah).

Orang-orang bertaqwa tidak butuh pengawasan manusia. Amal mereka umumnya juga tersembunyi. Bagi mereka, ridha Allah dalam setiap tindakan itu sudah segala-galanya. Makanya perilaku mereka menjadi baik sekali (insan kamil). Semuanya digantungkan kepada aspek “kehadiran Allah.”

Seperti itu pulalah jenis shalat yang sempurna. Yaitu jenis shalat yang benar-benar menghadirkan Allah. Sehingga pelakunya terjauhi dari sifat keji dan mungkar (QS. Al’ankabut: 45). Kehadiran Allah dirasakan secara benar atau sungguh-sungguh (haqqa tuqatih). Bukan teoritis atau imajinatif (pura-pura). Karena walaupun Allah itu secara empirik berbeda dengan apapun (laitsa kamislihi syaiun), Dia itu maha nyata bagi mata batin yang suci (ad-Dhahiru wal-Bathinu).

Makanya beda antara shalat ahli zikir dengan anti zikir. Shalat orang-orang yang anti atau malas berzikir cenderung diganggu syaitan. Sementara shalat ahli zikir dijauhi syaitan. Bahkan tidur merekapun tidak berani diganggu. Karena mereka termasuk orang-orang berilmu (memiliki makrifat, ada Tuhan dalam diri mereka). Sehingga ada hadis yang menyebutkan, “tidurnya orang yang berilmu lebih baik dari ibadahnya orang bodoh.” Lainnya, “dua rakaat shalat orang berilmu lebih baik dari shalat semalam suntuk orang yang tidak berilmu.”

Jadi, inti dari agama ada pada aktifnya dimensi batiniah (sinyal muraqabah), atau sering diistilahkan dengan “qalbu.” Semua orang punya qalbu. Tetapi tidak semuanya aktif (mengalami rasa kehadiran Allah). Seperti telepon genggam yang di dalamnya ada simcard. Komunikasi kita baru akan terkoneksi pada saat simcard diaktifkan. Kalau tidak, ibadah kita persis seperti anak kecil yang berbicara sendiri dengan hp mainan.

“Nur Muhammadi” yang ada dalam qalbu inilah yang menjadi wasilah yang bisa membuat kita dekat, sampai, bertemu atau ‘menyatu’ dengan Allah. Kepada Nur yang ada dalam diri Adam inilah iblis pernah disuruh sujud. Tapi ia menolak sehingga semua ibadahnya tidak sampai (tertolak). Pun kepada Muhammad SAW kita berwasilah (seperti doa wasilah setelah azan –aati Muhammadanil wasilata walfadhilah, juga syahadat dan shalawat kepada beliau dalam shalat agar ibadah kita sempurna dan berterima disisi Allah). Karena ada Nur Allah (cahaya kerasulan) dalam diri Muhammad dan Ulil Amri (Keluarga dan para mursyid pewaris Nabi SAAW) setelahnya.

Karena hanya Cahaya Allah yang bisa membawa kita sampai kepada Allah. Kalau kita sendiri mana bisa sampai kepada-Nya. Kita ini hanya wujud material yang tidak pernah bisa “menyatu” dengan-Nya. Jadi, dimensi (cahaya) Allah yang ada dalam diri kita inilah (nurun ‘ala nurin, QS. Annur: 35) yang harus kita aktifasi melalui berbagai bentuk latihan (salik) ruhaniyah.

Dua Tahapan Perjalanan Seorang Hamba

Ada banyak skema yang menjelaskan perjalanan (salik) seseorang. Saya menyederhanakannya dalam dua: (1) tahap naik, dan (2) tahap turun. Tahap naik adalah tahap menuju (mengenal/merasakan kehadiran) Allah. Sedangkan tahap turun merupakan tahap membawa rasa ketuhanan tersebut (taqwa) dalam aktifitas mengabdi dan memimpin masyarakat.

Yang dimaksud berislam secara sempurna (kaffah) adalah berislam dalam kedua busur ini, naik dan turun, secara terus menerus. Sama seperti bernafas. Ada nafas masuk, ada nafas keluar. Ada saatnya menyerap energi (cahaya) Tuhan, ada saatnya menebarkan rahmat yang diperoleh dari sisi Tuhan.

Maka jangan hanya rajin shalat dan zikir saja (ibadah personal) tetapi tidak rajin berubudiyah dan bersedekah (ibadah sosial). Atau sebaliknya, rajin berinteraksi dengan masyarakat tetapi tidak sempurna dalam membangun komunikasi (muraqabah) dengan Allah.

Dalam konteks kenegaraan misalnya, jangan cuma rajin berdinas (melayani masyarakat) dari Senin sampai Jum’at sepanjang tahun, namun bersuluk (menyepi bersama Allah) selama 5-10 hari dalam setahun tidak sempat. Harus profesional. Ada waktu khusus untuk melayani rakyat (hari-hari kerja). Ada waktu khusus bersama keluarga (weekend atau liburan panjang lainnya). Juga ada waktu spesial bersama Allah tanpa dicampuri  urusan masyarakat dan keluarga (khalwat).

Salik 1: Perjalanan Mengenal Allah (Jihad Individual)

Ada ungkapan yang sangat populer dalam Islam, “Awaluddin makrifatullah.” Awal dari agama adalah mengenal Allah. Jadi, mengenal Allah itu baru awal dari agama. Berarti masih ada kelanjutannya. Itu yang kita maksud sebelumnya, setelah diawali dengan mengenal (mulai dari percaya sampai kepada merasakan-Nya) baru kemudian membawa-Nya ikut serta dalam nafas dan perjuangan kita.

Sebagaimana diterangkan dalam surah Ali Imran 102, beragama dimulai dari tahapan tauhid ke tasawuf. Maknanya, kita diperintahkan untuk bermakrifat (memiliki pengetahuan tentang Allah) mulai dari level “percaya” (iman) ke “merasa” (taqwa). Kita akan bahasa bagaimana cara membangun sikap “percaya” sampai kepada aspek “rasa”.

Dalam bangunan pengetahuan atau epistimologi Islam, ada tiga metode untuk mencapai maqam percaya (iman): burhani, inderawi, dan bayani.

Pertama, metode “burhani” (filosofis/argumentatif). Yaitu dengan membangun nalar logis bahwa Allah itu memang ada. Metode kedua adalah “inderawi” (empirisme). Yaitu pembuktian tanda-tanda adanya Allah melalui berbagai kesempurnaan ciptaan serta mata rantai eksistensi berbagai wujud ontologis yang ada di alam materi. Kesimpulan dari observasi inderawi ini juga dilakukan dengan bantuan dalil-dalil rasional.

Kedua metode ini disebut sebagai “metode barat”. Karena sifatnya cenderung rasional-empiris (otak kiri), sesuatu yang memang pesat berkembang di dunia barat. Disebut-sebut sebagai warisan Yunani. Kita tidak bisa menolaknya. Karena “wajah Allah” juga ada di Barat.

Metode pengetahuan keimanan yang ketiga adalah “bayani” (teks). Ini bersifat doktriner. Keimanan atau ketauhidan diperoleh dengan membaca atau memahami ayat-ayat yang ada dalam Alquran. Disini kita sekedar diberitau bahwa Allah ada dan sifatnya begini begitu. Kita boleh menyebutnya sebagai “metode penengah” (otak tengah). Karena sifatnya klarifikatif dan informatif.

Sementara untuk benar-benar merasa seperti apa Allah itu, kita harus masuk ke metode lain yang melibatkan instrumen “rasa” (jiwa). Ini disebut sebagai “metode timur” (otak kanan). Karena “wajah Allah” lainnya berupa dimensi spiritual yang memang berkembang di dunia timur. Inilah praktik sufisme atau tarekat.

Jadi epistimologi sekaligus ontologi ketuhanan mencakup segala sisi, “timur-barat”: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Albaqarah: 115).

Memang ada kelompok-kelompok tradisional dalam dunia Islam yang menolak dimensi “barat” untuk mengenal Allah (rasionalisme-empirisme). Sehingga jika sekolah ke negara-negara barat disebut-sebut akan menjadi kafir. Atau siapapun yang mengembangkan filsafat akan dilabeli murtad. Namun ada bentuk tasawuf yang mengapresiasi “wajah Allah” dalam dimensi barat. Ini dikenal dengan “tasawuf falsafi.” Mereka menjelaskan dunia spiritual secara rasional.

Disisi lain ada juga kelompok-kelompok liberal-saintifik (penganut ayat-ayat afaqi) dalam dunia Islam yang mengecam dimensi “timur”(praktik-praktik pengayaan spiritual yang mendalam) dalam upaya mengenal Allah. Sehingga tasawuf dan tarekat dikatakan sesat. Padahal Allah itu sendiri dengan berbagai rukun iman lain yang menyertainya berada pada dimensi yang sangat-sangat batin.

Ada juga kelompok yang murni tekstual (penganut ayat-ayat kitabi). Mereka anti rasionalitas dan gnosisme. Teks diartikan secara kaku dan harus berdasarkan harfiah teks. Mereka berislam dengan dimensi lahiriah atau syariatnya saja. Maka dari tampilan fisik juga bisa terlihat, sangat ketat pada simbol-simbol lahiriah (janggut, celana jingkrang dan sejenisnya). Sementara kaum sufi lebih mengedepankan nilai-nilai esoteris dan cinta (atau apa yang disebut sebagai “ayat-ayat nafsani”). Makanya kaum sufi lebih sukses membangun kedamaian di Nusantara melalui pengembangan kultur tradisional yang diberi “rasa” atau jiwa keislaman.

Maka untuk mencapai level pengenalan Allah yang sempurna mesti memoderasi semua kecerdasan ini: afaqi (rasional-empiris), kitabi (teks suci) dan nafsani (kesucian jiwa). Setiap pendidikan ini, sejatinya dilalui dengan bimbingan seorang guru atau master yang mumpuni. Dalam dunia rasional-empiris, misalnya, seorang mahasiswa harus dibimbing oleh seorang filsuf atau profesor yang ahli di bidangnya. Pun dalam dunia fiqh dan syariat, seorang santri mesti dibimbing seorang ulama yang menguasai teks ayat dan sunnah. Dunia sufi juga begitu, para murid idealnya dilakukan melalui bimbingan seorang guru rohani yang memiliki tingkat kewalian (waliyam mursyida, QS. Alkahfi: 17).

Jadi, tahap pertama dari beragama adalah perjalanan ruhani untuk menjumpai Allah (dari iman ke taqwa). Ini yang disebut sebagai proses transformasi diri, proses memperbaiki diri, proses memimpin diri sendiri, jihad personal atau upaya mencapai kesalehan individual. Nabi SAW menyebut ini sebagai “jihad akbar” (tazkiyatunnafs). Begitu pentingnya jihad “diri” ini, karena menjadi kunci untuk membangun sebuah bangsa.

Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah diri mereka sendiri” (QS. Arra’d: 11). Mengubah sebuah kaum harus dimulai dari dimensi tasawuf, yaitu mengubah “diri.” Mereka yang mengenal (mampu memperbaiki) dirinya akan mengenal Tuhannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Jakfar Shadiq, cicit dari Rasulullah SAW: “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”, Hadis.

Jadi memperbaiki karakter diri adalah upaya membentuk pribadi-pribadi yang taqwa (pribadi yang memiliki rasa kehadiran Allah). Itulah sumberdaya terbesar untuk membangun sebuah bangsa. Dunia Arab pada pertengahan pertama abad 7 Masehi misalnya, berubah pesat dari suku-suku jahiliah menjadi sebuah bangsa yang memiliki akar-akar madaniah ketika Muhammad berhasil menghadirkan Tuhan dalam jiwa para pengikutnya.

Ini terkait dengan apa yang dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib, “Perhatikan pikiranmu karena akan menjadi kata-katamu. Perhatikan kata-katamu karena akan menjadi tindakanmu. Perhatikan tindakanmu karena akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu karena akan menjadi karaktermu. Perhatikan karaktermu karena akan menjadi nasibmu.” Jadi nasib seseorang dan juga sebuah bangsa ditentukan oleh baik atau tidaknya diri kita semua. Allah hadir pada diri yang baik. Kalau tidak baik, berarti ego dan sifat-sifat syaitaniyah yang hadir. Sehingga merusak seluruh sendi pembangunan.

Kesimpulannya, setelah memperbaiki dan mengenal diri (mengenal Allah) maka kita akan menjadi “hamba” sekaligus menjadi pengemban mandat-Nya (khalifah). Kalau belum mengenal Allah, kemungkinan kita masih menjadi hamba syaitan. Konon lagi menjadi khalifatullah. Karena tugas khalifah adalah melaksanakan semua perintah-Nya, bukan mengeksekusi bisikan nafsu dan rayuan syaitan. Menjadi khalifah Allah adalah menjadi pemimpin diberbagai sektor kehidupan. Menjadi spiritual and social leaders. Inilah maqam kedua sufisme: jihad sosial.

Salik 2: Perjalanan Dari Allah Menuju Masyarakat (Jihad Sosial)

Tahap selanjutnya adalah perjalanan kepemimpinan untuk menguasai dunia. Dan ini agak aneh. Karena sufi dalam perspektif tertentu cenderung dipahami sebagai orang-orang kolot, kumuh dan miskin. Banyak yang masih kesulitan memahami jika seorang sufi akan menguasai dunia. Sufi identik dengan melarikan diri dari kemewahan dunia, sibuk di masjid dan zikir-zikir saja.

Sama sulitnya dengan mengajak orang masuk Islam di Barat. Disana Islam identik dengan kemiskinan dan terorisme. Memang tidak bisa dipungkiri, ada sekelompok orang yang menampilkan citra Islam seperti itu. Ditambah propaganda yang sistematis. Hanya yang mengerti substansi Islam yang bisa menerima kebenaran agama ini. Sufisme juga demikian. Ada sufisme yang mengagumkan. Ada sufisme yang aneh-aneh dan memalukan. Pada tangan yang salah, tarekat sekalipun bisa mengarah kepada mistisisme perdukunan.

Oleh sebab itu, puncak ketauladanan dari sufisme bisa ditemukan pada diri Rasulullah SAW. Perjalanan kenabian beliau selama 23 tahun mencerminkan dua tahap kesufian. Ini terbagi dalam dua periode: Makkah (jihad individual) dan Madinah (jihad sosial).

Periode Mekkah (sekitar 610-622 M) merupakan “salik pertama” kenabian (jihad individual). Tiga belas tahun Muhammad SAAW membangun konsep keimanan sampai kepada rasa “taqwa” bagi para pengikutnya. Pada periode ini beliau fokus pada aspek tauhied dan makrifat. Pengajaran keagamaan umumnya dilakukan secara rahasia (irfani).

Kalau kita tilik secara metodologis, ilmu-ilmu ketuhanan pada kadar tertentu memang bukan sesuatu yang cocok untuk disampaikan secara blak-blakan. Ada sisi batiniah yang begitu rumit. Maka pelajaran tauhid untuk anak-anak juga harus disampaikan menurut kadar kematangan mereka. Apalagi ditengah masyarakat musyrik yang sudah memiliki konsepnya sendiri, penyampaiannya juga harus ekstra hati-hati.

Namun adakalanya pengetahuan ketuhanan disampaikan secara demonstratif (burhani) guna menghentak kesadaran publik. Tetapi resikonya bisa dipancung dan digantung. Seperti yang dialami Alhallaj, Hamzah Fansuri, Siti Jenar dan lainnya. Nabi Muhammad SAW juga begitu, pengajaran ketuhanan yang terbuka menyebabkan beliau diembargo, diusir dan diperangi. Karena tidak hanya mengganggu institusi kepercayaan yang sudah ada, namun juga menantang kekuasaan yang terbangun dari keyakinan-keyakinan yang salah tersebut.

Dari periode awal ini lahirlah sahabat-sahabat utama. Walaupun berjumlah kecil namun sangat powerful. Jumlah pengikut yang sedikit ini nanti pada awal-awal periode Madinah akan mampu menghancurkan bala tentara kafir yang sangat besar. Seperti yang terjadi pada Perang Badar tahun 2 Hijriah (624 M). Pasukan Nabi berjumlah 313 orang mampu melawan 1000 pasukan kafir.

Mengapa bisa menang? Karena pada kelompok makrifatlah berbagai pertolongan Allah diturunkan. Mereka kaum yang memiliki banyak karamah karena dekat dengan Allah. Disisi lain kita juga tidak bisa mengabaikan dimensi “ikhtiar” (strategi dan taktik) yang dijalankan Nabi dan panglima-panglimanya. Tetapi hadirnya kekuatan “malaikat” sangat menentukan hasil akhir. Pun pada penghujung bulan Ramadhan, turunnya “malaikat” (tanazzalul malaikatu warruhu fiha bi izni rabbihim min kulli amr, QS. Alqadar: 4) juga sangat kita tunggu-tunggu sebagai faktor penentu kemenangan “jihad akbar”.

Itu kasus menang. Beda dengan beberapa perang yang terjadi pada fase selanjutnya di Madinah. Kaum muslimin kalah. Seperti yang terjadi di Uhud pada tahun 3 Hijriah (625 M). Atau juga kekalahan di Hunain pada tahun 8 Hijriah (630 M) saat melawan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif. Padahal jumlah pasukan Nabi SAW tiga kali lipat lebih banyak dari kaum kafir. “Sesungguhnya Allah telah menolongmu di tempat tempat yang banyak dan di hari perang Hunain. Ingatlah di saat itu kalian merasa ujub dengan jumlah yang banyak, padahal jumlah yang banyak itu tidak bermanfaat sedikitpun untuk kalian dan menjadi sempitlah bumi yang luas itu bagi kalian dan kalianpun lari ke belakang.” (QS. Attaubah: 25).

Kenapa kalah? Karena kaum muslimin sudah kehilangan karamah. Ketuhanan mereka hanya sebatas “iman”, yaitu percaya-percaya saja bahwa Allah itu ada. Banyak dari anggota pasukan terdiri dari orang-orang yang disinyalir terpaksa masuk Islam saat Nabi SAW melakukan Futuh Makkah. Sudah jelas tidak ada dalam hati. Sebagian lain, taqwa telah tergantikan dengan sifat-sifat tercela (i.e. ujub dan serakah).

Itu pula yang menyebabkan kita hari ini seperti buih dilautan. Banyak. Tetapi selalu dikalahkan. Sebenarnya bukan kafir itu yang mengalahkan kita. Tetapi “diri” kita sendiri yang mengalahkan kita. “Apakah ketika kalian ditimpa musibah (di perang uhud) sementara kalian telah mendapatkan kemenangan dua kali lipat (di perang badar), kalianpun berkata: ‘Bagaimana kami bisa kalah? Katakan, ‘(musibah kekalahan itu) berasal dari diri kalian sendiri. (QS. Ali Imran: 165).

Penyebab kekalahan adalah “diri” kita sendiri. Dalam diri kita tidak ada lagi Allah. Lihat saja, banyak negara Islam terang-terangan berafiliasi dengan kafir. Kenapa? Karena kita sudah kehilangan taqwa. Secara literal kita percaya adanya Allah. Secara lahiriah pun rata-rata kita terlihat alim. Bahkan hafal Alquran dan hadis. Tetapi secara substantif kita jauh dari Allah. Berbagai doa kita minta, tetapi tidak dikabulkan-Nya. Pertolongan tidak pernah turun.

Oleh sebab itu, kita harus memiliki pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan irfani dalam memimpin umat. Agar mampu melawan musuh-musuh Allah.

Kalau saat ini bagaimana kita bisa menang? Dalam diri kita sendiri banyak sekali setan. Lalu kita bertempur melawan setan-setan lain. Setan musuh-musuh kita lebih besar dari setan-setan kita. Ya kalahlah kita. Hanya kekuatan Allah yang bisa mengalahkan balatentara zionisme dan sekutu-sekutunya.

Tarekat dan sufisme yang murni ini sebenarnya sangat ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Sebab, pada metodologi pengetahuan inilah seorang muslim bisa bersambung dengan “tali Allah” (dimensi ketuhanan). Dan ini akan menjadi energi paling besar untuk melakukan jihad melawan berbagai keuatan non-Tuhan (ilah-ilah palsu) termasuk penjajahan (taghut). Terbukti, berbagai perlawanan panjang melawan penjajahan di dunia digerakkan oleh kelompok-kelompok tarikat. Termasuk di Nusantara.

Diponegoro, Imam Bonjol adalah sedikit dari para pimpinan tarikat yang ada. Demikian juga di Aceh, para pemimpin pejuangnya merupakan pengamal tarekat tertentu. Sementara kaum abangan justru bekerja sebagai pegawai Belanda. Sebagian lain yang tidak mampu menghadapi Belanda memilih melakukan gerakan-gerakan lunak yang direstui atau mendapat izin dari kolonial. Seperti pendidikan, dagang dan urusan-urusan sosial keagamaan.

Periode Madinah (sekitar 623-232 M) merupakan “salik kedua” kenabian (jihad sosial). Pada fase ini Rasul SAW sudah turun untuk membangun kehidupan publik; baik politik, sosial dan ekonomi. Sekitar 10 tahun ia melakukannya sebelum wafat. Begitulah seorang sufi, membangun gerakan yang membawa Allah ikut serta dalam pembangunan negara. Jadi sufi ini tidak boleh lepas dari kehidupan masyarakatnya.

Dalam kenyataannya, tidak semua sufi memiliki kombinasi semua sisi kenabian ini. Ada sufi yang memang berkutat untuk membimbing spiritual masyarakatnya saja. Mereka tidak terjun dalam gerakan sosial. Kita juga harus memberi apresiasi kepada mereka yang memang ‘takdir’-nya disana. Sedikit yang sukses dalam urusan dunia sekaligus akhirat. Yang saya maksud “dunia” disini adalah kekuasaan politik. Sementara “akhirat” adalah tujuan akhir, yaitu Allah.

Kaum sufi cenderung berhasil pada tujuan akhirat (mampu memperoleh kehadiran Allah). Namun tidak sepenuhnya sukses pada tujuan dunia (memperoleh kekayaan material dan kekuasaan politik). Ini tantangan kaum sufi. Namun itulah paradigma sufisme. Mereka memulai keislaman dari “ujung” (yaitu dimensi akhirat atau Allah). Bagi mereka, “akhir” (Allah) adalah awal. Atau apa yang kita sebut sebelumnya “awaluddin makrifatullah” (awal agama adalah Allah).

Sementara non-sufi, sebaliknya. Mereka mungkin sangat kaya raya dan berkuasa dalam hidupnya. Namun kehilangan orientasi spiritual. Mereka tidak pernah merasakan kehadiran Allah. Sampai meninggal, hidupnya dalam keadaan was-was. Karena paradigma mereka adalah, “tunggu tua dulu baru mendekatkan diri kepada Allah.” Tunggu tua dulu baru naik haji. Tunggu tua dulu baru alim. Padahal, proses berjumpa Allah adalah proses pendakian yang cukup berat. Sesuatu yang harus kita mulai sejak usia muda.

Jika bercermin pada kehidupan Nabi SAW, beliau sendiri sudah menjalani proses “pembedahan dada” (penyucian diri) sejak kecil. Makanya tidak heran, pada usia muda bisa memperoleh gelar “Al-Amin” (terpercaya). Beliau sudah menjalani tarekat atau kehidupan sufisme sejak usia belia.

Jadi sekali lagi, cerminan sufisme yang sempurna ada pada diri Rasul SAW. Ia berhasil menghadirkan Allah ke hati (qalbu) masyarakatnya, sekaligus sukses mengubah masyarakat dengan bantuan Tuhannya. Beliau seorang Nabi yang sukses dalam dunia spiritual sekaligus politik.

Namun penting untuk saya ingatkan. Kedua tahapan perjalanan di atas jangan dipahami secara parsial. Bahwa kalau sudah benar-benar selesai melakukan pendakian untuk ‘berjumpa’ Allah, baru kemudian turun mengabdi atau memimpin masyarakat. Keduanya harus dilakukan secara simultan. Namun perlu dimengerti, hanya dengan sungguh-sungguh menemukan kehadiran Allah maka seseorang akan memiliki power yang luar biasa dalam mengalahkan berbagai dimensi ‘dunia’ (nafsu diri yang merusak dan berbagai poros kedhaliman).

Saya teringat sebuah cerita tentang seorang sufi dari negeri Persia. Dia termasuk yang paling berhasil mempengaruhi dunia di abad modern ini, bahkan berhasil membangun sebuah republik yang sangat unik, dimana para ulama menjadi pengontrolnya. Penulis puluhan buku dalam berbagai aspek kajian (filsafat, fiqh dan tasawuf) ini juga termasuk yang paling berhasil mengalahkan musuh-musuh besar Islam.

Suatu ketika ia terlihat sedang berwudhuk. Fisiknya yang tua dan sudah lemah membuat ia nampak dapat digoyang-goyang oleh angin. Pengawal pribadinya melihat itu dan berkata dalam hati, “Bagaimana orang yang lemah seperti ini dapat membuat Amerika ketakutan?”. Lalu si pengawal melihat beliau menghampirinya dan berkata, “Apakah engkau ingin membuat takut Amerika?”. Si pengawal kaget, bagaimana Imam Khumeini bisa tau isi pikirannya. Salah satu karamah para sufi adalah, mereka mampu membaca pikiran orang. Karena hanya jiwa yang halus yang mampu menjangkau jiwa lainnya. Si Pengawal kaget dan sambil terbata menjawab, “Ya.” Sang sufi ini kemudian berkata, “Kalau begitu engkau harus memperkuat hubunganmu dengan Allah.”

Ada banyak orang yang ingin berbuat baik. Mereka terus melakukan aktifitas sosial yang bisa memperbaiki kehidupan masyarakat (amar makruf). Tentu itu pekerjaan yang baik sekali. Karena banyak orang justru diam, tidak melakukan apapun bagi masyarakatnya. Tetapi orang ini juga memiliki masalah. Ia takut dengan kekuasaan yang dhalim. Ia memilih diam ketika berhadapan dengan poros-poros kekuasaan yang menindas.

Disatu sisi ia sangat baik. Tetapi disisi lain ia tak cukup berani menghadapi kejahatan. Amar makruf-nya (kemampuan berkontribusi) sangat kuat. Namun nahi munkar-nya (kemampuan melawan dan melakukan pembelaan) lemah sekali. Untuk menyempurnakan kedua sisi inilah Khumeini mengatakan, perbaiki hubunganmu dengan Allah agar engkau punya keberanian moral menghadapi setan manapun.

Disinilah kemudian terkenal kata-kata beliau, “Menolak melawan kedhaliman adalah bentuk kedhaliman itu sendiri.” Atau seperti jauh-jauh hari sudah disebutkan Imam Ali bin Abi Thalib, Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik.

Kematian Ego dan Sikap Pasrah (Muslimun)

Ujung dari Ali Imran 102 berbunyi: “Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan pasrah/berserah diri (muslimun). Ini pesan inti dari sufisme: mati dalam bentuk “berserah diri.” Sikap berserah diri secara total kepada Allah merupakan cerminan kematian “diri” (ego) kita. Nabi SAW membahasakan ini dengan, “matilah kamu sebelum kamu mati” (mutu qabla anta mutu).

Ada dua macam kematian. Pertama, “kematian alami.” Dunia medis menyebutnya sebagai kematian biologis. Kita menyebutnya sebagai berpisahnya nyawa dari badan. Semua kita akan mengalami ini. Sudah pasti. “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.” Namun, kematian seperti ini belum tentu membawa seseorang kepada kebahagiaan akhirat. Walaupun mati dalam agama formal Islam, banyak yang mati berlumur nafsu dan dosa.

Yang menjamin kebahagiaan akhirat adalah jenis kematian kedua, “kematian iradhi.” Anda tau, bahwa hanya yang benar-benar muslim (berserah diri kepada Allah) yang memperoleh keselamatan dan kedamaian (salam). Hanya yang benar-benar muslim (berserah diri kepada Allah) yang akan mendapat ketenangan, kepuasan, keridhaan, serta syurga dari sisi Allah (QS. Alfajr: 27-30). Kemusliman ini baru muncul setelah adanya kematian sifat-sifat ananiyah (akhlak tercela/egosentris). Sufisme dan tarekat adalah metode untuk menumbuhkan keislaman yang subtantif ini.

Inilah makna ujung dari Ali Imran 102, “Jangan kamu mati kecuali dalam bentuk kematian iradhi, yaitu matinya sifat-sifat keakuan, yang kemudian membuat kamu benar-benar pasrah (muslim) bahkan fana dihadapan-Nya.” Dalam konteks ayat ini, kata-kata “muslimun” muncul setelah “iman” dan “taqwa”. Maknanya, puncak dari iman dan taqwa adalah kematian iradhi, yaitu terbentuknya sikap “pasrah” secara total kepada Allah.

Penting sekali untuk memiliki sikap “berserah diri” secara sungguh-sungguh kepada Allah. Sebab, jika tidak berserah diri kepada Allah, maka kemungkinan kita berserah diri kepada entitas yang lain (yaitu iblis). Kalau itu terjadi, meskipun agama kita Islam, yang kita peroleh justru celaka.

Iblis sudah berjanji untuk menyesatkan kita. Mereka pun sudah diizinkan Allah untuk melakukan itu sampai batas hembusan nafas terakhir kita. Tetapi mereka tidak akan pernah bisa menyesatkan orang-orang yang ikhlas. Yaitu orang-orang yang tulus dalam kepasrahan kepada Allah (QS. Alhijr: 36-40).

Keislaman dan Muraqabah

Bentuk kepasrahan total atau ikhlas kepada Allah (Islam) cuma bisa dicapai oleh orang-orang yang sudah mengenal atau hatinya sudah hadir dihadapan Allah (taqwa). Makanya banyak sekali ayat dalam Alquran yang melabelkan para nabi sebagai “muslim”. Tidak hanya Nabi Muhammad SAW, nabi-nabi lain juga disebut sebagai “muslim.” Para nabi sudah melakukan mikraj ruhani, dan benar-benar mengalami liqa’ (perjumpaan dengan-Nya) sehingga melahirkan rasa taqwa yang luar biasa. Dan ini juga sudah dialami oleh para wali dan para hamba-Nya yang shaleh.

Sekarang kita coba lihat lebih dalam makna “Islam”. Dalam Alqur’an, “Islam” disebut dalam berbagai kata. Diantaranya: “muslimatan”, “muslimun”, “muslimin”, “muslimaini”, “aslama”, “aslamtu”, dan “aslim”. Semuanya diterjemahkan dengan “berserah diri”, “pasrah”, “tunduk”, atau “patuh” (Inggris: submission to the will of God).

Dari ayat-ayat Alqur’an kemudian kita mendapatkan sejumlah informasi penting, bahwa semua nabi dan pengikutnya adalah “Islam” (berserah diri kepada Allah). Ini dapat dibaca dalam QS. Albaqarah: 128 dan 131 (Ibrahim dan Ismail “Is­lam”), Albaqarah: 132-133 (Ibrahim dan anak-anaknya, serta Ya’qub dan keturunannya “Islam”), QS. Ali Imran: 52 dan QS. Almaidah: 111 (Isa dan pengikutnya kaum Hawariyyun “Islam”), QS. Yunus: 72 (Nuh “Islam”), QS. Albaqarah: 136 dan QS. Ali Imran: 84 (semua nabi dan rasul “Islam”).

Dengan demikian sudah jelas, semua nabi dan rasul memiliki “sikap pasrah” atau membawa ajaran sufisme untuk “berserah diri” kepada Allah. Itulah “Islam”.

Kalau kita dedah secara lebih rinci, ada beberapa bentuk “kepasrahan” (keislaman) kepada Allah. Pertama, “kepasrahan kepada hukum-hukum Allah.” Allah telah menciptakan sejumlah hukum yang mengatur masyarakat dan alam semesta. Dalam konteks ini, kita tidak berhubungan langsung dengan Allah. Antara kita dengan Allah ada “hukum-hukum” yang menjembatani dan kita harus pasrah (ikuti) agar selamat dan sukses.

Alquran boleh dikatakan sebagai kompilasi nilai atau hukum-hukum yang mengatur masyarakat. Untuk menjadi muslim sejati kita harus patuh kepada firman kitabi (hukum-hukum yang tersurat) ini. Begitu juga alam ini, sudah diatur melalui hukum-hukum Allah (sunnatullah). Hukum-hukum ini bernilai tetap. Kita harus tunduk patuh kepada hukum-hukum fisika yang bernilai universal tersebut. Tidak mungkin kita lawan. Tugas kita hanya mempelajari kemudian memanfaatkannya untuk perkembangan kemajuan. Jadi, kita juga harus pasrah kepada Allah dalam bentuk tunduk patuh kepada firman afaqi (hukum-hukum Allah yang tersirat di alam semesta).

Kedua bentuk kepasrahan kepada Allah di atas (kepasrahan kepada firman kitabi dan firman afaqi) adalah bentuk kepasrahan atau keislaman kita secara “tidak langsung” kepada Allah. Karena kita tunduk kepada “hukum-hukum” Allah. Hukum-hukum ini merupakan bentuk komunikasi Allah secara tidak langsung kepada kita. Dia memang berbicara kepada kita, tetapi melalui sebuh kitab yang sudah tertulis (Alquran) dan juga melalui alam semesta yang sudah tercipta.

Pertanyaannya, bisakah kita berkomunikasi langsung dengan Allah? Atau sebaliknya, bisakah Allah berkomunikasi langsung dengan kita?

Bisa. Ini dialami oleh sejumlah manusia, mulai dari para nabi sampai kepada orang-orang shaleh dewasa ini. Mereka berkomunikasi langsung dengan Allah dalam berbagai cara. Mulai dari “bercakap-cakap” (seperti dialami oleh para Nabi) sampai kepada bentuk-bentuk ilham dan tanda-tanda lainnya (dialami oleh orang-orang yang bertaqwa).

Bagi anda yang berpengalaman dalam shalat istikharah, mungkin masih ingat bagaimana kekuatan bentuk komunikasi ini dengan Allah. Tidak lama setelah anda istikharah, Dia benar-benar mengirim sebuah “pesan” tentang sikap yang harus anda ambil. Mereka yang melakukan shalat istisqa saat kemarau juga demikian. Sering dijawab langsung dengan tetesan hujan dari langit. Atau mungkin anda juga pernah mengalami mimpi-mimpi tertentu yang merupakan “pesan” langsung dari Dia tentang sesuatu. Dia menjawab anda. Dia benar-benar berkomunikasi dengan anda melalui cara-cara misterius.

Orang-orang yang bertaqwa bahkan mampu membangun komunikasi lebih spontan dengan Allah. Ini dialami para wali, sufi atau ahli zikir lainnya. Ini bentuk kepasrahan kedua kepada Allah: “kepasrahan langsung.”

Suatu ketika saya duduk dengan seorang ahli zikir. Karena begitu lamanya kami duduk dan berdiskusi, tiba-tiba kami berencana untuk bubar karena sudah mendekati waktu Zuhur. Tetapi sang ahli zikir ini mengajak kami untuk duduk beberapa menit lagi. Dari raut wajahnya saya melihat sepertinya beliau sedang merasakan sesuatu bahwa ini belum saatnya bubar.

Menit demi menit kami lalui dan kami diminta untuk duduk sejenak lagi. Dan ternyata benar. Tidak lama setelah itu, seseorang datang menjumpai si ahli zikir ini dengan membawa hadiah sebagai bentuk kecintaan dia kepada gurunya. Baru setelah itu sang guru zikir yang juga merupakan seorang mursyid sebuah tarikat di Aceh ini berkata, “Ooo.. ternyata ini yang menyebabkan saya tertahan belum boleh pergi dari tempat ini.” Banyak kejadian serupa yang seperti ini. Tingkat kasyafnya tinggi sekali.

Allah melalui sinyal tertentu memberitau hamba-hambanya untuk melakukan sesuatu. Si hamba ini kemudian “pasrah”, “tunduk patuh” kepada pesan-pesan langsung (ilham) dari Tuhan ini. Dia boleh saja bubar sejak tadi jika menuruti pendapat kebanyakan orang. Jika menuruti nafsu juga begitu, karena sudah lelah duduk maka lebih baik bubar saja. Tetapi ini tidak. Allah berbicara kepadanya dengan cara tertentu. Allah menginginkan dia tetap duduk dan memutuskan sesuatu yang lebih baik bagi dirinya.

Pesan-pesan langsung dari Allah ini bersifat pasti. Dalam ilmu sufisme ini sering sebagai sinyal muraqabah. Sebuah tanda-tanda tertentu dari Allah yang dimunculkan dalam diri kita. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi (firman afaqi) dan pada diri mereka sendiri (firman nafsani), hingga jelas bagi mereka bahwa itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).

Kehadiran tanda-tanda ini merupakan fenomena biasa yang dialami oleh orang-orang yang bertaqwa (sudah mampu merasakan kehadiran Allah). Pada saat jiwa kita sudah disucikan maka sinyal-sinyal ini akan muncul. Inilah yang disebut firman nafsani. Yaitu dimensi ketuhanan yang ada dalam diri kita yang dengannya kita bisa berkomunikasi, tunduk patuh, dan berserah diri secara langsung kepada pesan-pesan Tuhan.

Itulah mengapa para sufi terkesan “fatalis” (terkesan pasrah kepada taqdir). Nuansa ini bisa kita temukan misalnya dalam karya-karya Sayyid Abdul Qadir Aljilani, yang dalam dunia sufi dan tarekat disebut sebagai Sulthanul Auliya. Orang-orang sufi yang sudah mencapai maqam kewalian memiliki koneksi yang sangat kuat dengan Allah. Mereka setiap saat mengetahui apa keinginan Allah terhadap dirinya. Kapan dia harus pergi ada sinyal dari Allah. Kapan dia harus memulai untuk berbicara juga ada sinyal dari Allah. Berbagai aktifitas cenderung ada sinyal kapan Allah kehendaki itu harus dilakukan.

Makanya sekilas terlihat seperti tidak adanya kehendak manusia lagi disana. Dalam dunia sufi ini juga disebut sebagai bagian dari fana. Seorang hamba sudah kehilangan “diri”. Yang ada adalah keingingan “Allah.” Cenderung Allah yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Ini bentuk keislaman (kepasrahan) tertinggi. Pada konteks inilah kita lebih memahami makna insyaAllah (atas izin Allah) dan “La haula wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah).

Namun jangan pula dipahami bahwa semua keputusan Allah itu terlihat “enak” bagi kita. Ketika Imam Hasan bin Ali disuguhkan racun dalam makanannya, dia atas izin Allah tau itu. Namun Allah mengirim sinyal bahwa dia harus memakannya. Sebagai seorang muslim (pasrah kepada Allah) dia melaksanakannya. Karena begitulah Allah ingin mewafatkannya. Adiknya Husain juga begitu. Dia tidak bodoh ketika akan berangkat ke Karbala. Dia tau akan dihabisi oleh tentara yang banyak disana. Namun Allah memberi ilham bahwa dia harus berangkat, berikhtiar untuk menang secara habis-habisan dan menemukan kesyahidannya disana. Mereka taat. Karena memang ada hikmah besar mengapa Allah menginginkan taqdir mereka seperti itu.

Ini berbeda dengan pasrahnya orang bodoh. Diibaratkan seperti orang yang beli lembu lalu dilepaskannya di jalan dan berharap Allah mengurusnya. Dia tidak memiliki ikhtiar apapun agar lembu itu terjaga. Ini namanya fatalis (putus asa). Mereka cenderung menjadi penganggur dan malas. Sementara sikap “pasrah” orang bertaqwa ada dalam bingkai ikhtiar. Usahanya terkoordinasi dengan rencana-rencana dari Allah. Allah sebagai “boss” tentu paling tau apa yang terbaik bagi kita semua.

Dalam dunia bisnis dan keuangan ada sebuah teori yang dikenal dengan “Efficient Market Hipothesis” (EMH). Teori ini menyebutkan bahwa seorang investor akan mampu menginvestasikan uang melalui sebuah keputusan yang efisien manakala menguasai secara sempurna semua informasi yang ada. Kenyataanya tidak begitu. Kita tidak memiliki seluruh informasi yang kita butuhkan.

Demikian juga manusia. Kita tidak memiliki cukup informasi untuk memutuskan yang terbaik bagi diri kita. Seringkali apa yang kita inginkan bukanlah sesuatu yang kita butuhkan. Sikap, tindak tanduk dan keputusan kita sering salah. Kita tidak benar-benar tau secara sempurna apa yang terbaik bagi kita. Makanya kita sering berdoa agar diberi petunjuk. Alfatihah ayat ke-6 berbunyi, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Jadi siapa yang paling memiliki informasi tentang kita? Yang menguasai informasi utuh tentang apa yang terbaik bagi kita adalah Allah. Makanya indah sekali jika kita mampu membangun komunikasi (muraqabah) dengan Allah agar kita dapat selalu bergerak dan bertindak pada jalan yang benar (lurus). Kemenangan dijanjikan Allah kepada orang-orang beriman yang mencapai maqam “khusyuk” (Qad aflahal mukminun, Alladzi nahum fi shalatihim khasyiun, QS. Almukminun: 1-2). Salah satu makna khusyuk adalah mampu merasakan kehadiran Allah bahkan sampai  pada level mampu berkomunikasi secara langsung (merasakan kehadiran-Nya).

Sayangnya, kita tidak sampai pada level taqwa (munculnya sinyal-sinyal muraqabah atau merasakan kehadiran Allah). Sehingga pesan-pesan Tuhan tidak pernah bisa kita tangkap secara baik. Itulah mengapa QS. Ali Imran 102 mendorong kita untuk beragama sampai kepada pada level taqwa. Bertuhan (beriman) itu jangan tanggung. Bertuhanlah sampai kepada level mampu membangun komunikasi dengan Tuhan. Disitulah terbentuk sikap “pasrah” atau keislaman yang sempurna (kaffah).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

One thought on “PESAN TASAWUF DARI MIMBAR JUM’AT

Comments are closed.

Next Post

DOA KAMI UNTUK AMPUH DEVAYAN

Mon Jul 2 , 2018

Kajian Lainnya