MATI DULU, BARU MUSLIM

image: mujahadah menuju kematian ‘diri’

Mati Dulu, Baru Muslim
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mengalami kematian kecuali dalam bentuk pasrah/berserah diri kepada Allah (muslimun)” (QS. Ali Imran: 102).

Ujung dari Ali Imran 102 di atas berbunyi: “Dan janganlah sekali-kali kamu mengalami kematian kecuali dalam keadaan pasrah/berserah diri kepada Allah (muslimun)“. Ini pesan inti dari sufisme: mati dalam bentuk “berserah diri.”

Sikap berserah diri secara total kepada Allah merupakan cerminan kematian “diri” (egosentris) kita. Nabi SAW membahasakan ini dengan kata-katanya yang sangat terkenal, “matilah kamu sebelum kamu mati” (mutu qabla anta mutu).

Ada dua macam kematian. Pertama, “kematian jasadi.” Dunia medis menyebutnya sebagai kematian biologis. Kita menyebutnya sebagai berpisahnya nyawa dari badan. “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati” (QS. Ali Imran: 185). Ayat ini berbicara kematian jasadi atau kematian alami. Semua kita, suka atau tidak suka, akan mengalami ini. Pasti.

Namun, kematian seperti ini belum tentu membawa seseorang kepada kebahagiaan akhirat. Walaupun matinya dalam agama formal Islam, namun banyak yang mati berlumur nafsu dan dosa. Meskipun agamanya Islam, azab dan siksa tidak bisa dihindari jika mati penuh kemaksiatan.

Satu-satunya yang menjamin kebahagiaan akhirat adalah jenis kematian kedua, “kematian iradhi.” Iradhi artinya “kehendak”. Yaitu kehendak diri, ego atau nafsu. Dalam bahasa Inggris sering disebut dengan wants (keinginan diri). What we want is not always what we need. Untuk mencapai level pasrah kepada Allah (muslimun), kita harus mengosongkan diri dari berbagai kehendak rendahan dengan cara meleburkan diri dalam kehendak-Nya.

Maka hanya yang benar-benar muslim (berserah diri kepada kehendak Allah) yang akan memperoleh keselamatan dan kedamaian (salam). Hanya yang benar-benar muslim (berserah diri kepada kehendak Allah) yang akan mendapat ketenangan, kepuasan, keridhaan, serta syurga dari sisi Allah (QS. Alfajr: 27-30).

Oleh sebab itu, ada ayat yang mengisyaratkan tentang ‘bunuh diri’ sebagai bentuk pertaubatan dan penguatan iman kepada Allah SWT:

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 54)

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”(QS. Annisa: 66).

Kemusliman seperti ini hanya akan muncul setelah adanya kematian sifat-sifat ananiyah (akhlak tercela). Itulah mengapa, para mursyid atau ulama sufi mewajibkan tarekat. Ayat Ali Imran 102 sendiri menggunakan bahasa perintah yang sangat keras: “jangan sekali-kali kamu mengalami kematian jasadi tanpa mengalami kematian iradhi (menjadi muslimun)”.

Tarekat merupakan jalan (metode) untuk menumbuhkan bentuk keislaman yang subtantif. Tarekat meng-upgrade cara kita beragama dari aspek formal (syariah) ke esensial (hakikat). Sebab, yang diterima oleh Allah adalah bukan rukuk sujud. Melainkan kehadiran hati atau keikhlasan kita. Rukuk sujud dan semua aspek lahiriah dari agama memang dibutuhkan dalam membentuk ibadah. Namun yang diterima adalah batin kita.

Inilah makna ujung dari Ali Imran 102, “Jangan kamu mati kecuali dalam bentuk kematian iradhi, yaitu matinya sifat-sifat keakuan, yang kemudian membuat kamu benar-benar pasrah (muslim) bahkan fana dihadapan-Nya.” Kita semua menurut sunnatullah (secara alamiah) akan mati. Namun pastikan sebelumnya kita sudah duluan mati (secara iradhi). Sehingga kematian alami benar-benar menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi.

Level Beragama: Iman, Taqwa dan Islam

Dalam konteks ayat ini, kata-kata “muslimun” muncul setelah “iman” dan “taqwa”. Maknanya, puncak dari iman dan taqwa adalah kematian iradhi, yaitu terbentuknya sikap “pasrah” secara total kepada Allah.

Jadi beragama tidak cukup dengan sekedar “percaya” kepada Allah (iman). Beragama harus sampai pada level “merasakan” kehadiran Allah (taqwa). Hilangnya “diri” (keakuan) akan diikuti dengan hadirnya “Diri” (Allah). Inti dari taqwa adalah hilangnya “diri” (keakuan).

Kalau aib diri sudah mati maka terbentuklah diri kita yang baru. Yaitu wujud malakuti yang benar-benar tunduk patuh, pasrah atau berserah diri hanya kepada Allah. Bahkan menjadi insan ilahi, yang bekerja dan beribadah selalu fana dalam dimensi Allah.

Makanya banyak sekali ayat dalam Alquran yang melabelkan para nabi sebagai “muslim” (yaitu orang-orang yang tunduk patuh, pasrah atau berserah diri hanya kepada kehendak Allah). Tidak hanya Nabi Muhammad SAW, nabi-nabi lain juga disebut sebagai “muslim.”

Kata-kata “Islam” disebut di Quran dalam berbagai bentuk. Diantaranya: “muslimatan”, “muslimun”, “muslimin”, “muslimaini”, “aslama”, “aslamtu”, dan “aslim”. Semuanya diterjemahkan dengan “berserah diri”, “pasrah”, “tunduk”, atau “patuh” (Inggris: submission to the will of God).

Para nabi sudah mencapai level kemusliman yang makrifati. Mereka sudah melakukan mikraj ruhani dan benar-benar mengalami liqa’ (hadir dihadapan-Nya) sehingga melahirkan rasa taqwa yang luar biasa. Dan ini juga dialami oleh para wali dan hamba-hamba yang shaleh.

Penting sekali untuk memiliki sikap “berserah diri” secara sungguh-sungguh kepada Allah. Dalam ayat di atas,  kata “sungguh-sungguh” ini dibahasakan dengan haqqa tuqatihi (“benar-benar bertaqwa”, bukan pura-pura). Sebab, jika tidak sungguh-sungguh berserah diri kepada Allah, maka kemungkinan kita akan berserah diri kepada entitas yang lain (yaitu iblis). Kalau itu terjadi, meskipun agama yang kita anut secara syariat adalah Islam, yang kita peroleh setelah mati justru celaka.

Iblis sudah berjanji untuk menyesatkan kita. Mereka pun sudah diizinkan Allah untuk melakukan itu sampai batas hembusan nafas terakhir kita. Tetapi mereka tidak akan pernah bisa menyesatkan orang-orang yang ikhlas. Yaitu orang-orang yang tulus dalam kepasrahan kepada Allah (QS. Alhijr: 36-40). Orang-orang yang qalbunya bermuraqabah, ada Allah bersamanya.

La Ilaha Illa Allah: Petunjuk untuk Kematian Iradhi

Secara syariat, menjadi orang yang beragama Islam (muslim) disyaratkan dengan mengucap kalimat syahadat. Tetapi kalau kita bicara substansi keislaman, mana ada keislaman hanya sebatas “ucapan”.

Islam itu melampaui lisan dan juga pemikiran. Islam harus sampai ke dimensi qalbu (zikir dan kehadiran Tuhan) serta amal keislaman (ibadah dan ubudiyah).

Jadi Islam itu bukan terhenti pada level “ucap.” Syahadat itu bukan (sekedar) kalimat untuk dibaca. Syahadat itu “kesaksian” yang sempurna tentang keesaan Allah. Maka untuk memperoleh level musyahadah, kita harus mempraktekkan lebih intensif berbagai bentuk zikir dan amaliah.

Sebenarnya, inti ajaran sufisme ada pada kalimah tauhid “La ilaha illa Allah.” Kalimah ini sejalan dengan Ali Imran 102 ataupun hadis nabi yang kita sebutkan sebelumnya. Kalimah ini mengajarkan “mati sebelum mati.” Kalimah ini mengajarkan kita untuk pasrah, tunduk patuh atau berserah diri hanya kepada Allah.

“La ilaha” bermakna matikan, kosongkan, hilangkan, nafikan segala bentuk “ilah” (tuhan-tuhan palsu, ego, keakuan, sifat tercela) guna menghadirkan “al-ilah” (Allah). Kalau masih menyerahkan diri kepada berbagai ilah yang ada di alam ataupun dalam jiwa, maka kita tidak akan pernah sampai kepada kepasrahan kepada Allah.

Dalam kerangka sufisme, pengetahuan (makrifat) ketuhanan diperoleh dengan “kematian” (ego). Karena awal agama adalah mengenal Allah, maka awal agama adalah “kematian”.

Orientasi Islam memang pada “kematian”  yang melahirkan “keabadian.” Bersihkan dulu “diri”-mu dari berbagai ilah, maka pada ujungnya engkau akan bersama Yang Maha Hidup, Allah. Islam adalah agama yang menekankan pada kematian yang berbentuk syahid.  Ini kematian iradhi. Kematian yang memberi kita kesempatan untuk mengalami musyahadah (menyaksikan Tuhan) karena telah matinya dimensi keakuan.

Sufisme merupakan “jembatan” (siratal mustaqim) yang sangat halus dalam mencapai Tuhan. “Lebih halus dari sehelai rambut yang dibelah tujuh”, kata para guru. Begitu halus dan tingginya ilmu ini, sehingga harus disampaikan secara khusus dalam training-training zikir (tarekat).

Bahkan ilmu-ilmu ini juga diwarisi nabi secara rahasia kepada para kekasihnya, sehingga tidak banyak tercatat dalam hadis-hadis sebagaimana umumnya. Makanya sering di bid’ahkan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

TAKE YOUR CHANCE!

Sun Jul 8 , 2018

Kajian Lainnya