BENTUK-BENTUK KEISLAMAN

image: saidmuniruddin.com

Bentuk-Bentuk Keislaman
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tulisan ini ingin menjawab dua (2) pertanyaan: “Apa itu Islam?” dan “Bagaimana cara berislam?”. Pertanyaan pertama akan memberi definisi substantial dari Islam. Sedangkan yang kedua akan menyajikan kepada anda berbagai bentuk keislaman dalam perspektif yang saya curiga anda belum pernah ketahui.

Pertanyaan pertama, “Apa itu Islam?”

Dalam Alqur’an, Islam disebut dalam berbagai kata. Diantaranya: “muslimatan”, “muslimun”, “muslimin”, “muslimaini”, “aslama”, “aslamtu”, dan “aslim”. Semua kata ini dalam makna dasarnya berarti “berserah diri”, “pasrah”, “tunduk”, atau “patuh”. Dalam bahasa Inggris diartikan dengan submission to the will of God.

Ada juga yang mengartikan Islam sebagai “damai” atau “selamat”. Benar juga. Itu makna sekunder. Artinya, kedamaian dan keselamatan baru akan diperoleh setelah seseorang pasrah, berserah diri atau tunduk patuh kepada Allah.

Dari ayat-ayat Alqur’an juga kita dapatkan informasi, bahwa semua nabi dan pengikutnya adalah “Islam” (berserah diri kepada Allah). Ini dapat dibaca dalam QS. Albaqarah: 128 dan 131 (Ibrahim dan Ismail “Is­lam”), Albaqarah: 132-133 (Ibrahim dan anak-anaknya, serta Ya’qub dan keturunannya “Islam”), QS. Ali Imran: 52 dan QS. Almaidah: 111 (Isa dan pengikutnya kaum Hawariyyun “Islam”), QS. Yunus: 72 (Nuh “Islam”), QS. Albaqarah: 136 dan QS. Ali Imran: 84 (semua nabi dan rasul “Islam”).

Dengan demikian sudah jelas, semua nabi dan rasul memiliki sikap “pasrah” atau “berserah diri” kepada Allah. Artinya, semua nabi beragama Islam. Meski ada yang mengatakan nabi-nabi sebelumnya beragama tauhid. Sama saja. Islam itu tauhid. Pengesaan Tuhan (tauhied) melahirkan sikap pasrah dan berserah diri kepada Tuhan (Islam).

Jadi bukan hanya Muhammad SAW. Semua nabi mengajarkan atau membawa ajaran Islam. Sebagai Nabi terakhir, Muhammad SAW hadir untuk meng-upgrade ajaran tauhid (Islam) dalam berbagai bentuk syariat untuk akhir zaman.

Uraian di atas sudah menjelaskan bahwa Islam adalah pasrah atau berserah diri kepada Allah. Inilah inti dari hidup: tunduk dan patuh kepada Allah.

Pertanyaan kedua, “Bagaimana cara berislam?”

Ada beberapa bentuk keislaman, kepasrahan atau ketundukan kepada Allah.

1. Kepasrahan kepada Hukum-Hukum Allah (Kepasrahan Tidak Langsung).

Allah telah menciptakan sejumlah hukum yang mengatur alam dan masyarakat. Dalam konteks ini, kita tidak berhubungan langsung dengan Allah. Antara kita dengan Allah ada “hukum-hukum” yang menjembatani dan kita harus pasrah (ikuti) agar selamat dan sukses.

Pertama, kepasrahan kepada hukum Allah (sunnatullah) yang mengatur masyarakat.

Hukum-hukum Allah tersebut dapat berupa keadilan, kejujuran, kedisiplinan, kebaikan, kemerdekaan, kesatuan, tanggungjawab, toleransi, keikhlasan, dan nilai-nilai kefitrahan lainnya. Quran berisi banyak sekali nilai-nilai yang mengatur kehidupan individu dan komunalitas.

Ada yang meringkas nilai-nilai ini dalam kategori: tauhid, syariat dan etika. Ada juga yang meresumenya dalam nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka yang taat dengan nilai-nilai ini pasti akan memperoleh kemajuan dan kebahagiaan. Yang bertentangan dengan itu, cepat atau lambat, pasti binasa.

Bertindak dhalim misalnya (seperti berlaku riba, kapitalistik dan menjajah), itu bentuk pengingkaran terhadap keadilan. Banyak bangsa yang mengalami anarkhi, kemunduran dan kemiskinan karena mengabaikan nilai-nilai tersebut. Bersikap angkuh misalnya, itu juga pengingkaran terhadap nilai-nilai fitrah. Banyak manusia yang hancur karena itu.

Semua hukum (nilai-nilai) syar’i dan juga rasional ini berasal dari Allah. Sebab, yang baik pasti datangnya dari Allah. Kehancuran terjadi manakala kita melanggar hukum-hukum Allah tersebut. Oleh sebab itu, kita diminta untuk “pasrah” kepada nilai-nilai yang suci lagi mulia ini. Kepasrahan kepada hukum Allah sama dengan kepasrahan kepada Allah. Itu salah satu jalan menuju keselamatan.

Secara tertulis; nilai-nilai, hukum atau sunnatulah yang suci yang mengatur ibadah, muamalah, moralitas dan etika individu dan masyarakat terdapat dalam Kitab Alquran (juga kitab-kitab sunnah). Meskipun Alquran itu bukan Allah, namun kepatuhan kepada ayat-ayat qauliyah ini merupakan salah satu bentuk kepasrahan kepada Allah.

Kepatuhan (keislaman) kepada firman kitabi ini akan melahirkan masyarakat yang tertib, adil dan makmur (madani).

Kedua, kepasrahan kepada hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang mengatur alam. 

Selain bagian dari masyarakat, kita juga bagian dari alam. Dan alam semesta ini sudah diatur melalui hukum-hukum Allah (sunnatullah). Hukum-hukum ini bernilai objektif, pasti dan tetap. Api misalnya, sifat alaminya adalah panas. Semua benda ketika dilempar ke atas, secara alamiah akan jatuh ke bawah karena adanya hukum gravitasi.

Banyak sekali hukum fisika dan matematika yang menguasai berbagai materi dan gerak di alam semesta. Kita harus tunduk patuh kepada hukum-hukum yang bernilai universal tersebut. Tidak mungkin kita lawan. Tugas kita hanya mempelajari kemudian memanfaatkannya untuk perkembangan kemajuan.

Pesawat bisa terbang, kapal bisa terapung, serta berbagai kreatifitas sains dan teknologi merupakan bentuk-bentuk pemahaman, ketundukan dan pemanfaatan kepada hukum-hukum tertentu yang ada di alam. Kaum muslim juga bisa mencapai kemajuan saintifik dalam berbagai bidang, seperti biologi, kedokteran, kimia, fisika, matematika, astronomi, geografi, musik, dan lain sebagainya; ketika mampu “membaca” ayat-ayat qauniyah ini.

Inilah yang disebut kepasrahan kepada Allah dalam bentuk tunduk patuh kepada firman afaqi (hukum-hukum Allah yang tersirat di alam semesta).

2. Kepasrahan kepada Allah (Kepasrahan Langsung).

Jika “kepasrahan” (Islam) bisa kita definiskan sebagai bentuk hubungan, interaksi atau komunikasi kita dengan Allah, maka dua bentuk kepasrahan di atas, kepasrahan kepada firman kitabi dan firman afaqi, merupakan bentuk kepasrahan secara tidak langsung kepada Allah. Sebab, kita hanya tunduk kepada hukum-hukum Allah yang sudah tertulis dan sudah ada di alam ini. Hukum-hukum ini sudah pasti.

Pada saat kita membaca Alquran, kita sebenarnya hanya sedang membaca teks yang dicetak oleh manusia pada lembaran kertas buatan Jerman atau Cina. Kita tidak sedang berbicara (berkomunikasi) secara langsung dengan Allah. Beda halnya dengan pengalaman Nabi SAW ketika sedang menerima langsung ayat-ayat itu. Namun kita tetap percaya kepada kandungan ayat-ayat itu. Kita pasrah kepada kebenaran yang disampaikan atau sudah tertulis disana.

Demikian juga ketika kita melakukan observasi dan uji empiris terhadap berbagai fenomena alam dan masyarakat, kita sebenarnya sedang berusaha menemukan berbagai hukum (teori) yang secara objektif telah inherent ada dalam dunia materi dan masyarakat.

Semakin universal sebuah teori, semakin tinggi tingkat apresiasi. Artinya, orang-orang pasrah (mengakui) kebenaran hukum-hukum itu. Orang-orang juga tunduk (menggunakan) hukum-hukum itu untuk berbagai kepentingan. Jadi lagi-lagi, kita tidak pasrah secara langsung kepada Allah. Melainkan kita tunduk, hidup dan berinteraksi dengan berbagai hukum  Tuhan.

Pertanyaannya, bisakah kita berkomunikasi atau memiliki sikap pasrah secara langsung kepada Allah sang Pemilik semua hukum itu? Atau sebaliknya, bisakah Allah berkomunikasi langsung dengan kita, tanpa melalui perantaraan Alquran maupun hukum alam?

Tentu bisa.

Ini dialami oleh sejumlah manusia, mulai dari para nabi sampai kepada orang-orang shaleh dewasa ini. Mereka dapat berkomunikasi secara langsung dengan Allah dalam berbagai cara. Mulai dari “bercakap-cakap” (seperti dialami oleh para nabi tempo dulu) sampai kepada bentuk-bentuk ilham dan tanda-tanda lainnya (dialami oleh orang-orang yang bertaqwa sampai masa kini). Sehingga, mereka dapat membangun sikap pasrah atau berserah diri secara langsung dengan Allah.

Sebelumnya, kita coba memahami berbagai bentuk “koneksi” dengan Allah, yang bersifat sederhana tetapi kita rasakan sangat dinamis dan langsung. Bagi anda yang berpengalaman shalat istikharah misalnya, mungkin masih ingat bagaimana kekuatan bentuk komunikasi ini dengan Allah. Tidak lama setelah melakukan istikharah, Dia benar-benar mengirim sebuah “pesan” tentang sikap yang harus anda ambil.

Demikian juga dengan mereka yang pernah melakukan istisqa saat kemarau. Sering shalat mereka secara seketika dijawab langsung dengan tetesan hujan dari langit. Memang hujan terjadi karena adanya “hukum alam” yang sifatnya sudah statis (pasti). Tetapi dalam kasus ini, faktor doa lah yang menyebabkan alam bergerak lebih dinamis. Seolah-olah anda mampu secara langsung memerintah “malaikat” untuk menurunkan hujan. Atau bahkan anda lah penyebab langsung Allah menurunkan hujan.

Lainnya, mungkin anda pernah mengalami mimpi tertentu. Mimpi yang benar (sebagaimana pengalaman Yusuf as) juga merupakan “pesan” langsung dari Tuhan tentang sesuatu. Dia menjawab anda. Dia benar-benar berkomunikasi secara langsung melalui cara-cara misterius.

Orang-orang yang bertaqwa bahkan mampu membangun komunikasi lebih spontan daripada itu. Kemampuan ini dimiliki para wali, sufi atau ahli zikir lainnya.

Suatu ketika kami duduk dengan seorang ahli zikir. Menjelang Zuhur, kami berencana untuk bubar. Tetapi sang ahli zikir ini mengajak kami untuk duduk beberapa menit lagi. Dari raut wajahnya saya melihat sepertinya beliau sedang merasakan sesuatu bahwa ini belum saatnya bubar.

Menit demi menit kami lalui. Kami diminta untuk duduk sejenak lagi. Dan ternyata benar. Tidak lama setelah itu, seseorang datang menjumpai sang ahli zikir ini dengan membawa hadiah sebagai bentuk kecintaan dia kepada gurunya itu. Baru setelah itu sang guru zikir ini berkata, “Ooo.. ternyata ini yang menyebabkan saya ditahan oleh Allah belum boleh pergi dari tempat ini.” Banyak kejadian serupa yang seperti ini.

Begitulah. Allah melalui sinyal tertentu memberitau hamba-hambanya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Si hamba ini kemudian pasrah, tunduk patuh kepada pesan-pesan langsung (ilham) dari Tuhan ini. Jika mengikuti kehendaknya sendiri, beliau bisa saja bubar lebih awal dari forum diskusi. Tetapi ini tidak. Allah berbicara kepadanya dengan cara tertentu. Allah menginginkan dia tetap duduk dan menunggu beberapa saat lagi.

Bagi kita yang awam, ini sulit untuk dipahami. Tetapi dalam ilmu laduni, inilah yang disebut kasyaf. Tingkat “koneksi” (keterbukaan hijab) dengan Allah sudah tinggi sekali. Sehingga bisa memperoleh pengetahuan langsung dari sisi-Nya.

Pesan-pesan langsung dari Allah ini bersifat pasti. Dalam ilmu sufisme ini dikenal dengan sinyal muraqabah. Sebuah tanda-tanda tertentu dari Allah yang dimunculkan dalam diri kita. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi (firman afaqi) dan pada diri mereka sendiri (firman nafsani), hingga jelas bagi mereka bahwa itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).

Jadi, selain kita mengenal adanya ayat-ayat kitabi (tersurat dalam Alquran), ayat di atas memberitahukan kita tentang adanya ayat-ayat afaqi (tersurat di alam semesta) serta ayat-ayat nafsani (tersembunyi dalam jiwa manusia).

Jiwa manusia (yang telah tersucikan) merupakan alat paling kuat untuk bisa mengakses kebenaran. Dalam diri kita terdapat dimensi ketuhanan yang dengannya kita bisa berkomunikasi atau menangkap langsung pesan (tanda-tanda) dari Allah. Dengan cara itu kita bisa tunduk patuh atau berserah diri secara langsung kepada kehendak Allah.

Inilah yang disebut firman nafsani atau Alquran batiniah yang hanya bisa “disentuh” oleh mereka yang suci. Kehadiran ayat-ayat ruhiyah akan dialami oleh para ahli zikir. Sinyal-sinyal langit akan muncul pada saat jiwa sudah dibersihkan. Melalui firman nafsani inilah seorang ahli muraqabah bisa berkomunikasi, tunduk patuh, dan berserah diri secara langsung kepada pesan-pesan (ilham) Tuhan.

Orang-orang sufi yang sudah mencapai maqam kewalian memiliki koneksi yang sangat kuat dengan Allah. Mereka setiap saat mengetahui apa keinginan Allah terhadap dirinya. Kapan harus berangkat, ada sinyal dari Allah. Kapan harus bicara juga ada sinyal dari Allah. Berbagai aktifitas cenderung ada sinyal kapan Allah kehendaki itu harus dilakukan.

Itulah mengapa para sufi terkesan “pasrah” kepada taqdir (kehendak Allah). Ini misalnya kita temukan dalam tulisan-tulisan Syaikh Abdul Qadir Aljailani. Dalam dunia sufi Sunni beliau digelar Sulthanul Auliya. Bagi para pemikir muktazilah, bentuk “pasrah para sufi terkesan seperti orang putus asa (fatalis). Padahal tidak demikian.

Sikap “pasrah” yang terbentuk dalam diri para sufi adalah bagian dari ridha atau fana. Seorang hamba sudah kehilangan “diri” (ego/self-interests). Tidak ada lagi kehendak manusia disana. Yang ada hanya keinginan Allah. Allah lah yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Ini bentuk keislaman (kepasrahan) tertinggi.

Pada konteks inilah kita lebih memahami makna insyaAllah (atas izin Allah). Ataupun “La haula wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah). Saat diundang menghadiri sebuah acara, darimana kita tau bahwa Allah mengizinkan kita untuk menghadirinya atau tidak? Apakah karena kita hadir lalu kita simpulkan Allah telah mengizinkannya? Jangan-jangan Allah tidak mengizinkannya, tetapi nafsu kita yang menjadi penyebab kita memaksakan diri hadir.

Namun jangan pula dipahami bahwa semua keputusan Allah itu terlihat “enak” bagi kita. Ketika Imam Hasan as disuguhkan racun dalam makanannya, dia atas izin Allah tau itu. Namun Allah mengirim sinyal bahwa dia harus memakannya. Sebagai seorang muslim (pasrah kepada Allah) dia melaksanakannya. Karena begitulah Allah ingin mewafatkannya.

Adiknya Imam Husain as juga begitu. Dia tidak bodoh. Ketika akan berangkat ke Karbala, beliau tau akan dihabisi oleh tentara yang banyak disana. Namun Allah memberi ilham bahwa dia harus berangkat, lalu berikhtiar secara maksimal untuk menemukan kesyahidannya disana. Mereka taat. Karena memang ada hikmah besar mengapa Allah menginginkan taqdir mereka seperti itu.

Ini berbeda dengan pasrahnya orang bodoh. Diibaratkan seperti orang yang beli lembu lalu dilepaskannya di jalan dan berharap Allah mengurusnya. Dia tidak memiliki ikhtiar apapun agar lembu itu terjaga. Ini yang namanya fatalis (putus asa). Mereka cenderung menjadi penganggur dan malas. Sementara sikap “pasrah” orang bertaqwa ada dalam bingkai ikhtiar. Usahanya terkoordinasi dengan rencana-rencana dari Allah. Allah sebagai “boss” tentu paling tau apa yang terbaik bagi kita semua.

Dalam dunia bisnis dan keuangan ada sebuah teori yang dikenal dengan Efficient Market Hipothesis (EMH). Teori ini menyebutkan bahwa seorang investor akan mampu menginvestasikan uang melalui sebuah keputusan yang efisien manakala menguasai secara sempurna semua informasi yang ada. Kenyataanya tidak begitu. Kita tidak memiliki seluruh informasi yang kita butuhkan.

Demikian juga manusia. Kita tidak memiliki cukup informasi untuk memutuskan yang terbaik bagi diri kita. Seringkali apa yang kita inginkan bukanlah sesuatu yang kita butuhkan. Sikap, tindak tanduk dan keputusan kita sering salah. Kita tidak benar-benar tau secara sempurna apa yang terbaik bagi kita. Makanya kita sering berdoa agar diberi petunjuk. Alfatihah ayat ke-6 berbunyi, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Jadi siapa yang paling memiliki informasi tentang kita? Yang punya informasi utuh tentang apa yang terbaik bagi kita adalah Allah. Makanya indah sekali jika kita mampu membangun komunikasi (muraqabah) dengan Allah agar kita dapat selalu bergerak dan bertindak pada jalan yang benar (lurus).

Oleh sebab itu, bangunlah kepasrahan (keislaman) yang sempurna kepada Allah. Mulai dari bentuk kepasrahan kepada hukum-hukum Allah yang menguasai alam dan masyarakat, sampai kepada interaksi (ketundukan) langsung dengan Allah melalui qalbu yang suci.

Kemenangan dijanjikan Allah kepada orang-orang beriman yang mencapai maqam “khusyuk” (Qad aflahal mukminun, Alladzi nahum fi shalatihim khasyiun, QS. Almukminun: 1-2). Salah satu makna khusyuk adalah mampu masuk kedalam jiwa dan merasakan kehadiran Allah. Pada level ini seseorang mampu berkomunikasi secara baik dengan Allah. Disanalah terbentuk kepasrahan (keislaman) yang hakiki.

Para nabi, imam, wali, ulama, guru dan orang-orang shaleh yang suci merupakan wujud dari firman nafsani. Mereka menjadi tauladan karena di qalbu bersemayam Tuhan. Sesungguhnya gerak dan bicara mereka pancaran dari kebenaran. Seperti Nabi SAW yang maksum, segala sunnah yang berasal darinya bernilai wahyu. “Dan tiadalah apa yang diucapkannya itu menurut hawa  nafsunya. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan” (QS. Annajm: 3-4).

Makanya tunduk dan patuh seorang imam, wali, mursyid, ulama atau pemimpin-pemimpin suci pewaris Nabi adalah bentuk kepasrahan kepada Allah. “Taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri diantaramu” (QS. Annisa: 59). 

Kesimpulan

Islam adalah sikap pasrah, tunduk patuh atau berserah diri kepada Allah. Kesempurnaan keislaman kita mencakup kemampuan kita untuk memahami, tunduk patuh serta penguasaan ketiga dimensi ini: ikuti petunjuk Alquran (firman kitabi), gali pengetahuan yang ada di alam (firman afaqi), dan selamilah jiwamu serta bermursyid lah kepada waris nabi yang masih ada di sekitarnya (firman nafsani). Allah hadir, berkomunikasi dan terkoneksi dengan kita melalui tiga dimensi ini.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

"PEMIMPIN BERCAHAYA"

Thu Jul 12 , 2018
Pemimpin […]

Kajian Lainnya