MAAFKAN MASA LALUMU

image: Perjalanan menuju masa depan (Jumat, 20 Juli 2018)

Maafkan Masa Lalumu
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Maafkan masa lalumu agar indah masa depanmu”, begitu Sufimuda menyimpulkan. “Tuliskan itu Said Munir”, pesannya kemudian sambil tersenyum dengan sedikit tertawa.

Perintah guru sulit ditolak. Athiullah wa athiurrasul wa ulil amri minkum (QS.Annisa: 59). “Siap!” sambil mengangguk pelan, jawab saya dalam hati.

Saya mencoba mengumpulkan kembali potongan-potongan ilmu yang pada medio Juli lalu beliau sampaikan di depan jamaah tawajuh subuh di madrasah ruhiyah Gunong Reubo.

Topiknya terkait tazkiyatun nafs. Bahwa jiwa yang suci merupakan kunci bahagia.

Masalahnya, selain cenderung pada kebaikan, jiwa kita rentan terkotori. Maka beruntunglah mereka yang terus menerus membersihkannya (QS. Assyams: 7-10).

***

Ada banyak hal yang membuat jiwa kita kotor. Salah satunya pengalaman negatif dimasa lalu. Ada pengalaman pengalaman, misalnya, yang membuat “diri” kita menjadi pemarah, pendendam, pendengki, pembenci, dan sebagainya.

Manusia terdiri dari dua bagian: “makhluk”  (fisik) dan “akhlak” (batin). Fokus dari tasawuf adalah akhlak atau “diri”. Pengertian “diri” disini adalah aspek batin, jiwa atau ruh (dimensi insaniah dari manusia), bukan aspek basyariah (lahiriah syariat).

Pada elemen jiwalah melekat semua karakter yang tumbuh akibat pengalaman masa lalu. Maka baik atau buruknya kita sebagai manusia terletak pada dimensi akhlak (jiwa).

Jika syariat mengajari kita “thaharah lahir” (cara mensucikan anggota badan), tasawuf atau irfan mendidik kita “thaharah batin” (penyucian jiwa).

***

Kita semua produk hari kemarin. Ada orang yang sampai tua masih membenci orang tuanya. Mungkin karena pengalaman negatif dimasa kecil. Seperti sering dipukul, dimaki, diabaikan atau merasa diperlukan tidak adil oleh orang tuanya.

Kita harus hati-hati mempertemukan anak. Semua kata dan tindakan kita akan membentuk kepribadian anak. Kata-kata kotor dan tajam yang kita ucapkan akan menjelma menjadi “makhluk-makhluk” buas dan menjijikkan.

Babi, anjing, setan dan entah apa lagi yang kita ucapkan dengan energi negatif kepada anak-anak saat marah.

Makhluk-makhluk inilah yang kita transfer ke dalam jiwa anak. Anak akan tumbuh menjadi makhluk seperti yang kita ucapkan itu (ingat, ucapan adalah doa). Makhluk-makhluk inilah yang menjadi bentuk dari akhlak anak-anak kita.

Sehingga tidak heran, anak-anak yang dididik dengan kekerasan akan menjadi pelaku kriminal. Anak-anak yang dididik dengan bentakan akan menjadi pemaki. Anda perlihatkan kepada mereka cara merokok, mereka akan perlihatkan kepada anda cara menghisap sabu-sabu.

Pun anak-anak yang dididik dengan kasih sayang, akan menjadi alim ulama yang penuh cinta. Anak-anak yang dididik dengan kedisiplinan akan taat kepada aturan. Anda perlihatkan kepada mereka cara memberi perhatian, mereka akan tunjukkan kepada anda bagaimana ikhlasnya mereka dalam merawat anda.

Kita semua makhluk yang lahir dari pola pendidikan masa lalu. Kalau bukan karena didikan orang tua, karena pengaruh lingkungan sosial. Atau keduanya.

***

Meskipun sudah terbentuk sedemikian rupa, sejelek apapun itu, masih ada peluang bagi kita untuk mengubahnya. Ini sejalan dengan konsepsi “leaders are made” atau “leaders are trained”. Pendidikan dan latihan bisa kembali membentuk seseorang.

Sehingga ada berbagai training karakter dan motivasi; sampai kepada konsultasi dan terapi untuk mengubah mindset, memori, syaraf, alam bawah sadar, atau apapun namanya itu.

Banyak coach yang menawarkan jasa ini. Sangat komersial memang. Untuk mengikuti training-training semacam mind therapy, neuro language programming (NLP) dan sebagainya itu, anda bisa menghabiskan uang puluhan sampai ratusan juta.

Ilmu-ilmu ini dibuat menjadi begitu mahal. Padahal dalam tradisi tasawuf, ilmu-ilmu ini murah sekali.

Apa yang dikenal dengan “zero mind process” dalam training-training semacam ESQ, didunia tasawuf disebut praktik tarekat, dengan vibrasi yang lebih dahsyat.

Hanya saja, kata “tarekat” bagi banyak orang terdengar kuno atau kampungan, sehingga tidak begitu digandrungi. Belum lagi usaha mensyirikkan tarekat kuat sekali.

Berbagai training rekayasa alam bawah sadar ini mengambil prinsip-prinsip dasar tarekat. Lalu dikemas dalam instrumen pelatihan yang lebih modern. Ketika ini dikembangkan di barat yang cenderung material, dimensi Tuhan dihilangkan.

Mereka hanya mengeksplore “hukum hukum Tuhan” yang sudah inherent di alam semesta. Ke Tuhan-nya tidak pernah sampai. Ini sisi tasawuf yang disekulerkan. Sementara dalam Islam, ketersambungan dengan Tuhan menjadi kunci dari kesempurnaan.

Bentuk-bentuk terbaik dari pengayaan spiritual ini bisa ditemukan dalam praktik-praktik tarekat yang masih genuine. Banyak tarekat yang berkembang di dunia Islam. Namun beberapa sangat powerful.

Kapasitas guru sangat menentukan. Apalagi jika dibimbing oleh seorang master of training (mursyid) yang memiliki kapasitas kewalian (kasyaf). Orang-orang seperti itu tentu langka. Tapi ada. Karena sudah janji Allah untuk terus mengirimkan para pemberi petunjuk sampai hari kiamat. Tugas kita mencari siapa dia.

***

Tarekat sebagai bentuk praktik dari tasawuf merupakan metodologi keislaman paling tinggi untuk menghidupkan “God-Spot” (qalbu). Ini dilakukan melalui berbagai teknik zikir dan riyadhah yang pernah diajarkan Nabi SAW.

Ketika seorang murid sudah terlimpahi cahaya Allah dalam sebuah perjalanan jiwa, disitulah ia mampu memaafkan pengalaman buruk dimasa lalunya.

Dulu hatinya begitu berat. Kini dengan mudahnya ia mendoakan kebaikan bagi mereka yang pernah menyakitinya.

Ciri-ciri muslim sejati seperti itu. Ringan hati dan lebih banyak mendoakan kebaikan bagi orang lain daripada dirinya. Itu yang disebut “rahmatallil’alamin.”

Mungkin anda masih ingat kisah Imam Ali Zainal Abidin as, anak Imam Husain as, cicit dari Nabi Muhammad SAW yang selamat dari pembantaian di Karbala.

Suatu ketika perubahan politik dalam dinasti muawiyah yang berpusat di Damaskus, Syams. Salah satu anggota pasukan Yazid yang dulu pernah ikut membantai Imam Husain as kini terpaksa lari ke Madinah. Dia yang dulunya berjasa kepada kerajaan, kini diburu ingin dihabisi.

Di Madinah ia diterima dan tinggal di rumah Imam Ali Zainal Abidin as. Ia dilayani begitu baik, diberi makan dan tempat tidur yang enak oleh Imam.

Setelah beberapa hari tinggal, ia minta pamit. Si tamu yang sebenarnya sudah terlebih dahulu mengenal sang Imam bertanya, “Tahukah anda siapa saya?” Dia curiga sepertinya Imam tidak mengenalnya, sehingga melayaninya dengan baik.

“Bagaimana saya tidak mengenal orang yang membunuh keluarga saya”, jawab Imam. Ternyata Imam sangat mengenalnya.

“Jika engkau mengenalku sebagai pembunuh keluargamu, maka mengapa engkau menerimaku di rumahmu?”, dia kembali bertanya keheranan.

Imam menjawab, “itulah akhlak kalian (suka menyakiti) dan inilah akhlak kami (suka memaafkan).”

***

Itu contoh perilaku terbaik yang ditujukkan Imam Sajjad terhadap seorang musuh yang ikut menghabisi puluhan anggota keluarganya. Seharusnya kita bisa berperilaku lebih baik kepada orang-orang terdekat.

Di rumah misalnya, kita pernah menyimpan marah terhadap anggota keluarga. Banyak kita lihat antara anak dengan orang tua, adik dengan kakak, suami dengan istri, saling benci sampai mati gara-gara sebuah persoalan dimasa lalu.

Di organisasi dan di tengah masyarakat juga begitu. Kita menyimpan dendam dengan banyak orang. Apakah dengan lawan politik, dengan kawan lama, kolega ataupun tetangga.

Bagaimana kita bisa hidup bahagia dan mati ceria jika masih menyimpan rasa busuk itu. Maafkan semuanya.

Caranya?

Bermujahadahlah untuk sampai kepada “titik” Allah. Sebuah titik zikir yang membuat “diri” anda lebur dalam cahaya-Nya. Ketika diri anda “hilang” maka hilanglah semua persoalan.

Titik Allah adalah “titik nol”. Titik awal. Titik yang bersih.

Itulah mengapa proses menuju Allah Yang Maha Suci senantiasa dibarengi ritual “pengosongan” (takhalli). Khalwat misalnya, itu proses menyendiri atau mengosongkan diri.

Proses pengosongan akan dibarengi dengan proses pengisian (tahalli). Apanya yang diisi? Yang diisi adalah elemen rabbani, zikir “Allah, Allah, Allah…” tanpa henti. Sampai kepada satu titik dimana jiwa kita akan “tertarik” dalam cahaya-Nya. Inilah tajalli, lahirnya pribadi yang fitri.

Makanya hari idul fitri menjadi simbol kelahiran pribadi-pribadi suci, setelah satu bulan melakukan sulok untuk “mengosongkan” diri. Tidak hanya mengosongkan mulut (dari bicara) dan perut (dari makan minum), tetapi hakikatnya adalah pengosongan segala entitas buruk dan tercela dalam jiwa kita.

Inilah puncak dari tauhid, hilangnya beban (ananiyah/aib dunia). Sebab, salah satu pertanda keimanan adalah munculnya rasa aman. Pada hakikatnya, rasa ringan itu merupakan pertanda bahwa anda sudah disucikan. Itulah mengapa kita juga ringan untuk memaafkan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

IRWANDI DAN GURU SUFI

Wed Jul 25 , 2018
Irwandi […]

Kajian Lainnya