IRWANDI DAN GURU SUFI

image: Irwandi Yusuf (foto: harianaceh.co.id)

Irwandi dan Guru Sufi
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Dua hari sebelum Pendopo Gubernur Aceh didatangi KPK, dihadapan murid-muridnya disebuah tempat, seorang Guru Sufi kembali berkata, “Irwandi meunyo hana segera ditamong tarekat, jih akan meupunyo” (Irwandi kalau tidak segera masuk tarekat, dia akan mendapat masalah).

Berulang kali pada kesempatan yang lain Sang Guru menyampaikan hal serupa. Malah suatu kali menyebutkannya dalam bahasa yang lebih tegas, “akan ditangkap.”

Pernyataan seperti ini sulit dicerna oleh muridnya. Karena tidak ada sinyal ke arah sana. Kondisi Gubernur juga terlihat biasa saja. Iklim politik lokal, khususnya hubungan eksekutif dengan legislatif, memang naik turun. Tapi kalau KPK sampai mencari targetnya di Aceh, apalagi jika gubernurnya yang disasar, itu hampir tidak ada yang menyangka.

Sebulan sebelum musibah menimpa Bang Wandi, Sang Guru yang juga mursyid sebuah tarekat di Aceh ini mulai intensif berbicara dengan nada prihatin, “Tidak lama lagi akan ada kejadian besar di Aceh.” Sinyalemen tersebut mengarah kepada Gubernur dan pemerintahannya.

Ternyata benar. Selasa malam 3 Juli 2018, Irwandi Yusuf dijemput KPK. Berita terus bergulir. Pro dan kontra mewarnai medsos. Ada yang prihatin,  juga ada yang tidak simpati kepada sosok BW.

Sesungguhnya, ada sisi nurani Irwandi yang begitu cemerlang. Terutama dalam memahami kondisi rakyat. Karena itulah lahir berbagai program fenomenal seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), yang masih bisa kita nikmati sampai besok. Tidak ada pemimpin Aceh yang punya program yang begitu menyentuh kebutuhan akar rumput seperti ini.

Namun gaya komunikasinya dinilai terlalu vulgar. Sebagian menyebutnya arogan. Ini membuatnya tidak disukai banyak orang. Bahkan ada yang mengatakan, karakter seperti itu bisa membuatnya tidak bertahan. Tapi itulah Bang Wandi. Dengan segala kelebihan dan kelemahan, ia punya style.

***

Guru Sufi yang usianya masih relatif muda ini juga menyampaikan hasil renungannya dengan bahasa yang begitu rinci. “Irwandi akan kena ‘serangan’ dari Aceh Tengah”, katanya suatu ketika sebelum Ramadhan. Murid-muridnya kelihatan tidak terlalu paham dengan kode-kode seperti itu.

Tetapi setelah kejadian, akar masalah Gubernur Aceh diketahui berawal dari operasi KPK di wilayah Aceh Tengah. Bupati Benar Meriah dan dua lainnya ditangkap dalam dugaan suap Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA). Lalu mengarah kepada Bang Wandi.

Saya tidak mau berpihak kemana-mana, selain kepada kebenaran. Siapapun setuju korupsi harus dilawan. Namun semua orang juga menginginkan tidak ada tebang pilih dalam proses itu. Apalagi jika motif-motif politik menjadi tujuan. Seperti sentilan Amien Rais, “Yang ratusan juta ditangkap, yang triliunan dibiarkan berkeliaran.”

KPK memang diharapkan menjadi lembaga profesional. Namun terkait Irwandi saya tidak mau berspekulasi. Biarkan proses hukum yang menjelaskan. Semoga Irwandi mendapat keadilan. Saya cuma ingin menyajikan sisi lain dari perjalanan Bang Wandi dan tingginya perhatian seorang Sufi.

***

Pilkadagub Aceh dilaksanakan pada 15 Februari 2017. Semua kandidat merasakan letihnya usaha lobi dan meraih dukungan. Tanpa kecuali pasangan Irwandi-Nova yang tampil sebagai pemenang.

Suatu ketika Bang Wandi bertemu dengan beberapa wakil Sang Sufi di sebuah bandara di pesisir barat Aceh. Usaha mendulang suara tentu harus menjangkau semua elemen, termasuk kaum ulama. Spirit keagamaan juga dibutuhkan dalam membina pemerintahan.

Harapan Bang Wandi untuk mendukungnya diterima oleh mereka. Dengan syarat sangat sederhana. Tidak ada transaksi macam-macam. Sang calon gubernur hanya diminta bersedia masuk tarekat.

Dalam khazanah sufisme dan tarekat, penting sekali bagi seorang pemimpin untuk “mengenal” Tuhan. Karena itu jalan keselamatan. Tanggungjawab tarekat adalah memperkenalkan dan mengantarkan setiap orang kepada dimensi paling hakiki dari Islam. Karakter agung dari sufi itu sendiri ada pada diri pemimpin besar kita: Nabi Muhammad SAW.

Praktik sufisme dalam bentuk tarekat bertujuan membuat seseorang “merasakan” kehadiran Tuhan. Dengan itu hilang rasa ego, sehingga muncul sikap tawadhuk (rendah hati).

Namun keberadaan tasawuf dan tarekat itu sendiri bukan sesuatu yang diterima secara menyeluruh oleh setiap orang. Masih ada yang menganggapnya sebagai bid’ah, aneh dan kampungan.

Ternyata Irwandi setuju. Beliau berjanji masuk tarekat.

***

Pilkada berjalan dengan baik. Pleno DPRA pada 25 Februari 2017 mengukuhkan Irwandi sebagai pemenang.

Tentu naif sekali jika meng-klaim kemenangan tersebut hanya gara-gara sekelompok sufi dan janji Irwandi bersedia masuk tarikat. Analisis politik telah menyajikan berbagai opini dan informasi mengapa Irwandi-Nova bisa menang.

Namun bagi sekelompok sufi ini, kemenangan Irwandi memiliki konsekwensi agar janji-janjinya dapat segera dipenuhi. Karena janji adalah janji. Sesederhana apapun itu.

Setelah beberapa bulan dalam masa jabatan, Bang Wandi belum juga datang. Sang Sufi mulai khawatir. Jangan-jangan Irwandi lupa karena kesibukan.

Lalu Syeikh Sufi mengutus salah satu muridnya yang kebetulan juga anggota dari partai yang dipimpin Irwandi. Tujuannya untuk mengingatkan. Beliau menitip buku terkait sufisme kepada Gubernur. Buku ini karya Sang Sufi sendiri.

Sebenarnya buku ini hanya sebagai pengingat bahwa Irwandi pernah berjanji kepadanya untuk menyediakan waktu satu malam saja guna mendalami zikir atau dalam khazanah lokal Aceh disebut “tueng tarekat.”

Bang Wandi kita memang suka melawak. Setelah mendengar pesan itu, beliau berseloroh: “Bek takheun simalam, adak dua malam pih jeut” (jangankan semalam, dua malam pun bisa).

Alhasil, Bang Wandi lupa terus. Guru Sufi semakin khawatir. Karena dalam benak kerohanian Beliau, janji yang Bang Wandi buat itu bukan dengan Beliau. Melainkan dengan Allah. Semua janji terikat dengan Allah.

Kita memang harus hati-hati dalam membuat janji, sesederhana apapun itu. Tanggungjawab pemimpin memang berat sekali. Apalagi jika berjanji dengan seseorang kekasih Allah.

Tujuan Sufi ini senantiasa mengingatkan tak lain adalah karena kasih sayangnya kepada Gubernur. Agama para sufi memang agama cinta. Agama peduli. Agama kasih sayang.

Tak ada yang diharapkan oleh Sang Sufi, selain para pemimpin kita taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan guru-guru rohani yang menjadi pewaris Nabi. Sang Sufi sangat menginginkan agar para pemimpin  kita benar-benar memiliki spiritual yang tersambung kehadirat Allah.

Itulah “iman”, salah satu kunci kemakmuran negeri. Pemimpin dan juga rakyatnya diharapkan tidak sekedar larut dalam formalitas syariat. Tapi benar-benar memiliki vibrasi ketuhanan (makrifat).

Ketaatan kepada guru-guru spiritual sangat esensial. Sejarah peradaban Islam juga tidak terlepas dari peran para ulama. Para khalifah dalam berbagai dinasti punya syeikh yang menjadi imam. Namun ada yang hanya digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Ada juga yang benar-benar menjadi patron spiritual.

Kerajaan Aceh dan Iskandar Muda punya Hamzah Fansuri, Syeikh Abdurrauf (Syiah Kuala), sampai kepada Habib Abubakar bin Husain Bilfaqih (Tgk. Dianjong) pada masa ratu-ratu yang kemudian, dan lainnya.

Keberadaan tarekat dan guru-gurunya juga pernah menjadi bagian dari sistem kerajaan. Kalau anda tilik mekanisme surat menyurat para raja Aceh Darussalam, pada mukaddimah sering disebutkan aliran fikih dan mazhab ruhiyah (thariqah) yang diamalkan. Termasuk puja puji kepada sultanul auliya, seperti kepada Sayyid Abdul Qadir Aljailani Alhasani.

Suksesnya kita memang sangat dipengaruhi oleh ketaatan kita kepada para pembawa washilah. Tidak hanya para guru yang mewarisi Nabi, terhadap orang tua juga begitu.

Sejahat-jahatnya orang tua, misalnya, kita tetap harus takzim kepada mereka. Karena kunci sukses dan bahagia ada pada ridha kedua mereka. Banyak orang cerdas yang hidupnya gagal terus.

Kalau ditelusuri, masalahnya ada pada ketidak harmonisan hubungan dia dengan orang tua. Sementara banyak orang yang biasa-biasa saja namun sukses luar biasa. Ini karena kepatuhannya kepada orang tua. Dibelakang para pemimpin sukses, coba perhatikan, biasanya ada orang tua yang senantiasa mereka rawat dan puja.

Hadis mengatakan, “ridhallah fi ridhal walidain”. Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua. Inti hidup ini mencari keridhaan Allah melalui para washilah: baik melalui orang tua (QS. Alisra: 23) maupun melalui washilah lainnya seperti dari pemimpin/imam (guru) spiritual. Guru spiritual yang baik adalah yang bagus pandangannya (logis) serta cerdas batinnya (kasyaf).

Jadi puncak tujuan kita semua adalah Allah. Itulah inti tarekat: “keterikatan dengan Allah.” Dunia sufisme  adalah dunia “ingat” (zikir), yang dibimbing seorang mursyid. Semakin tinggi spiritualitas seorang mursyid, semakin baik pula pengalaman spiritual para murid.

Keinginan Sang Sufi agar Irwandi menjadi semakin dekat dengan Allah tinggi sekali. Makanya ia hanya menginginkan janji sang Gubernur untuk bertarekat bisa terpenuhi. Sufi yang kasyaf ini ternyata juga memiliki visi ruhani tentang hal-hal yang akan dialami gubernur jika janji tersebut tidak dipenuhi.

Boleh percaya, boleh tidak. Dunia sufisme memang penuh dengan hal-hal suprarasional. Saya kira sebagian cerita para nabi dalam Alquran juga penuh dengan hal-hal aneh (mukjizat). Karena nabi-nabi itu sufi semua. Mereka orang-orang yang fokus pada kesucian jiwa.

***

Bagi saya ini cukup menarik. Ternyata ada orang-orang yang memiliki karamah yang begitu peduli dengan kepemimpinan Irwandi. Usaha untuk memberikan rasa cinta kepada Gubernur terus dilakukan Sang Sufi.

Dua hari menjelang KPK datang, ia kembali memberitahukan kepada salah satu muridnya yang lain yang juga sangat dekat dengan Gubernur.

Si murid meluncur ke Banda Aceh untuk kembali menyampaikan pesan Sang Guru. Namun usahanya gagal. Beberapa waktu ia mencoba menemui Gubernur. Tetapi karena sesuatu dan lain hal, tidak pernah bisa ia jumpai. Sampai kemudian KPK duluan membawa Bang Wandi.

Selesai sudah. Gagal mentarekatkan Bang Wandi.

***

Cerita ini berkembang ditengah murid Sang Sufi. Sehingga muncul pertanyaan, jika Bang Wandi duluan bertarekat kepada “Sang Wali” maka apakah ia tidak akan ditangkap?

Sulit juga menjelaskan fenomena-fenomena aneh ini kepada publik. Apalagi jika dikaitkan dengan usaha pemberantasan korupsi. Apakah dengan bertarekat, walaupun korup, maka kita tidak akan ditangkap KPK? Apakah tarekat bertujuan untuk melindungi koruptor?

Tentu bukan begitu cara berpikirnya. Terkait Irwandi, kita belum bisa menyampaikan beliau salah atau tidak. Sampai proses hukum yang adil tuntas menjawabnya.

Intinya begini. Kita semua adalah orang-orang berdosa. Tak ada yang suci. Bukan hanya Irwandi. Yang tidak suka Irwandi juga penuh dosa. Orang-orang di KPK juga bukan malaikat suci. Mereka hanya menjalankan Tupoksi.

Kita semua pada hakikatnya sedang dikejar-kejar malaikat untuk ditangkap (mati). Kita mati membawa dosa-dosa. Kalau tidak dosa zahir, ya dosa batin. Tidak mungkin kita mati dalam keadaan suci, karena kita tidak maksum sebagaimana Nabi. Hanya dengan syafaat Rasulullah dan rahmat Allah kita bisa selamat dan terampuni.

Dosa, maksiat, kemungkaran dan kelalaian yang kita buat sesungguhnya sudah layak bagi Allah untuk menghukum kita semua sejak di dunia. Tetapi kasih sayang Allah terkadang melampaui murkanya. Sehingga Dia menunda bala dan musibah terhadap kita.

Itulah inti tarekat. Ubudiyah, ziarah, sedekah, zikir dan berbagai jenis ibadah personal dan sosial lainnya membawa kita lebih dekat dengan dimensi Tuhan. Seperti kata Guru Sufi, bertarekat melalui proses tawasul dan rabithah adalah usaha berpegang kepada “tali Allah” (QS. Aali Imran: 103). Dengan demikian kita terbentengi dalam ‘kapsul’ Allah.

Kita semua memang tidak luput dari alpa dan ketergelinciran. Apalagi dalam sistem dan budaya pemerintahan Indonesia yang diistilahkan dengan: “malaikat pun bisa rusak jika terlibat di dalamnya.”

Pakar hukum semacam Mahfud MD juga berkata, “Yang tertangkap KPK itu sebenarnya lagi sial saja.” Pimpinan KPK pun semacam Abraham Samad juga bisa mengalami sial. Dikorek-korek juga ketemu salahnya.

Saya tidak bermaksud melegalkan salah dan dosa. Maksud saya, tanpa kasih sayang Allah, aib-aib kita dalam sedetik bisa dibuka. Makanya ada doa agar Allah senantiasa menutup aib kita dan dijauhkan dari bala. Pada saat yang sama, kita terus berusaha memperbaiki diri agar semakin dekat kepada-Nya.

Anehnya, dengan musibah yang menimpa Irwandi, banyak orang yang rajin memviralkan ini. Entah karena bagian dari kampanye anti korupsi, entah karena motif lainnya.

Kita jarang melakukan refleksi atas musibah yang menimpa orang lain. Kita justru riya dengan apa yang sedang dialami saudara kita. Menurut saya, biarlah Allah yang menjadi hakimnya.

Maka jika kembali kepada tujuan dari gerakan sufisme (irfan), tujuan tarekat adalah membuat batin masyakarat dekat dengan Allah. Sehingga senantiasa merasakan kehadiran Allah dalam keseharian. Dengan itu akhlak menjadi baik, perilaku lebih beradab, korupsi bisa terhindari, sehingga KPK tidak diperlukan lagi.

KPK itu ada karena kita jauh dari Allah. Kalau kita semua baik-baik, lembaga-lembaga seperti itu tidak perlu ada. Saya tidak tau, apakah mereka yang pernah berhubungan dengan KPK akan semakin merasakan kehadiran Allah. Jika iya, kelihatannya kita semua harus ditangkap KPK.

Namun kalau KPK-nya bertindak tidak adil, ini bahaya juga. Sulit melawan lembaga yang sangat powerful ini. Satu-satunya pertolongan yang bisa menyelamatkan kita dari ketidakadilan adalah Allah itu sendiri.

Politik dan kekuasaan memang arena penuh makar. Sebaik-baik makarnya manusia, makar Allah tentu lebih baik (QS. Aali Imran: 54). Kita tak sepenuhnya berdaya menghadapi tipu daya setan dan manusia. Maka jadikan Allah sebagai penolongmu (QS. Aali Imran: 173).

Anda boleh saja menjadi pemimpin yang berani. Namun tanpa pertolongan Allah, anda bisa kalah. Anda bisa saja baik. Namun baik saja tidak cukup jika tanpa perlindungan dari Allah.

Tarekat adalah usaha sungguh-sungguh untuk mencari pertolongan dan perlindungan dari Allah. Pertolongan dan perlindungan turun kepada orang-orang yang dicintai, yang senantiasa mengingat-Nya.

Masih ingatkah anda bagaimana Imam Ali karamallahu wajhah bisa selamat saat tidur menggantikan Nabi yang berangkat hijrah. Secara logika bisa saja Imam ditangkap dan dibunuh saat rumah Nabi dikepung kafir Quraisy. Tapi ia tidak tersentuh. Bukan karena bantuan jimat dan dukun. Itu murni syafaat Nabi dan pertolongan Allah.

Nabi Muhammad SAW bisa selamat dari berbagai konspirasi dalam 23 tahun perjuangannya juga sebuah mukjizat. Logikanya, beliau bisa mati. Semua orang menghunus pedang menentangnya. Khususnya pada masa-masa kritis di Mekkah. Tapi ia survive, bahkan tampil sebagai juara. Itu bukan hanya persoalan strategi, tapi pertolongan Allah.

Namun pertolongan Allah itu juga sebuah misteri. Boleh jadi kita tidak salah, namun tetap diborgol dan dihukumi penjara. Seperti yang dialami Yusuf as. Itu bagian dari skenario terbaik dari Allah untuk membesarkan Yusuf as yang menjalani hukumannya dengan lapang dada.

Intinya, miliki sikap positif. Tidak riya saat besar. Juga tidak putus asa saat mendapat cobaan. Senantiasa berikhtiar, lalu bersikap pasrah kepada ketentuan terbaik dari Allah.

Sebagai rakyat Aceh, saya mendoakan bang Wandi agar apa yang sedang dialaminya, dan apapun putusan hakim nantinya, merupakan bagian dari rencana Allah agar beliau menjadi pribadi yang semakin hebat.

Kita masyarakat Aceh juga begitu, semua kejadian ini menjadi pelajaran agar kita juga semakin hebat, semakin berperilaku baik dan semakin dekat dengan Allah. Semoga kita dijauhkan dari segala bala dan tipu daya. Semoga rakyatnya semakin sejahtera.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

9 thoughts on “IRWANDI DAN GURU SUFI

  1. Analisa cerdas, semoga selalu diberkahi Allah SWT lewat tulisan anda.

  2. Luar biasa tulisan dan telaahnya. Semoga menjadi pelajaran bagi pemimpin2 lainnya diindonesia dan khususnyadi bumi aceh.

    1. Sangat menginspirasi kanda..
      Semoga istiqomah ya kanda..

  3. Luar biasa tulisannya abangda
    Semoga pembaca semua bisa tercerahkan. Amin

Comments are closed.

Next Post

TEST BACA ALQURAN

Sun Jul 29 , 2018
Test […]

Kajian Lainnya