WAJAH YANG DITAKUTI SETAN

image: pakarmaru unsyiah (foto: unsyiah.ac.id)

Wajah Yang Ditakuti Setan
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Musim pembinaan karakter mahasiswa baru dimulai. Kami menyebutnya PAKARMARU. Singkatan dari “Pendidikan Karakter Mahasiswa Baru”. Selama dua hari (30-31 Agustus 2018), 700an peserta berkumpul di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah, Banda Aceh.

PAKARMARU ini bukan barang yang diterima umum. Selain masih adanya orang-orang yang menentang bentuk-bentuk “pendisiplinan” yang ketat ini, beberapa kalangan jin juga sangat membenci acara-acara seperti ini.

Kalau kita buat acara band selama dua hari dua malam, laki dan perempuan dicampur sambil berjoget sampai pagi, semuanya pasti aman-aman saja. Tak ada yang kerasukan. Mungkin jin senang dengan even-even semacam ini. Bahkan dia siap jadi sponsornya.

Tetapi, kalau kita buat training pembinaan karakter dan mental, jinnya sudah pasti tidak senang. Diganggu. Mereka seperti tidak ikhlas dengan acara-acara yang membentuk pola sikap dan moral mahasiswa.

Selain itu, kesucian hati para penyelenggara juga penting. Sebab, acara apapun jika dilaksanakan dengan niat dan metode yang lari dari tujuan memperoleh ridha Allah pasti akan mengundang setan.

***

Terbukti, hari pertama, belasan mahasiswa kesurupan. Saya tidak tau dunia medis menyebut ini sebagai apa dan penanganannya seperti apa. Sudah pasti kedokteran tidak sampai kepada ilmu “bedah” jin, apalagi ilmu-ilmu penguasaan jin seperti Sulaiman as.

Sebenarnya, saya sendiri juga tidak tertarik dengan hal-hal mistis seperti ini. Namun sebagai orang beragama, kita tidak bisa menghindar dari banyak ayat dan hadis yang mengurai keberadaan berbagai wujud metafisis. Alquran bahkan punya satu surah khusus yang membahas jin. Makhluk-makhluk astral ini bisa mempengaruhi, mengganggu, menakut-nakuti dan menyesatkan manusia.

Islam sendiri juga dibangun atas dasar kepercayaan kepada hal-hal gaib. Wujud seperti Allah, malaikat, nabi (dan para imam/auliya penerusnya), kitab (khususnya kitab yang bersifat qadim yang tersimpan di Lauh Mahfudh), kiamat dan takdir merupakan entitas gaib semua. Kita diwajibkan percaya kepada semua entitas spiritual ini.

***

Pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya cenderung menghindari orang-orang yang kesurupan. Saya bukan dukun. Awam. Dan sama sekali tidak punya keahlian untuk menangani kasus-kasus aneh seperti ini.

Toh biasanya lama-lama juga sembuh sendiri. Walaupun ada yang lama sekali sembuhnya, bahkan bersifat masal dan ada yang brutal sekali. Mungkin karena itu dikenal adanya praktik-praktik “rukyah.”

Namun kali ini, saya tertantang. Pasalnya, saya ditunjuk Dekan sebagai salah satu pengawas kegiatan. Guru kami di Dayah Sufimuda juga sering memesankan untuk menguji coba ilmu-ilmu zikir yang pernah diajari. Meskipun kadarnya masih seujung kaku.

“Ilmu-ilmu agama, termasuk zikir, harus diriset akan kebenaran dan keampuhannya, kalau tidak ia hanya akan menjadi sekedar dogma saja,” kata Syekh Sufimuda, seorang walimursyid tariqah Naqsyabandi Al-Khalidi yang dayahnya berpusat di Gunong Reubo Nagan Raya.

***

Kembali ke kasus kesurupan. Sejumlah orang terlihat sedang memegang tangan dan kaki si mahasiswi bercadar yang sedang dirasuki makhluk halus. Ia meronta-ronta. Bicaranya keras sekali sambil sesekali berteriak.

Ia menyebut-nyebut penyebab ia mati. Katanya karena diperkosa lah. Mayatnya tidak diketahui dimana lah, dan sebagainya. Sulit bagi kita untuk percaya omongannya. Dan bukan urusan kita untuk mempercayainya, apalagi untuk mengikuti kemauan objek terkutuk ini.

Ia melotot kesemua orang yang menatapnya. Ia menantang semua orang untuk membaca ayat-ayat Alquran. Kepada mereka yang membaca Fatihah, Ayat Kursiy, Qulhu dan lainnya ia sebut, “Gak usah sok, aku lebih alim dari kalian.” Sambil sesekali mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan.

“Gawat”, pikir saya.

***

Begitu mendekat saya langsung menatap matanya. “Apa kau lihat?” dia membentak. Perlahan melalui bahasa qalbu, tanpa bersuara, kami me-rabith Guru. Dengan syafaat para nabi dan auliya kita meminta pertolongan dari Allah.

Tiba-tiba ia terkejut karena bisa membaca bahasa batin saya, “Hah.. Kau panggil Gurumu ya?”. Perlahan tatapannya yang tadi begitu tajam mulai meredup. “Siapa dia? Ooo.. Ulama besar rupanya ya? Cahaya di wajahnya terang sekali!”, teriaknya mulai ketakutan.

Kami juga sempat beberapa saat memperlihatkan foto Sang Mursyid yang ada di Hp ke wajahnya. Tetapi ia tidak berani melihatnya, bahkan cenderung menutup mata. Sesekali ia buka mata untuk melihat tetapi langsung berteriak sambil mengeluh: “panas… panas…!!”

Semua orang ditatap, ditertawakan dan ditantangnya. Termasuk yang sedang baca-baca ayat. Tetapi dia menutup mata setiap melihat wajah kami. Kami tau, bukan wajah kami yang dilihatnya. Melainkan wajah nurullah dari sang Mursyid. “Wajah” inilah yang menghampiri jiwa Adam, sehingga semua malaikat bersujud kepadaNya, kecuali Iblis (QS. Al-Baqarah: 34).

Kami terus mencari cara untuk menatapnya. Akhirnya ia memilih untuk terus menutup mata, tidak berani membukanya lagi. Dia sempat bicara ketakutan, “Guru kamu sudah hadir disini.”

Si mahasiswi ini kemudian dibawa ke dalam masjid Almizan. Disana sekali lagi kami bertawasul, memohon izin dari Allah untuk kesembuhan gadis ini dari tipu daya iblis. Seorang ahli rukyah lainnya juga sudah dihadirkan oleh panitia untuk membantu dengan bacaan-bacaan jahar.

Kami memegang kakinya. Untuk terakhir kali kami membaca password khusus yang diajarkan Guru kepada semua muridnya.  Beberapa saat kemudian kaki si gadis bergetar. Lalu siuman. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

***

Sebelumnya kami ingin menekankan bahwa tarekat yang murni bukanlah dunia perdukunan atau kejawen. Tarekat tidak hadir untuk mengurus jin dan setan, apalagi mengobati orang kerasukan. Tarekat adalah proses menuju inti agama: Allah!

Tetapi setidaknya kita memetik pelajaran dari pengalaman ini. Bahwa bukanlah kita yang mengusir jin ini. Melainkan “backing” kita.

Ada banyak orang biasa yang begitu ditakuti di dunia ini. Sebenarnya orang-orang ini tidak ada apa-apanya. Dia disegani hanya karena dilindungi oleh raja, aparat, pejabat, preman, pengusaha atau orang kuat lainnya.

Umar bin Khatab yang katanya setan ketakutan saat beliau lewat, sebenarnya hanya manusia biasa seperti kita. Umar cuma me-rabith (menghadirkan) wajah mursyidnya, Muhammad SAW. Wajah Rasul SAW ini yang ditakuti syaitan.

اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحمة يا محمد إنى توجهت بك إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى

“Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim).

Banyak orang biasa, bahkan bodoh sekalipun, yang memiliki karamah karena kekuatan rabithah (menghadirkan wajah) para kekasih Allah. Demikianlah yang terjadi pada diri seorang hamba yang berlindung kepada Tuhannya melalui ikatan dengan para “wasilah”.

Wasilah merupakan “jalan” menuju Allah. Wasilah ini berupa nabi, imam atau para wali Allah (auliya). Mereka menjadi perantara antara kita dengan Allah. Bahkan Muhammad SAW sendiri juga memiliki Jibril sebagai wasilah atau jembatan baginya dalam menerima wahyu. Kepada mereka kita bertawasul dalam setiap doa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَوَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Maidah: 35).

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti” (QS. Al-isra’: 57).

***

Apa yang kita lakukan ketika berhadapan dengan orang yang kesurupan jin bukanlah dengan cara menampakkan siapa “diri” kita. Kalau itu yang kita lakukan, maka si jin tadi akan tertawa bahkan akan mencemooh semua bacaan ayat Alquran kita. Sebab, “diri” si jin lebih tinggi dari diri kita. Ia terbuat dari api, sementara kita dari tanah.

Maka salah satu teknik yang diajarkan dalam tarekat dan sufisme agar kita memiliki kekuatan ilahiah adalah dengan menghilangkan “wajah” kita. Yang harus dimunculkan adalah “Wajah” Allah, yang diintermediasi melalui jalan pemunculan “wajah” para kekasih-Nya (rabithah).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan me-rabith-lah (siagakan ruhanimu agar tetap terkait dengan wasilah) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imran: 200).

Kita yang awam ini tidak punya kemampuan menghadirkan Wajah Allah. Yang kita mampu adalah menghadirkan wajah para wasilah (kekasih) Allah. Inilah yang disebut metode pernyatuan jiwa atau “rabithah” (transfer of spirit).

Berbeda dengan praktik transfer of knowledge yang dilakukan dibangku sekolah sampai tingkat universitas, praktik transfer of spiritual ini dilatih secara khusus dalam training zikir atau suluk.

Para nabi sebagai manusia biasa juga melatih ini dalam proses pertapaan (khalwat) mereka. Termasuk yang dilakukan Muhammad SAW saat menyepi di Gua. Beliau juga memiliki mursyid dalam perjalanan spiritualnya.

***

Jika yang kita “rabith” (hadirkan) itu benar-benar seorang kekasih Allah, maka setan manapun pasti lari. Karena ia sangat takut kepada wajah hamba-hamba Allah yang shaleh.

Inilah pentingnya “berguru”. Makna berguru adalah memiliki seorang mursyid dari kalangan kekasih Allah. Tidak semua ustadz atau ulama memiliki kapasitas sebagai mursyid. Mursyid adalah seseorang yang jiwanya telah disucikan Allah. Dalam dirinya bersemayam “Cahaya Allah.” Karena itu karamahnya tinggi (seperti para nabi dengan berbagai mukjizat). Orang seperti ini langka. Sangat langka.

Dengan jiwa orang-orang shaleh seperti inilah kita harus mengikat diri. Sebab, Nur Muhammad atau Ruh Allah yang ada dalam jiwa mereka merupakan “tali” yang dapat mengkoneksikan kita dengan Allah. Inilah makna “aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”

Setan tak mampu menghadapi Wajah Allah. Mereka juga tidak punya kemampuan “meniru” wajah para kekasih Allah. Mereka tidak bisa meniru wajah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga tidak akan pernah mampu meniru wajah para ulama yang benar-benar “mewarisi” Nabi.

Apa yang diwariskan oleh seorang ulama dari Nabi SAW sehingga membuat setan begitu takut? Yang diwariskan bukanlah kitab yang tertulis. Melainkan kitab dalam lembaran jiwa, atau apa yang disebut dengan “arwahul muqaddasah rasulullah.” Kepada entitas inilah kalangan jin dan setan sangat takut.

Ahli ibadah manapun pasti akan ditertawakan setan manakala tidak memiliki “cahaya” ini dalam dirinya. Maka dalam khazanah sufisme, metode “rabithah” (penyatuan jiwa) sangat diwajibkan dalam segala jenis ibadah, termasuk shalat.

Sebab, jika syariat bicara sah atau tidak sahnya shalat, maka tasawuf berbicara diterima atau tidaknya shalat. Diterima atau tidak tergantung kemampuan kita menghadirkan Allah dalam ibadah. “Ali, sertakan Kami dalam segala aktifitasmu”, pesan Allah melalui lisan Nabi SAW.

Sehingga yang disebut “khusyuk” sebagai prasyarat diterimanya shalat adalah suatu kondisi manakala seluruh jiwa dan pikiran kita terfokus pada satu titik, yaitu: “Wajah” Allah. Shalat itu bentuk komunikasi kita dengan Allah. Maka ketersambungan dengan Allah sifatnya mutlak. Jika tidak, kita sedang berkomunikasi dengan selain Allah.

Ketersambungan dengan “wajah” Allah ini diperoleh dengan menghadapkan wajah kita kepada “wajah” kekasih Allah. “Wajah” kekasih Allah merupakan wasilah, cahaya atau “kilat” (buraq) yang mengantarkan shalat kita sampai kepada Allah.

Cahaya ini merupakan elemen ilahiah (nurullah). Sebab, tidak ada yang bisa ‘terbang’ sampai kepada Allah melainkan unsur dari Diri-Nya sendiri. Unsur-unsur alam atau dimensi material dari manusia (berupa gerak dan dibacaan kita pada dimensi syariat) tidak akan pernah sampai kehadirat-Nya.

Dengan hadirnya “wajah” yang suci seperti ini, setanpun akan kepanasan dan lari. Ia tak berani mengganggu shalat orang-orang beriman yang rabithah atau dimensi “ingat” kepada para kekasih Allah sangat kuat.

Secara hakikat, penting bagi orang-orang yang shalat untuk ‘berkiblat’ kepada para kekasih Allah. Jika kita tidak berkiblat kepada “wajah” yang suci, maka setan akan hadir menjadi kiblat kita. Inilah mengapa Nabi SAW melihat ada setan yang berani mengganggu orang yang sedang shalat. Ini ibadahnya orang bodoh. Tidak memiliki makrifat.

Jin, setan atau makhluk-makhluk serupa itu hadir ketengah manusia dalam dua cara. Pertama, secara “demontratif”. Misalnya penampakan. Atau seperti pada kasus mahasiswi yang kesurupan di atas, mereka untuk gigi dengan cara-cara rusuh. Terapinya mudah. Cukup dengan dipegang tangan dan kaki, lalu di rukyah. Kadang-kadang sembuh dengan disiram air.

Kedua, mereka hadir secara “imajinatif”. Ini jenis kerasukan paling berbahaya. Sifatnya laten. Mereka masuk ke alam pikir bahkan aliran darah, sehingga memunculkan rasa “was-was” (dorongan-dorongan negatif). Seperti dorongan untuk mencuri, berzina, menipu, berjudi, memfitnah dan berbagai motif jahat lain dalam kehidupan sehari-hari.

Para nabi diutus ke dunia sesungguhnya untuk memperbaiki akhlak. Yaitu, untuk “merukyah” orang-orang agar tidak bersekutu dengan iblis dan setan. Karena akhlak yang buruk adalah wujud dari syaithaniyah. Sehingga orang yang berperilaku buruk dianggap setara, atau juga dikatakan sebagai jin dan syaitan dari golongan manusia.

Kita tidak usah terlalu percaya diri seolah-olah tidak bisa mengalami kerasukan. Mereka senantiasa hadir pada waktu-waktu paling sakral. Yaitu saat shalat, lima kali sehari.

Ketika melaksanakan shalat, setan muncul dalam benak kita dalam berbagai wajah (gambar). Mulai dari wajah bos kita, wajah anak, wajah istri, wajah tukang kredit, wajah musuh, wajah kawan, wajah kambing, wajah lembu dan wajah lainnya. Semua itu adalah wajah yang bisa ditiru setan, alias “wajah” syaitan. Kita semua pernah mengalami kerasukan parah semacam ini.

Maka jika ingin shalatnya diterima, kita harus bisa “merukyah” diri sendiri. Caranya, cukup hadirkan saja wajah yang tidak pernah bisa ditiru setan, yaitu “Wajah Allah” (inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharassamawati wal-ardhi). Jika tidak bisa, maka wajah nabi-Nya. Jika itu pun tidak bisa karena kita memang tidak pernah melihatnya, maka cukup wajah pewaris nabi saja.

Yang paling menantang adalah mencari yang terakhir itu. Siapa sosok “pewaris” Nabi yang sedang hidup sezaman dengan kita. Yang setan betul-betul takut kepadanya.

Pemuda semacam Salman Alfarisi pernah mengembara sangat jauh dari Persia sampai ke Romawi, sebelum akhirnya sampai ke Mekkah untuk menemukan sosok mursyid. Tetapi masyarakat Mekkah justru menolak dan memusuhi Muhammad, sang tajalli Allah yang hadir ditengah mereka. Semoga kita tidak begitu.

Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

3 thoughts on “WAJAH YANG DITAKUTI SETAN

  1. Assalamualaikum wr.wb,

    kutipan anda: Cahaya ini merupakan elemen ilahiah (nurullah). Sebab, tidak ada yang bisa ‘terbang’ sampai kepada Allah melainkan unsur dari Diri-Nya sendiri. Unsur-unsur alam atau dimensi material dari manusia (berupa gerak dan dibacaan kita pada dimensi syariat) tidak akan pernah sampai kehadirat-Nya.

    Anda sudah sampai di tengah.

    Jika Allah S.W.T tidak ingin dicintai mengapa Allah S.W.T menciptakan makhluk (manusia) yg memiliki hati (perasaan)? Perasaan tidak memiliki tempat saudaraku disitulah Allah bersemayam dengan kasih sayangNYA, hanya mereka yg mencintai Allah yg sampai kehadiratNYA.

    wassalamualaikum wr.wb,

    ustadz sayyid habib yahya

Comments are closed.

Next Post

KULIAH UMUM DI STIAPEN NAGAN RAYA

Mon Sep 3 , 2018

Kajian Lainnya