PERGINYA “WALI KUTUB” HMI

Perginya “Wali Kutub” HMI
(in memoriam Muhammad Ridha Ramli)
Oleh: Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Dari sisi lamanya menjabat, kepemimpinan itu ada dua bentuk: (1) temporer, dan (2) seumur hidup.

Yang “temporer” itu biasanya kepemimpinan yang bersifat struktural. Ini berlaku dalam berbagai model kepemimpinan hasil konsensus manusia. Misalnya presiden, gubernur, bupati dan berbagai bentuk jabatan lainnya yang lahir dari pola-pola musyawarah. Mereka semua menjabat untuk periode yang telah ditentukan. Kecuali dalam kasus-kasus otoriter, yang memaksa diri memimpin dalam jangka lama.

Sementara kepemimpinan yang bersifat “seumur hidup”, selain terbatas dalam sistem kerajaan, umumnya kita temukan dalam organisasi-organisasi yang bernilai teologis.

Dalam Islam, pada hierarkhi yang paling tinggi, sebuah jabatan bersifat “seumur hidup.” Ini berlaku untuk kepemimpinan para nabi, imam-imam (khalifah) dan juga para wali. Ketika mereka wafat, barulah diganti. Otoritas mereka untuk memimpin sebuah kaum ditentukan Tuhan lewat cara-cara misterius yang tidak kita pahami.

Kehadiran “orang-orang suci” ini penting untuk menjaga agar kiamat tidak terjadi. Bukankah Allah berfirman bahwa kiamat tidak terjadi selama masih ada orang shaleh di dalamnya?

Makna “orang shaleh” ini adalah benar-benar shaleh. Dalam wujud paling tinggi adalah mereka-mereka yang sengaja diutus Allah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Jika orang-orang seperti ini sudah tidak ada lagi, maka putuslah rahmat bagi alam. Itulah “kiamat kubra.”

Guru-guru spiritual yang terus bermunculan dan sambung menyambung antar generasi ini merupakan “Tali Allah” dimuka bumi (QS. Aali Imran: 103). Makna “tali” adalah, satu ujung berada dalam genggaman Allah, ujung lainnya ada pada kekasihnya di bumi. Makanya mereka ini juga disebut sebagai “washilah”, pemimpin ruhani manusia agar sampai kepada Allah.

Makanya, ketaatan kepada para pemimpin (ulil amri) yang suci ini satu mata rantai dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu… ” (QS. An-Nisa: 59).

image: Muhammad Ridha Ramli sedang menguraikan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP-HMI).

“Wali Kutub” HMI

Narasi pemimpinan spiritual di atas ada pada level dunia. Penjagaan ‘kutub’ bumi ini senantiasa diamanahkan kepada para nabi dan wali-wali shaleh “pewaris” mereka.

Meskipun tidak semuanya memegang tampuk kepemimpinan secara resmi (politis-struktural), kehadiran mereka menentukan spirit ideologis masyarakat. Kepemimpinan informal semacam ini seharusnya juga ada pada level setiap organisasi.

Jika sebuah organisasi tidak memiliki seorang “wali” yang menjaga spiritualitas kaumnya, organisasi itu akan menjadi pragmatis. Itulah “kiamat sughra.” Tidak adanya imam pada aspek-aspek ideologis akan menjadi sebab musabab kehancuran masyarakat pada level paling bawah. Banyak organisasi yang demikian.

Itulah gambaran posisi Muhammad Ridha Ramli bagi HMI. Jika ke-HMI-an Indonesia terbagi kepada sejumlah kutub, beliaulah penjaga spiritualitas perkaderan pada kutub paling barat Indonesia (Aceh). Namanya saya kira tidak begitu dikenal oleh publik luar. Begitulah biasanya para “wali”, tidak dikenal dan tidak mau terkenal. Namun namanya masyhur bagi penghuni langit. Bagi para guru dan kader HMI di Aceh, keberadaan figur ini tidak tertandingi.

Kalau kita telusuri gerakan-gerakan ideologis yang ada diberbagai organisasi, penggeraknya selalu ada dan biasanya tersembunyi. Secara teoritis, penggeraknya adalah seperangkat nilai-nilai yang diyakini. Tetapi secara praktis, para kader bergerak biasanya karena dipengaruhi oleh sosok tertentu yang menjadi patron nilai mereka.

Nilai-nilai itu (dalam bahasa HMI disebut NDP: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan”) tidak masuk sendiri. Ada orang-orang yang menanam itu ke dalam jiwa mereka. Dan orang-orang yang paling berpengaruh dalam mendidik spiritual kader bukanlah para pemimpin struktural di HMI. Melainkan sosok-sosok senior lain yang bermain dibelakang layar. Umumnya mereka adalah instruktur nilai-nilai keislaman.

Dan dalam proses perkaderan HMI di Aceh, pada rentang 30 tahun belakangan, salah satu sosok paling kentara dalam proses transfer nilai-nilai itu adalah Muhammad Ridha Ramli. Sehingga pada masanya, ia boleh dikatakan sebagai “Wali Kutub”-nya perkaderan HMI Aceh. Ia menghabiskan hampir seluruh usianya untuk meniupkan “ruh” bagi organisasi ini. Ia baru berhenti dari tugas transfer of knowledge and wisdom itu setelah dipanggil Allah SWT.

image: Muhammad Ridha Ramli dalam sebuah training HMI.

Muhammad Ridha Ramli dan Kontribusinya bagi HMI

Sebagai ideolog bagi HMI, sosok yang lahir pada 23 November 1965 ini memang tidak bisa menyelesaikan semua pragmatisme keorganisasian. Kita tidak bisa membebankan seluruh masalah yang dihadapi sebuah organisasi pada satu sosok saja. Intensitas dan spektrum tantangan yang dihadapi organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini begitu luas. Butuh campur tangan semua elemen untuk mengurainya.

Namun ia telah sangat berhasil memberikan warna kultural keislaman tersendiri dalam gerak langkah perkaderan HMI. Buku “Bintang ‘Arasy” yang saya tulis pada 2013, dan kini telah menjadi salah satu rujukan penting bagi HMI se-Indonesia, berisi banyak hal hasil diskusi dengan pribadi yang satu ini. Ada skema-skema sufisme dalam kitab tersebut yang sebenarnya lahir dari pemikiran beliau yang kemudian ulasannya saya perkaya kembali.

Muhammad Ridha Ramli sendiri merupakan penggemar buku-buku irfan (gnostik). Khususnya karya-karya Ibnu ‘Arabi. Daya bacanya tinggi. Yang menarik adalah, ia memahami spirit dari apa yang ia baca. kemudian ia memdormulasikan ini dalam konteks lokal dan kerangka perkaderan.

Dari beliaulah lahir berbagai perspektif gnostis dari HMI, termasuk tujuan HMI adalah “melahirkan wali-wali Allah.” Wali-wali (pemimpin-pemimpin) yang menguasai dunia dan jiwanya tersambung kehadirat Allah SWT. Dalam pengajarannya, ia berusaha menjembatani khazanah klasik warisan spiritual keislaman dengan rasionalitas keorganisasian moderen.

Bagi HMI Aceh, dialah peletak dasar-dasar spiritualitas training. Sebuah training yang dulunya “kekiri-kirian” kini telah disetting ulang untuk kembali “ke kanan.” Makna ke kiri-kirian adalah, forum training HMI semacam seminar tanpa henti, penuh perdebatan, dan miskin simulasi spiritual (afeksi). Maka tidak heran sebagian kadernya liar. Otaknya cerdas. Hatinya kering. Semua ini berujung pada gaduhnya Kongres.

Dalam sejarahnya, HMI memang lebih cenderung ke arah “kiri” (penguatan intelektualitas). Ini disebabkan oleh gerakan pembaharuan pemikiran yang digagas Nurkhalish Madjid beserta para pemikir keislaman Indonesia lainnya. Akibat terlalu lama miring ke arah keilmuan, sisi spiritualitas tidak tersentuh dengan baik.

Dialah yang kemudian memperkenalkan “tarian Rumi” (the whirling darvish), “Rapa-i”  (musik sufi) dan simulasi zikir dalam training-training di HMI. Dia sukses meletakkan berbagai bentuk kecerdasan (multiple intelegence) dalam sebuah pengelolaan training dengan menempatkan dimensi spiritual sebagai pusat orbitnya. Sampai hari ini masih ditemukan legacy dia berupa bentuk-bentuk training HMI yang diawali dengan azan, istighfar, fatihah, qulhu, shalawat dan seterusnya. Berbagai khazanah tarekat ia integrasikan dalam forum keilmuan moderen.

Dia juga yang meletakkan dasar-dasar spiritualitas dalam pengelolaan training HMI. “Setiap instruktur yang ingin masuk ke forum wajib berwudhuk dan melaksanakan shalat sunat wudhuk dan shalat sunat hajat dua rakaat,” begitu ia selalu mengingatkan. Karena baginya, forum training adalah forum suci. Tempat manusia berinteraksi dengan dimensi ilahiah. Tempat Allah berkenan menurunkan ilmu-ilmunya kepada para peserta.

Tidak hanya jiwanya yang sangat spiritualis, kecakapannya dalam manajemen training juga tinggi. Beliau seorang fasilitator handal. Ia ahli sekali dalam mendisain training inbound dan outbound. Alur trainingnya penuh dengan makna filosofis yang diturunkan dari ayat-ayat, rukun iman, rukun Islam dan doktrin-doktrin tauhid lainnya.

Dialah pula yang menginisiasi modernisasi media training. Awalnya, training-training HMI di Aceh dan juga Indonesia cenderung berupa ceramah-ceramah dan diskusi, minim sekali penggunaaan alat dan bahan. Sejak 1999, dimulai di Banda Aceh saat pelaksaan Intemediate Training di Asrama Haji, dia sudah memperkenalkan penggunaan plano, metaplan dan perlengkapan canggih lainnya.

Banyak sekali warisan spiritualitas dan model-model pengelolaan training yang ia perkenalkan kepada kader dan instruktur. Tidak mungkin kita bahas semuanya dalam tulisan yang singkat ini.

image: Muhammad Ridha Ramli sedang memimpin zikir dalam sebuah training (dok: Ikhsan Fajri Jakfar).

Karakter dan Kepribadian Beliau

Salah satu karakter yang paling menonjol dari beliau adalah sikap hormat, menghargai dan menyayangi orang lain. Sikap hormat beliau kepada seorang kader muda, sama dengan sikap hormatnya kepada senior lainnya. Beliau bisa memandang manusia tanpa kelas. Tak pernah ia meninggikan dirinya sebagai seorang senior. Ini yang membuat kader-kader merasa nyaman jika bersamanya. Para kader merasa bang Ridha Ramli seperti sahabat sebaya, tanpa kekurangan rasa hormat sedikitpun.

Lingkup pergaulan suami dari Syarifah Kurniati ini sebenarnya agak aneh. Ia juga membina hubungan dengan orang-orang gila atau setengah gila. Ia melayani orang-orang aneh ini sebagaimana ia melayani orang-orang normal. Banyak kawannya dari kelompok abnormal. Sering saat minum kopi ia ajak dan traktir orang-orang unik ini bersamanya. Mereka sangat setia kepadanya sampai meninggal.

Hati beliau mudah renyuh melihat orang-orang seperti itu atau kelompok rentan lainnya. Sering kalau kami dalam perjalanan ketika hendak mengisi materi training di kota lain, Beliau meminta mobil dihentikan secara tiba-tiba. Pasalnya, ia melihat ada nenek tua, kakek tua, pengemis, orang cacat, orang gila atau sejenisnya sedang berada di pinggir jalan. Ia turun lalu menyalami sambil mencium tangan mereka, lalu memberikan sedekah ala kadarnya. Matanya senantiasa berkaca-kaca melihat orang-orang seperti itu.

Muhammad Ridha Ramli adalah Guru sejati, mendidik tanpa menggurui. Beliau punya kemampuan mendengar yang sempurna. Sering kita temukan ia lebih banyak mendengar daripada bicara. Sekali bicara, isinya begitu menyentuh hati. Pesan-pesan spiritualnya dalam sekali. Ia cenderung mendorong orang-orang untuk berbicara. Lalu ia menggali sisi-sisi terbaik dari si pembicara, tanpa harus memaksakan ide-ide dari dirinya sendiri.

Demokratis sekali cara ia menangani sesuatu. Emosinya sangat stabil. Tidak pernah kita jumpai ia marah. Pun tidak suka berdebat. Perawakannya tenang dan murah senyum. Tapi kalau tertawa sering meledak-ledak, seperti sedang sungguh-sungguh menikmati humor atau hal-hal lucu yang terjadi.

Mata batinnya begitu arif. Ia mampu melihat kebaikan dari semua orang. Tidak pernah kita mendengar ia berbicara keburukan orang. Ada orang-orang yang tidak begitu simpati dengannya, dan itu alamiah dialami seseorang dalam lingkungan sosial yang kompleks. Namun ia bisa memaafkan itu semua.

Tidak pernah ia mengembangkan fitnah, tuduhan, umpatan, sindiran, ejekan dan sejenisnya. Hati dan lisannya benar-benar baik. Positif thingking-nya begitu nyata. Ini penyebab auranya begitu kuat, sehingga para kader begitu cinta dan setia kepadanya. Ia tidak hanya menciptakan murid, melainkan juga pengikut. Makanya sosok ia lebih tepat disebut sebagai ideolog yang idealismenya cukup kuat.

Terakhir, dedikasinya kepada HMI susah kita jumpai pada sosok lainnya. Tiga puluh tahun terakhir ia menjadi “ruh” bagi organisasi mahasiswa Islam di ujung barat Indonesia. Ia hadir kemanapun diundang. Dalam keadaan sakit sekalipun. Menariknya, di tempat-tempat training, ia bukan melakukan show-off akan pengetahuannya di depan para peserta. Ia justru membina kader-kader lokal bagaimana cara mengelola sebuah training dalam standar terbaik.

Muhammad Ridha Ramli memang dikenal sebagai fasilitator handal. Ia paska tsunami sering mengelola berbagai training bersama lembaga-lembaga internasional. Ia hadir jiwa dan raga dalam sebuah pengelolaan kelas. Niatnya benar-benar untuk membina generasi Islam, bukan sekedar mencari kesibukan atau memenuhi undangan.

image: Muhammad Ridha Ramli bersama istrinya Syarifah Kurniati.

Selamat Jalan Sahabat dan Guru Kami

Memang tidak berlebihan ketika kita menyebutnya sebagai “Wali Kutub” HMI. Ia bahkan meninggal pada usia 53 layaknya para wali berpulang kerahmatullah.

Ia dipanggil Allah SWT pada malam Jum’at (29 September 2018) pukul 22.00 WIB, setelah perayaan Asyura (10 Muharram 1440 H). Asyura merupakan salah satu momentum yang dinilai paling berkah bagi umat Islam. Karena pada hari itulah berbagai peristiwa penting terjadi pada para nabi. Pada hari itu pula salah satu cucu tercinta Nabi SAW yang menjadi simbol perjuangan umat Islam menemui kesyahidan.

Ayatullah Muhammad Ridha Ramli, begitu sebagian menyebutnya, sudah 10 tahun mengalami komplikasi, diabetes dan jantung. Namun ujian terberat, senantiasa berhubungan dengan rumah sakit sampai kepada proses cuci darah, beliau jalani selama 5 tahun terakhir. Yang menarik adalah ketabahannya yang luar biasa. Tidak pernah mengeluh atau menyusahkan orang lain.

Termasuk saat hari Asyura terakhir dalam hidupnya. Ketika orang-orang, termasuk famili dan istrinya sedang sibuk mempersiapkan acara zikir dan kenduri, beliau berusaha mengurus dirinya sendiri. Termasuk mandi pada malam terakhir kepergiannya.

Sejak sakit, beliau mandi selalu dibantu oleh istrinya. Lama mandi biasanya juga sebentar saja. Tetapi malam itu tidak. Ia berusaha sendiri. Uniknya, ia justru mandi dengan cara berbeda. Ia membersihkan dirinya cukup lama. Ia bahkan menyikat semua kukunya. Ia terlihat benar-benar sedang mensucikan dirinya.

Ia meninggal saat sedang shalat isya. Nafasnya sempat terhenti pada beberapa rakaat shalat. Keluarganya berusaha mengapitnya. Adiknya mencoba men-talqin beliau, “La ilaha illa Allah.” Terdengar lafaz “Allah” tersebut dari lisannya pada detik-detik akhir ia menutup mata. Tidak lama proses itu. Ia dipanggil Allah dalam waktu yang begitu cepat dan mudah.

Kami bersaksi bahwa engkau adalah salah satu manusia shaleh yang kami jumpai di akhir zaman. Kami bersaksi bahwa engkau adalah ahli shalat. Kami bersaksi bahwa engkau adalah ahli sedekah. Kami bersaksi bahwa akhlakmu sangat mulia. Kami bersaksi bahwa engkau pendidik terbaik yang dikirim Tuhan kepada kami. Kami bersaksi bahwa engkau adalah kekasih Allah.

Al-Fatihah!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

image: Habib Ahmad Rumoh Raya bersama Muhammad Ridha Ramli.

3 thoughts on “PERGINYA “WALI KUTUB” HMI

  1. Innalillahi wainnaIlaihi rojiun.. Kenal dengan Bang Ridha thn 2002 waktu tinggal di Asr. TNI-AD Neusu, Sering kami jumpa di Mesjid pd saat sholat fardhu berjamaah. Orangnya Sangat Ramah, bersahabat, murah senyum. Selamat Jalan Bang Ridha.. Semoga Husnul Khotimah. Aamiiinn…

Comments are closed.

Next Post

PROBLEM PRABOWO DAN JOKOWI

Thu Oct 4 , 2018
Problem […]

Kajian Lainnya