“KITA INI RAPUH” (REFLEKSI ATAS MUSIBAH JT610)

image: “Sully” (warnerbros.com)

“Kita ini Rapuh” (Refleksi atas Musibah JT610)
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. 15 Januari 2009. Kapten Chesley “Sully” Sullenberger melakukan pendaratan dramatis di sungai Hudson yang dingin di kota New York. Pesawat US Airway 1545 yang dipilotinya menabrak sekawanan burung, setelah tiga menit terbang. Kedua mesinnya rusak. Ajaibnya, 155 penumpang beserta kru yang ada di dalamnya selamat.

Sullenberger menjadi pahlawan nasional di mata media dan warga Amerika. Meskipun mendapat apresiasi yang luar biasa atas penyelamatan yang dilakukannya, ia tetap menghadapi investigasi karena dicurigai sengaja melakukan pendaratan darurat atas motif-motif tertentu. Ia harus berjuang untuk menyelamatkan citra dan karirnya atas tuduhan itu.

Kisah nyata ini, pada September 2016, oleh Clint Eastwood dirilis menjadi sebuah film berjudul “Sully” (diperankan oleh Tom Hanks).

Sedikit mencengangkan memang. Sebab, saya menonton film itu dua malam sebelum JT 610 berpenumpang 189 orang jatuh di perairan sebelah utara Karawang Jawa Barat (Senin 29/10/2018). Keduanya kecelakaan ini punya kemiripan. Sama-sama jatuh ke air. Terjadi berselang beberapa menit setelah take-off. Keduanya berusaha kembali ke bandara semula. Lalu kehilangan kontak.

Hanya saja, pesawat yang dikendalikan Sullenberger mengalami keajaiban dan selamat. Sementara lain halnya dengan Lion yang dipiloti Bhavye Suneja.

***

Pengalaman aneh serupa juga saya alami sebelumnya. Beberapa malam sebelum WTC runtuh, saya menonton sebuah film. Sekelompok teroris membajak pesawat dan menghantamnya ke sebuah gedung. Saya benar-benar tidak ingat lagi judul film itu, juga di channel apa saya menontonnya.

Yang jelas, saya sempat bingung, mengapa film yang saya nonton beberapa waktu sebelum kejadian itu mirip sekali dengan apa yang kemudian terjadi. Beberapa hari kemudian, tepatnya 9 September 2001, dunia dikejutkan oleh sebuah peristiwa. Dua pesawat komersial menabrak gedung WTC di Manhattan New York. Peristiwa 9/11 yang menewaskan 2.996 orang ini belakangan dikaitkan dengan sejumlah teori konspirasi karena ditemukannya berbagai keanehan.

***

Terlepas dari apapun yang saya nonton dan alami, saya berduka atas musibah yang menimpa saudara-saudara kita yang pada Senin pagi itu akan menempuh rute Jakarta-Pangkal Pinang. Saya ikut berdoa. Saya percaya, musibah memiliki dimensi tersendiri dari kasih sayang Allah.

Sebagaimana dikatakan oleh orang-orang arif, bagi setiap mukmin, musibah adalah kesyahidan yang menghapus dosa. Sementara bagi yang selamat, ini menjadi peringatan bahwa kita harus senantiasa bertaubat kepada-Nya. Saya mendengar berita, dua anggota DPRD Babel selamat karena telat tiba di bandara.

***

Yang jelas, kita semua rapuh. Terutama saat berada di udara. “Nothing you can do, just trust the pilot.”

Banyak yang berfikir, khususnya yang tidak pernah naik pesawat, bahwa naik pesawat itu enak sekali. Mereka tidak tau, sebagian besar penumpang keluar keringat dingin saat berada di dalamnya. Berada diketinggian termasuk hal paling ditakuti banyak orang di dunia (acrophobia).

Begitu rapuhnya kita saat berada di atas sana. Sehingga tak ada hal yang bisa kita lakukan ketika terjadi turbulensi, selain berdoa. Takbir dan tahlil terucap penuh penjiwaan disaat kita merasa diri begitu kecil. Rasanya tak ada doa yang begitu ikhlas kita persembahkan, kecuali saat-saat mengalami guncangan di pesawat. Tak sedikit yang bernazar untuk keselamatan. Inilah yang disebut “pasrah” atau “berserah diri.” Itulah Islam yang artinya “pasrah” (berserah diri secara tulus ikhlas kepada Allah).

Pengalaman “pasrah” atau “berserah diri” secara tulus dan ikhlas akan kita alami saat merasa diri tidak memiliki kekuatan apapun. Saat pasrah secara total itulah muncul dimensi “la haula wa quwwata illa billah” (tiada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah). Maka hanya dengan berserah diri kepada Allah (Islam) kita merasa “damai”. Sehingga Islam juga diartikan dengan “kedamaian.” Orang-orang yang tidak berserah diri pasti hidupnya dalam kepanikan, galau dan stress.

Sayangnya, kita hanya pasrah kepada Allah saat berada di pesawat saja. Begitu pesawat mendarat, kita mulai banyak omong. Sombong. Belum sampai di parkiran pesawat, Hp sudah kita aktifkan. Padahal itu dilarang. Karena kita merasa sudah selamat. Sudah mandiri. Sudah kembali kuat. Begitu sampai di terminal, Tuhan pun sudah kita lupakan. Shalat kita tinggalkan. Berbeda sekali dengan ketika akan naik pesawat, shalat begitu khuyuk.

Kita lupa, bahwa kita sedang hidup di atas bumi yang sesungguhnya tidak lebih dari sebutir debu yang sedang melayang di angkasa. Bumi sewaktu-waktu akan mengalami guncangan (turbulensi). Bahkan akan tiba saatnya bumi ini terhempas dan kita semua akan beterbangan layaknya anai-anai.

Maka sebaik-baik hidup adalah menjadi orang yang senantiasa “pasrah/berserah diri” kepada Allah. Dimanapun kita berada. Baik di darat, di laut maupun di udara. Sesungguhnya kita ini rapuh. Mati itu pasti. Maka berpeganglah kepada-Nya. Jangan berlaku sombong. Ingatlah selalu akan Dia.

Kepada semua penumpang JT 610, dan semua musibah yang terjadi sebelum maupun sesudahnya, kami mengirimkan Alfatihah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

 

Next Post

NILAI ISLAM HANYA "2T"

Wed Oct 31 , 2018
Nilai […]

Kajian Lainnya