INTI DARI MAULID ADALAH “KENYANG”

image: “bu kulah”

Inti dari Maulid adalah “Kenyang”
Oleh Said Idris Athari Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Maulid identik dengan “mulut” (makan). Karena memang salah satu titah Tuhan kepada salah satu tokoh termasyhur dari bani Quraisy yang kemudian menjadi Nabi kita, adalah “memberi makan orang-orang lapar.” Seperti tersebut dipenghujung surah Quraisy:

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ …

“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar… ” (QS. Quraisy: 4).

Baca Juga: “Mengapa dari Quraisy?”

Jadi, inti dari perayaan kelahiran Nabi SAW, sekaligus salah satu inti dari ajaran Islam, adalah bagaimana menjaga agar perut saudara-saudara kita berada dalam keadaan “kenyang.” Dan tradisi untuk membuat perut kenyang saat perayaan maulid ditemukan diberbagai daerah, baik di dalam maupun luar negeri.

Namun bagaimana cara membuat orang-orang menjadi kenyang, itu ada seni tersendiri sesuai konteks lokal dan mazhab kenduri. Di Nusantara sendiri ditemukan berbagai bentuk “pesta” maulid.

Di Aceh misalnya, ada “khanduri mulod” yang bergulir selama 3 bulan di masjid dan meunasah-meunasah (surau). Di Jogya, 7 nasi gunungan “Grebeg Maulud” persembahan keraton diperebutkan di Masjid Gede, Kepatihan dan Para Pakualaman. Kemiripannya juga ditemukan di Solo.

Di Kudus, ada arakan hasil bumi dan nasi bungkus yang diberi nama “Kirab Ampyiang”, dibawa ke masjid lalu di doakan dan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sementara di Mojokerto, hasil alam dan bahan-bahan pokok ini di susun di sekeliling pohon karsen sebelum diperebutkan.

Di Madura ada “muludhen” dengan membawa tumpeng ke masjid, dibacakan barzanji (riwayat Nabi) lalu dicicipi bersama. Di Cikoang Sulawesi Selatan ada namanya “Maudu Lompoa” yang persiapan kendurinya mencapai 40 hari dengan mensajikan julung-julung dari yang terbaik yang mereka miliki.

Alquran dan hadis tentu tidak menguraikan teknis kenduri atau bentuk program kerja untuk mengenyangkan orang-orang. Alquran dan hadis cenderung menggarisbawahi prinsip-prinsip penting dalam Islam. Termasuk memberi makan orang-orang adalah salah satu nilai paling penting dari agama dan merupakan akhlaknya Allah SWT, dan juga salah satu akhlak terpuji Rasulullah SAW.

***

Terkait dengan “memberi makan orang-orang”, makna maulid dapat dipahami dalam dua perspektif: jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek (short-term), pesta syukuran kelahiran Nabi SAW merupakan ungkapan rasa gembira komunal dan sedekah warga kepada sesama. Kita memang harus mendorong setiap anggota masyarakat agar berperilaku “dermawan”. Saling berbagi merupakan refleksi masyarakat sejahtera. Masih bisa kumpul-kumpul antar warga, itu hebat. Silaturahmi merupakan modal sosial yang semakin langka di era nafsi-nafsi.

Sementara ada pesan penting lainnya untuk jangka panjang (long-term). Yaitu bagaimana negara ini memastikan adanya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi secara berkelanjutan. Sehingga masyarakat terjamin pendapatannya dan tidak miskin (lapar) lagi.

Jika diterjemahkan dalam terminologi pembangunan modern, “memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar” punya makna lebih luas. Yaitu “pemenuhan hak-hak dasar masyarakat”. Tersedianya berbagai kebutuhan primer menjadi misi utama pemerintah sebagai pemimpin masyarakat.

***

Jelas sudah. Inti dari diutusnya Sang Quraisy Agung ke tengah umat adalah untuk misi “kenyang”. Dalam artian, “kenyang” secara lahiriah. Perutnya terisi. Kalau perut kenyang ibadah juga nyaman. Ingat, kenyang. Bukan kekenyangan.

Namun membuat orang tidak lapar secara material (terpenuhinya hak-hak dasar) bukan satu-satunya misi dari Al-Mustafa. Ada satu tugas penting lainnya, dan ini merupakan kelanjutan dari ayat terakhir surah Quraisy. Yaitu, “mengenyangkan hati”, atau memberikan rasa “aman” (terpuaskannya dahaga spiritual).

وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ…

“… dan memberikan mereka rasa aman dari ketakutan” (QS. Quraisy: 4).

Manusia merupakan makhluk rasional sekaligus intuitif. Selain selalu bertanya darimana asal dan kemana akan kembali, rasa ketuhanan senantiasa hadir dalam diri. Ketika struktur keimanan tidak terbangun dengan baik, serta pencariannya tidak memperoleh hasil; maka timbul rasa was-was, galau, dan takut.

Takut mati, dan bingung apa yang akan terjadi setelah mati, menjadi jenis takut paling banyak dialami manusia dimuka bumi. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW hadir untuk memberikan re-orientasi dan kabar gembira tentang masa depan yang bahagia (tentang Tuhan, hari akhir dan amalan yang harus dipersiapkan).

***

Nah, itulah dua jenis “indeks” yang idealnya terpenuhi manakala kita menauladani Nabi. Disatu sisi, kita melanjutkan tugas duniawi Nabi untuk mengenyangkan perut masyarakat (menurunkan poverty rate). Disisi lain, kita bekerja memperbaiki batin dan ukhrawi masyarakat agar semakin dekat dengan Allah (meningkatkan happiness index).

Ternyata, kondisi Aceh hari ini belum seperti itu. Kemiskinan masih tinggi, meskipun indeks kebahagiaan juga bagus. Mungkin ini fenomena daerah yang ruang korupsinya ada dimana-mana, dan panggung zikirnya juga banyak. Miskin, tapi bahagia. Corrupt but happy! 

BACA: “MENGAPA DARI QURAISY?” 

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
______________
powered by
PEMUDA SUFI:
Bahagia, Kaya dan Terpelajar.

Next Post

MELEMBUTKAN SISI "ANGKUH" SYARIAT

Thu Nov 22 , 2018
Melembutkan […]

Kajian Lainnya