MELEMBUTKAN SISI “ANGKUH” SYARIAT

image: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Alkahfi: 65).

Melembutkan Sisi “Angkuh” Syariat
Oleh Said Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Musa as juga pernah sombong. Suatu ketika ia ditanya oleh kaumnya terkait siapa orang yang paling pandai. Musa menjawab, “Aku” (diriwayatkan oleh Ubay bin K’ab dalam Shahih Bukhari).

Keangkuhan Musa ini mendapat teguran Allah. Sehinga ia disuruh mencari guru lagi agar memiliki sikap tawadhuk. Sampai kemudian ia menemukan Khidir yang mengajarinya metodologi ilmu laduni (makrifat).

Kisah Musa mencari mursyid diabadikan dalam QS. Alkahfi 60-82. Dimulai dari kisah perjalanannya mencari mursyid (QS. Alkahfi 60-64), pertemuan dengan sang mursyid (QS. Alkahfi 65), persyaratan dalam belajar bersama mursyid (QS. Alkahfi 66-70), berbagai praktik tarekat yang ketat yang dijalani Musa bersama mursyid (QS. Alkahfi 70-77), serta hikmah dari pengalaman dan pengajaran bersama mursyid (QS. Alkahfi 78-82).

***

Kesombongan Musa tentu tidak terlepas dari kuatnya dimensi “syariat” dari agama yang dibawanya. Syariat adalah “perintah-larangan”, “halal-haram” atau “benar-salah” tentang sesuatu. Syariat adalah ilmu vonis. Makanya orang-orang syariat sangat mudah memvonis seseorang sebagai kafir, bid’ah atau sesat. Ada ahli syariat (tepatnya pseudo-syariat) yang berlagak seperti Tuhan, seolah-olah paling tau kebenaran. Ketika berceramah, para pendengar diperlakukannya sebagai pendosa. Asal ada praktik keagamaan yang berbeda dengannya disebut syirik.

Syariat adalah ilmu untuk menghakimi sesuatu (dari segi bahasa syariat artinya “hukum”). Untuk memahami ini, lihatlah bagaimana para pengacara bersikap di pengadilan. Mereka berusaha membuktikan dengan berbagai dalil bahwa sesuatu benar atau salah. Islam memiliki aspek hukum yang rigid (kaku) seperti ini, harus jelas mana benar mana salah. Memang garis “hitam-putih” sangat diperlukan dalam konteks “mengatur” dan “mendisiplinkan” masyarakat, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah.

Musa diutus ke tengah ‘domba-domba sesat’ yang butuh technical guidance. Bani Israil harus diregulasi sedemikian rupa supaya tercipta law and order dalam mencapai “Tanah yang dijanjikan” (yang arti sebenarnya adalah Syurga, bukan Palestina). Kuatnya dimensi syariat ajaran Musa tercermin dari 10 Perintah Tuhan yang ia terima di Gunung Sinai. Sebagian besar isi dari Ten Commandment tersebut dimulai dengan kata “jangan”. Seperti jangan menyembah berhala, jangan menyebut nama Tuhan sembarangan, jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan menjadi saksi palsu, dan jangan mengambil punya orang.

Musa diutus kepada Bani Israil yang banyak ngomong dan senantiasa butuh penjelasan rasional atas semua perintah Tuhan. Oleh sebab itu, syariat merupakan ilmu dalil dan juga argumentatif. Makin banyak kita hafal dalil Quran dan Sunnah, makin terlihat hebat pemahaman syariat kita. Makin yakin orang. Disamping juga ada ijma dan qiyas yang lahir dari demontrasi pengetahuan (ijtihad). Jadi akal juga memainkan peran tersendiri dalam melahirkan berbagai kesimpulan hukum.

Makanya, kita melihat saudara-saudara kita yang beragama hanya dengan slogan “Alquran dan hadis” sering ekstrim dalam berpendapat. Semuanya harus dalam bingkai “teks”. Ektrimisme melahirkan berbagai bentuk keangkuhan. Merasa paling tau. Itu terjadi pada diri Musa. Sehingga ia disuruh oleh Allah untuk belajar tasawuf kepada Khidir.

***

Berbeda dengan syariat, tasawuf melalui metode tarekatnya merupakan “ilmu diam” (reflektif-iluminatif). Tarekat adalah “ilmu sabar”. Sebab, yang dihadapi adalah ego (nafsu). Musa sendiri tidak sanggup menahan lisan saat berguru kepada mursyidnya. Berkali-kali ia angkat bicara, protes, merasa mengerti, atau cenderung kritis pada segala sesuatu.

Oleh sebab itu, tarekat juga disebut sebagai “ilmu mematikan diri” (tutup mata dan tutup mulut, lalu membiarkan qalbu/jiwa menyaksikan sendiri eksistensi Allah SWT). Tarekatlah yang bisa membuat sosok keras seperti Musa as menjadi lunak. Karena tarekat bisa menghidupkan berbagai “latifah” yang ada dalam tubuh. Tidak heran, di sebuah dayah sufi di Aceh misalnya, saya melihat banyak sekali orang-orang yang dulunya memiliki perilaku premanisme, hanya dalam semalam menjadi lembut setelah ditalqin oleh mursyid.

Maka sempurnanya seorang ulama/ilmuwan adalah setelah batinnya benar-benar merasakan sentuhan “ruh yang suci lagi menyucikan” (ruhul muqaddasah rasulullah), Cahaya Allah, Akal Awal, Nur Muhammad, atau entitas pertama yang Dia ciptakan. Kita perlu belajar kepada tokoh syariat seperti Musa. Meskipun otaknya begitu cerdas serta menguasai teks al-kitab, ia masih bersedia mencari guru dan menempuh perjalanan spiritual untuk menyelami ilmu-ilmu rahasia.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

One thought on “MELEMBUTKAN SISI “ANGKUH” SYARIAT

  1. Assalamualaikum wr.wb,

    Nabi Musa a.s menerima 10 perintah Allah di bukit thursina bukan di sinai(egypt).
    firman Allah S.W.T.

    Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”.

    10 perintah tersebut tertulis pada luh-luh(batu bukit thursina) di palestina yg telah musa angkat di atas kepala bani israel ketika mereka mengangkat sumpah.

    sebenarnya kiblat kita dahulu adalah bukit thursina (palestina) tetapi Allah pindahkan ke mekkah mengingat kesombongan bani israel yg suka mengatakan bahwa mereka adalah kaum yg dipilih padahal Allah telah memilih kaum adam semuanya.

    wassalamualaikum wr.wb,

    ustadz sayyid habib yahya

Comments are closed.

Next Post

SELAMAT JALAN BANG ANDAMAN

Fri Nov 23 , 2018
INNALILLAHI […]

Kajian Lainnya