IBADAH APA YANG MEMBUAT KAKI NABI SAW SAMPAI BENGKAK?

image: tawaruk (saidmuniruddin.com)

Ibadah Apa yang Membuat Kaki Nabi SAW Sampai Bengkak?
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ada banyak jenis zikir (tata cara mengingat Allah). Shalat juga disebut zikir. Karena substansi shalat untuk mengingat, bahkan berjumpa (menghadap) Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Nabi SAW:

الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Shalat adalah bentuk mikrajnya orang-orang yang beriman.”

Selain zikir dalam bentuk shalat 5 waktu, ada jenis zikir utama lainnya yang senantiasa dilakukan Nabi SAW, bahkan sampai membuat kakinya bengkak.

Ada riwayat yang mengatakan bahwa kaki Nabi SAW sampai bengkak karena ibadah malam. Anda tau, shalat yang senantiasa kita kerjakan tidak sampai membuat kaki bengkak. Qiyamullail semacam tarawih, walaupun 100 rakaat, tidak sampai membuat kaki bengkak. Apalagi kalau hanya 8 rakaat. Paling-paling penat saja.

Ada jenis zikir yang memang bisa membuat kaki bengkak. Di fiqh tidak pernah diajarkan bagaimana cara shalat sampai kaki bengkak. Makanya ahli syariah tidak begitu paham dan juga tidak pernah mengalami ibadah zikir (shalat) seperti Nabi SAW sampai kaki menjadi bengkak. Bagi mereka yang tidak begitu memahami ritual-ritual zikir, penyebab kaki Nabi SAW bengkak dipahami karena shalat terlalu lama. Ada juga yang berseloroh kalau Nabi punya penyakit, atau sudah tua, sehingga kakinya mudah bengkak.

Jenis ibadah (zikir) yang sampai membuat kaki jadi bengkak diajarkan dalam praktik tarekat (tasawuf). Jenis zikir ini memiliki efek yang dahsyat sekali bagi perjalanan ruhani. Para pengamal tasawuf benar-benar merasakan “jihad akbar” saat melakukan zikir khusus ini.

Banyak fenomena spiritual yang dialami para sufi dengan menjalani zikir-zikir khusus para nabi. Nabi Muhammad SAW sendiri mengalami “mikraj” (perjumpaan dengan Allah di alam rabbani) dengan kendaraan zikir. Nabi SAW berjumpa Allah SWT disebuah dimensi spiritual bernama “Sidratul Muntaha” guna menerima shalat, setelah melakukan proses zikir yang luar biasa.

Tiap tahun selama berhari-hari beliau melakukan khalwat (sulok) di ruang yang sunyi (Gua Hira). Perjumpaan dengan Allah tentu harus diawali dengan kesucian diri (terutama batin). Zikir alat penyucinya. Pribadi Nabi SAW sudah maksum sejak dini. Dadanya sudah “dibedah” (terisi) elemen zikir sejak usia belia. Kenabiannya bukan dengan cara “simsalabim”. Ada guru yang membimbingnya.

Jadi kita bisa paham, hakikat shalat adalah perjumpaan dengan Allah. Sebab, shalat adalah sebuah ibadah yang diterima setelah berjumpa “langsung” dengan Allah. Maka shalat yang benar adalah yang secara ruhaniah ‘berjumpa’ dengan Allah.

Untuk mencapai jenis shalat yang khusyuk (terfokus hanya kepada ‘wajah’ Allah) tentu tidak mudah. Mungkin kita bisa merasakan bagaimana liarnya pikiran kita saat shalat. Shalat yang seharusnya menjadi alat untuk mengingat Allah (zikrullah) justru sebaliknya, menjadi media untuk menghayal.

Gagal khusyuk adalah bentuk kelalaian dalam shalat. Allah bahkan mengutuk orang-orang yang gagal shalat sebagai “pendusta agama” (QS. Al-Ma’un). Disebut pendusta karena seharusnya mengingat Allah, tapi justru mengingat hal lain (ingat pekerjaan, ingat properti, ingat anak, ingat suami/istri, dsb). Shalat yang penuh kedustaan sudah tentu tidak merubah akhlak (QS. Al-Ankabut: 45).

Maka untuk mencapai bentuk shalat yang khusyuk perlu pelatihan khusyuk. Itulah yang disebut “zikir”. Sebelum melaksanakan shalat (yang merupakan puncaknya ibadah), kita harus sudah terlatih untuk khusyuk (seluruh indera batin hanya tertuju kepada Allah).

Begitu pentingnya dimensi khusyuk. Sehingga banyak ayat menyebut, kesuksesan (kemenangan) kita di dunia dan akhirat terletak pada elemen khusyuk. Sebab, khusyuk inilah yang mengkoneksikan kita dengan Allah.

Namun untuk bisa memperoleh khusyuk butuh kesabaran. Karena yang dilatih adalah penguasaan elemen jiwa. Pun praktik zikir yang sampai membuat kaki bengkak butuh kesabaran tingkat tinggi. Sedikit dari umat ini yang punya kesabaran sampai tingkat itu. Dalam hal ini, seorang mursyid senantiasa dibutuhkan untuk membimbing ruhani murid untuk merobek tirai yang selama ini menghalangi dia dengan Tuhannya.

Jadi, zikir panjang yang dibimbing oleh seorang guru rohani menjadi sebuah keniscayaan agar hati menjadi suci. Dengan hati yang telah disucikan maka kemudian shalat 5 waktu yang sangat singkat itu dapat dinikmati secara hakiki. “Tidak ada yang bisa menjangkau hakikatnya kecuali oleh mereka yang telah disucikan” (QS. Al-Waqiah: 79).

Pada ayat yang lain Allah SWT menegaskan: “Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri. Dan dia berzikir (mengingat) Asma Tuhannya, lalu mendirikan shalat” (QS. Al-Ala: 14-15).

Dari ayat ini kita bisa paham bahwa, selain thaharah dimensi lahiriah, pembersihan diri melalui zikir menjadi prasyarat bagi shalat yang benar. Jadi wajar jika perintah shalat baru diterima Nabi SAW setelah beberapa tahun kerasulan (ulama berbeda pendapat, namun sebagian besar menyatakan sesaat sebelum hijrah ke Madinah). Setelah sebelumnya pada periode Makkah, Nabi SAW mengajarkan hakikat tauhid (termasuk zikir) agar umatnya terlebih dahulu mengenal Allah. Setelah pengikutnya benar-benar makrifat, maka syariat shalat menjadi tegak.

Sayyidi Syeikh Ahmad Sufimuda, seorang guru pada tarekat Naqsyabandi Al-Khalidi, sering mengingatkan murid-muridnya untuk meningkatkan durasi zikir, sampai bengkak kaki, dengan memperhatikan kunci-kunci (kaifiyat) yang telah diijazahkan.

Beliau menerangkan pentingnya latihan zikir yang panjang guna mencapai shalat yang sempurna. Beliau ibaratkan seperti seorang bintang sepak bola, atlet profesional atau para juara dunia dibidang apapun. Mereka semua telah melatih dirinya secara intensif dalam waktu yang lama guna memenangkan sebuah lomba yang hanya berlangsung beberapa menit. Musisi kelas dunia misalnya, melatih guitar 3-4 jam sehari, untuk tampil maksimal selama 10 menit.

Pun untuk bisa shalat khusyuk selama 5-10 menit, harus didahului dengan duduk tawaruk melatih “mengingat Allah” selama berjam-jam (Nabi SAW melakukan ini sampai bengkak kakinya).

Jangan membayangkan zikir yang dilakukan Nabi SAW sama dengan zikir dipanggung-panggung tengah kota yang ada baliho dan foto-foto penyelenggara. Zikir masal kita dewasa ini lebih ke syiar saja (show of force). Sementara ada bentuk-bentuk zikir rahasia yang hanya cukup Allah dan kita saja yang tau. Memang belakangan bukan cuma zikir yang didemontrasikan secara terbuka. Shalat tahajud tengah malam pun, yang sebenarnya merupakan ibadah personal, sudah dijamaahkan (khususnya bulan puasa).

Sekali lagi, inti dari shalat adalah zikir atau “mengingat” Allah. Bagaimana kita bisa mengingat Allah, kalau “bertemu” Allah pun tidak pernah sebelumnya. “Apanya Allah yang diingat?”, tanya Guru Sufi.

Normalnya, kita baru bisa mengingat sesuatu kalau sudah pernah bertemu atau menyaksikannya (musyahadah). Sebagaimana rukun Islam, setelah mengalami “syahadat” (menyaksikan Allah) baru sempurna “shalat” (menyembah-Nya).

Makanya Nabi SAW telah mengajarkan kita, dan ini ditiru oleh para wali dan sufi agung, melalui sebuah proses zikir yang panjang Beliau mampu “terbang” ke sebuah dimensi spiritual bernama Sidratul Muntaha lalu ‘berjumpa’ Allah disana. Dengan demikian Allah senantiasa bisa diingat, termasuk dalam shalat. Karena sudah pernah berjumpa.

Sementara kita tidak pernah mau terbang untuk melihat “wajah” Allah secara ruhaniah, lalu apanya Allah yang akan kita ingat dalam shalat?

AYO CARI GURU. ZIKIR!
SELAMAT HARI GURU. JANGAN LUPA BERZIKIR.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

KIBAN SAGOE NYAN?

Fri Nov 30 , 2018
“How […]

Kajian Lainnya