KAPAN SEMPURNANYA?

image: “mencari ridha dalam ketidaksempurnaan” (bersama Dr. Ridwan Nurdin, Dayah Sufimuda, 5 April 2019).

Kapan Sempurnanya?
Oleh Said Muniruddin

Sering kami mengajak orang-orang untuk mendalami tasawuf (tarekat). Kebanyakan berargumen: “Biar kami sempurnakan dulu tauhid dan syariat.”

Ini sama dengan mengajak orang untuk mencicipi buah mangga. Lalu dijawab: “Biar kami sempurnakan dulu pemahaman tentang mangga serta cara mengupasnya.” Entah kapan definisi dan cara mengupas mangga itu bisa disebut sempurna, sehingga manisnya mangga itu benar-benar mau dirasakannya.

Begitu pula halnya dengan fiqh atau syariat. Kapan bisa sempurna? Perdebatan fiqh saja tidak pernah tuntas. Masing orang punya pemikiran yang berbeda terhadap suatu perkara sehingga melahirkan bermacam mazhab. Dalam satu imam mazhab pun antar pengikutnya juga punya tafsiran berbeda. Jadi mana mungkin sempurna. Konon lagi hampir semua produk hukum itu tidak terlepas dari hasil tafsiran (ijtihad) manusia.

Beragama bukan persoalan sempurna. Melainkan kemauan untuk belajar semua hal pokok yang diperlukan untuk menyempurnakan agama. Tidak mungkin kita baru mau melaksanakan shalat kalau ilmu tauhid sudah sempurna. Ukuran benar-benar sempurnanya tauhid atau aqidah juga tidak jelas. Karena sempurna itu bertingkat-tingkat. Jadi jangan menunggu sempurna aqidah baru mau shalat. Sampai mati sekalipun aqidah atau iman kita selalu naik turun.

Pun demikian pula untuk mengamalkan dimensi tasawuf dalam agama, jangan menunggu sempurna syariat. Tidak ada batas sempurna dari syariat.

Beragama bukan persoalan sempurna. Tetapi mengerjakan semua yang disuruh. Awalnya kita disuruh meyakini adanya Allah (tauhid). Lalu disuruh menyembahnya, baik secara dhahir (syariat) maupun batin (tasawuf). Ketiga dimensi inilah (tauhid, syariat dan tasawuf) yang sejak usia dini harus dibenah secara paralel. Tanpa perlu menunggu yang lain sempurna. Karena ketiganya saling menyempurnakan.

Kalau ketiganya tidak dilakukan secara bersamaan, maka agama kita tidak akan pernah sempurna. Bahkan cacat seumur hidup.

***

Mengapa syariat harus disempurnakan dengan tasawuf?

Sebab, syariat hanya membahas “sah” atau “tidak sah” ibadah (menurut hukum-hukum yang dipahami manusia). Sementara tasawuf membahas “diterima” atau “tidak diterimanya” ibadah (menurut pandangan Allah).

Boleh jadi, menurut akal pikiran kita, gerak dan bacaan ibadah sudah bagus. Pertanyaannya, apakah itu diterima oleh Allah? Sebab, untuk apa sesuatu terlihat bagus kalau ternyata Allah tidak suka.

Belum tentu yang baik menurut pengetahuan kita, itu baik menurut Allah. Atau boleh jadi sesuatu yang kita anggap buruk, itu tidak buruk bagi Allah (QS. Al-Baqarah: 216). Yang penting adalah menurut Allah. Bukan menurut kita.

Kan kasihan sekali kalau berulang kali melakukan ibadah yang sesuai selera dan keinginan kita, ternyata Allah tidak terima. Sebab, yang kita cari adalah ridha (mendapat perkenan atau diterima) Allah. Kalau itu tidak kita peroleh, mau kemana kita?

***

Ada yang membantah. Diterima atau tidak diterimanya ibadah, itu urusan Allah. Urusan kita hanya beribadah sebaik mungkin menurut kita.

Ini berbahaya. Kita tidak boleh berspekulasi (berjudi). Jangan menghayal sesuatu yang terbaik menurut kita. Kita harus bisa memastikan sesuatu yang baik menurut Allah. Karena yang baik menurut Allah lah yang diterima (diridhai). Kalau tidak, mati kita!

Bahkan dalam bisnis pun kita diajari, sebelum menjual sesuatu, pastikan dulu diterima oleh pasar. Dengan demikian, produk kita laku. Dalam ibadah juga sama, kita harus memastikan terlebih dahulu jika persembahan kita disukai (diterima) oleh-Nya.

Ilmu untuk memastikan bahwa ibadah kita benar-benar sampai, disukai dan diterima oleh Allah,  disebut tasawuf. Ilmu inilah yang menyebabkan manusia biasa seperti Muhammad SAW bisa memastikan siapa yang terjamin ke surga, dan siapa yang tidak. Karena Beliau mengetahui secara pasti (haqqul yakin) apa yang disukai dan tidak disukai (diridhai) Allah.

Karena komunikasi transendennya tinggi sekali (pengetahuan laduni), maka Nabi mengetahui pasti hal-hal apa saja yang direstui Tuhan. Itulah penyebab Beliau maksum (suci, terjaga, terpelihara). Setiap tindakannya terkonfirmasi kepada Allah.

Dalam pandangan ahli syariat, hukum sebuah sikap dan tindakan digolongkan dalam wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Tidak ada bahasan tentang diridhai atau tidak. Padahal, secara hakikat, yang kita cari adalah keridhaan Allah dalam setiap tindakan.

Haram, makruh atau mubah sekalipun dalam pandangan nalar hukum; kalau Allah ridha, antum mau apa? Sebaliknya, sunnah dan wajib sekalipun, kalau Allah lagi tidak ridha masak antum mau maksa?

Nabi Muhammad SAW contohnya, secara syariat telah menetapkan hukum bagi kita untuk boleh beristri sampai 4 orang (QS. An-Nisa: 3). Namun Beliau sendiri saat wafat masih memiliki istri 9 orang. Bukankah ini melanggar syariat? Iya sih. Tapi kalau Allah sendiri setuju begitu bagi kekasihnya, kita mau bilang apa.

Contoh lain. Merusak perahu orang atau membunuh anak kecil, termasuk pekerjaan yang dalam kacamata lahiriah bernilai illegal, haram dan berdosa. Tapi itu sah bagi seorang arif rabbani. Sahnya perbuatan itu karena sudah terlebih dahulu diridhai Allah. Ada rahasia penuh hikmah dari perilaku aneh kaum ‘urafa yang orang awam tidak mengerti (QS. Al-Kahfi: 71-82).

Tidak ada yang bisa memastikan Allah ridha atau tidak terhadap sebuah tindakan yang anda ambil, kecuali anda punya kemampuan untuk menanyakan langsung kepada Allah. Semakin anda bersandar pada kehendak Allah dalam berbagai tindakan, semakin maksum anda.

Sebaliknya, semakin anda bersandar pada akal pikiran sendiri, atau bahkan pada nafsu semata, kemungkinan semakin jauh anda dari Allah. Hukum dan etika ilahiyah yang sangat halus seperti ini hanya dapat dipahami oleh para nabi, wali dan orang-orang shaleh yang “sinyal” jiwanya sudah terkoneksi dengan Allah.

Makanya, jangan terlalu kaku pada aspek kesempurnaan lahiriah ibadah semata. Sebab, yang diterima Allah justru persembahannya Habil, walaupun bentuk qurbannya nampak biasa saja. Sementara kepunyaan Qabil yang terlihat begitu sempurna, ditolak-Nya (QS. Al-Maidah: 27).

Jadi, bukan wujud fisik syariat ibadah yang diterima Allah. Melainkan dimensi ruhani yang disebut ihsan, ikhlas atau takwa (QS.Al-Hajj: 37). Taqwa adalah “rasa” akan kehadiran atau ketersambungan dengan Tuhan. Kemampuan merasakan ini merupakan bentuk dari kesucian jiwa. Hanya jiwa yang suci yang sampai kehadirat Allah. Hanya jiwa yang suci yang dapat mengantarkan semua bentuk ibadah kesisi Allah. Karena jiwa yang suci adalah manifestasi dari cahaya Allah itu sendiri.

Itulah inti dari tasawuf. Didalamnya ada metodologi riyadhah untuk “penyucian jiwa” yang disebut tarekatullah. Butuh seorang khidir (mursyid) untuk bidang ini. Sebab, yang di upgrade bukan alam akal lagi (sebagaimana dalam tauhid dan syariat). Melainkan alam ruhani. Banyak ahli syariat yang berat dalam menerima doktrin tasawuf. Sebagaimana beratnya sosok alim seperti Musa saat meninggalkan akal dan logikanya.

Jadi, inti beragama adalah tersambungnya ruhani kita dengan Allah. Itu penyebab ibadah diterima. Kalau batin sudah tersambung dengan Yang Maha Gaib, tidak mustahil seseorang mampu berkomunikasi dengan Allah dan para malaikat-Nya.

Itulah skill sufisme para nabi dengan instrumen komunikasi yang disebut “wahyu”. Untuk orang-orang shaleh disebut “hidayah”, “ilham”, “muraqabah”, “kasyaf” atau berbagai instrumen komunikasi transendental lainnya. Dalam Alquran  juga dikisahkan tentang orang-orang selain nabi yang lihai berkomunikasi dengan malaikat. Kita semua, kalau benar dalam beragama juga bisa seperti itu.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
🌹 powered by PEMUDA SUFI:
“menuju Indonesia yang bermuraqabah (memiliki getaran Ilahiyah)”.

Next Post

KESURUPAN

Sat May 4 , 2019
Kesurupan […]

Kajian Lainnya