YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN

image: “Nur Muhammad” (deviantart.com)

YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN
Oleh Said Muniruddin | Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Dalam agama, seperti disampaikan filsuf Perancis Emile Durkheim (1858-1917 M), ada sesuatu yang bernilai “tinggi dan suci” (sacred/sakral/ukhrawi) dan ada hal-hal yang dianggap “rendah dan biasa” (profan/duniawi).

Pertanyaannya, hal-hal apa saja dalam hidup ini yang bernilai ukhrawi dan apa yang membedakannya dengan sesuatu yang bersifat duniawi (bahasa Aceh: “donya”)?

Dalam tasawuf, pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah. Bahwa, segala hal yang Tuhan hadir didalamnya, pasti bernilai “sakral” (sacred). Sementara, ketidakhadiran Tuhan menyebabkan semua tindakan kita, sholat sekalipun, bernilai duniawi (rendah).

Tetapi, yang dimaksud dengan “kehadiran Tuhan” bukanlah sebuah bentuk munculnya sosok Tuhan secara vulgar yang dapat diraba secara material. Melainkan hadir dan menyatunya “unsur-unsur” diri-Nya pada alam syahadah manusia. Unsur Tuhan itulah yang disebut “utusan Tuhan”. Dia hadir dalam sebuah kekuatan tertentu dan benar-benar dapat kita alami, saksikan atau rasakan. Dalam tasawuf salah satu maqam penyaksian akan hadirnya Allah disebut muraqabah.

“Unsur” Tuhan ini (yang pada hakikatnya adalah bagian dari qudrah dan iradah-Nya sendiri) dalam tasawuf diperkenalkan dengan “Nur Muhammad”. Bisa juga diringkas dengan “Muhammad”. Namun yang dimaksud Muhammad disini bukanlah sosok biologis Nabi Muhammad SAW anaknya Aminah. Melainkan hakikat Muhammad, ruh tertinggi atau ruhul quddus yang menyatu (wahdah al-wujud) dalam dirinya.

Muhammad itu manusia biasa. Namun menjadi luar biasa manakala Tuhan “hadir” dalam dirinya (QS. Al-Kahfi: 110). Karena ada unsur ketuhanan dalam diri sosok Muhammad, maka Muhammad menjadi “utusan” Tuhan (insan kamil). Sehingga, Apa yang diomongin Muhammad menjadi omongan Tuhan (wahyu). Baik Quran atau hadis yang dhahirnya keluar dari lisan Muhammad, dengan demikian bernilai baharu, pada hakikatnya adalah kalam Tuhan yang qadim (berpower).

Jadi, ada “Muhammad” lain (Cahaya Tuhan/Nurun ‘ala Nurin/Utusan Tuhan/Rasulullah/Nur Muhammad) dalam wujud Muhammad yang membuat dirinya begitu berpower. Tidak hanya dalam diri Muhammad bin Abdullah, dalam jiwa para nabi terdahulu juga “hadir” entitas Muhammadi yang maha suci ini. Sebuah entitas yang pada hakikatnya terbit dari sisi Allah ta’ala sendiri. Dengan demikian, entitas itu adalah (tajalli) Dia sendiri.

Entitas (nur) Muhammad yang maha suci ini tidak pernah mati. Huwal awwalu wal-akhiru. Dia ada sejak awal sampai akhir. Dia terus ada disetiap masa dan tempat. Dialah utusan Tuhan sepanjang zaman. Paska kenabian, Dia juga hadir dalam diri orang-orang pilihan, para imam, mursyid dan wali-wali Allah. Karena keshalehan dan ketauhidan mereka, orang-orang ini telah membuktikan bahwa sejak di dunia, Allah dapat dijumpai secara nyata akan rasa dan kehadirannya (“liqa”, QS. Al-Kahfi: 110).

Pada ayat lain dikatakan, “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Ada yang mampu menyerap cahaya Allah ini secara kuat, ada yang lemah. Macam listrik. Ada yang mampu menampung Nur Muhammad dalam kilowatt yang berlimpah, ada yang sedikit.

Mereka yang benar-benar tersambung dengan “arus” ilahiah yang murni ini akan memiliki kapasitas untuk menghidupkan masyarakatnya (menjadi rahmatan lil’alamin). Sementara mereka yang kosong dari Nur Muhammad tidak memiliki daya kontak apapun (tidak memiliki karamah), walau bersurban sekalipun.

Disinilah sebenarnya letak nilai sakral (sacred) dan profan (profane) dari agama atau kehidupan. Segala hal yang terhubung dengan “Muhammad” pasti bernilai sakral (ukhrawi). Sebab, terhubung dengan (Nur) Muhammad adalah terhubung dengan Allah. Inilah yang disebut wasilah (QS. Al-Maidah: 35). Kalau tidak terhubung, shalat sekalipun walau fikihnya sempurna sekali akan menjadi profan (duniawi).

Dengan kata lain, ibadah dan aktifitas kita sehari-hari ibarat kabel dengan arus listrik. Kalau berarus (tersambung dengan “Muhammad”) akan bernilai sakral. Kalau tidak tersambung dengan arus Nurun ‘ala Nurin itu, maka hanya sebatas kabel kosong (profan). “Kabel kosong juga berguna, tapi hanya sebatas tali jemuran”, kata Abuya Ahmad Sufimuda. Tapi kalau berisi arus, ia dapat menghidupkan AC, kulkas, TV, dsb (menjadi penghulu alam, menjadi energi bagi alam semesta).

Demikian syarahan kami terkait substansi “Muhammad” yang sebelumnya telah dijelaskan secara apik oleh Syeikh Ahmad Sufimuda, seorang walimursyid tarekat Naqsyabandi Al-Khalidi di Aceh, dalam sebuah artikel singkat pada link berikut:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2123372144439967&id=100003016068962

Selanjutnya, terkait cara kita dapat terhubung dengan entitas Muhammad yang “Awal dan Akhir” itu, metodologinya diajarkan dalam irfan, tasawuf atau tarekat. Karena (Nur) “Muhammad” adalah wujud gaib, maka harus ditempuh sebuah proses tazkiyatun nafs yang berdimensi batiniah untuk kita dapat menjangkaunya.

Muhammad bin Abdullah sendiri, sejak muda, berulang kali masuk gua untuk menembus alam musyahadah guna menyatu dengan hakikat dirinya. Dengan dipandu “Jibril” akhirnya ia terkoneksi dengan apa yang paling ia cari. Makanya Muhammad juga disebut sebagai “nabi terakhir”, sekaligus “nabi pertama” (makhluk pertama/ruh awal yang mengalir pada semua nabi): “Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur” (HR. Bukhari).

Maka kami mengajak kita semua, temukanlah Muhammad yang hakiki itu melalui bimbingan seorang master yang waliyammursyida (QS. Al-Kahfi: 17). Sebab, dengan hadirnya Ruh Muhammad dalam diri, dosa Adam setelah 40 tahun menjadi terampuni. Pun demikian, semua tindakan kita akan bernilai ibadah (makna hakiki dari lillahi ta’ala). Tanpa berwasilah kepada Muhammad ini, semua menjadi profan, fana atau lemah (untuk tidak mengatakan “palsu”). “Semua yang ada di bumi sifatnya fana, dan yang kekal hanya (perbuatan yang hadir) Wajah Tuhanmu” (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
powered by PEMUDA SUFI:
“menuju Indonesia yang bermuraqabah”.

One thought on “YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN

Comments are closed.

Next Post

FACING THE PROBLEM

Sun Jul 21 , 2019
Facing […]

Kajian Lainnya