PENGHAMBAAN DIRI

image: “Latihan Dasar Pekerja Sosial Masyarakat”, Lhokseumawe (17 Juli 2019)

Penghambaan Diri
Oleh: Said Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tujuan belajar merendah sejak awal adalah, supaya ketika besar nanti tidak ada lagi sifat sombong dalam diri kita. Itu esensi berorganisasi bagi mahasiswa.

Berorganisasi adalah aktifitas ‘menghambakan’ diri kepada kepentingan umum. Melalui organisasi, kita berubudiyah untuk menuntaskan sebuah program atau kegiatan yang sejak awal sudah ditargetkan memberi manfaat bagi orang-orang. Konsep social work ini harus ditanamkan sejak dini pada diri murid, pelajar ataupun mahasiswa.

Bisa saja kita bekerja sendiri-sendiri, tanpa perlu melibatkan diri dalam kelompok. Tapi pola berjamaah lebih tinggi nilainya. Sebab, organisasi sejatinya adalah sebuah seni untuk saling memahami, bergerak dan bekerja secara bersama.

Bukan berarti mengabaikan kepentingan pribadi. Disatu sisi, hak-hak individu merupakan sesuatu yang paling primer bagi setiap orang. Harus dihargai. Tapi mengabaikan tugas dan tanggungjawab individu kepada komunitas itu merupakan “individualisme”, jenis penyakit batin yang menghancurkan.

Penyakit batin

Penyakit batin paling parah yang diderita banyak orang adalah “ke-aku-an” berlebih (egois, selfish). Termasuk dalam hal ini adalah sikap ignorance. Tidak peduli. Sesuatu baru menarik jika hanya ada manfaat personal (individualistik).

Itu penyebab utama orang-orang (termasuk umumnya mahasiswa) tidak mau buang-buang waktu untuk urusan aktifisme sosial. Yang difikirkan adalah bagaimana cepat selesai kuliah. Itu tidak salah. Tapi enggan mengambil peran-peran lebih kritis dan responsif dalam pemecahan masalah-masalah masyarakat melalui bakat minat dan ilmu-ilmu yang sedang ditekuninya, itu termasuk pseudo-intelectual yang parah.

Dulu, banyak dosen dan pimpinan perguruan tinggi yang menganggap sepele urusan ini. Bahkan ada yang menghukum mahasiswa yang aktif berorganisasi. Padahal, Tri Dharma Perguruan Tinggi menegaskan pentingnya elemen pengabdian yang terorganisir (penghambaan diri kepada masyarakat).

Namun demikian, hari ini sudah ada pengakuan akan pentingnya sertifikat pendamping kuliah yang menekankan aspek sosial leadership mahasiswa. Akreditasi kampus dan jurusan juga sudah menilai aspek-aspek keaktifan mahasiswa di luar ruang kuliah.

Jadi, berorganisasi itu penting. Kemampuan mengorganisir berbagai proses secara kreatif dapat menjadi bekal leadership di masa depan. Apalagi jika hakikat berorganisasi sebagai wadah pengembangan jiwa sosial dan politik yang independen benar-benar terinternalisasi.

Namun demikian, banyak juga ditemukan orang-orang yang minim aktifisme sosial yang kemudian menjadi pemimpin (pejabat). Bagus jika kesadaran sosialnya memang tinggi. Tapi tidak banyak yang begitu. Akibatnya, alih-alih menjadi rendah hati, sebuah jabatan struktural malah membuatnya semakin angkuh.

“Aku dulu tidak pernah berorganisasi dan memimpin apapun, toh sekarang juga bisa menjadi pemimpin. Jadi ngapain kalian sibuk berorganisasi”, kata sang pejabat kepada para mahasiswanya.

Berorganisasi sejak awal, hakikatnya adalah untuk menumbuh kembangkan kompetensi sosial. Sehingga, spirit serupa dapat terus berlanjut manakala suatu waktu diamanahkan jabatan publik. Sejak awal kita harus memahami, bahwa to lead is to serve, to be humble.

Belajar dari pola pendidikan tasawuf

Pola pendidikan tasawuf klasik (tarekat) menekankan bentuk-bentuk edukasi untuk pembentukan karakter seperti ini. Fase awal dari menjadi seorang murid adalah menjadi pekerja sosial yang tangguh dan rendah hati. Biasanya dengan cara ‘menghambakan diri’ melalui bimbingan gurunya.

Alkisah, seorang ibu membawa anaknya untuk belajar pada Junaid Al-Baghdadi (master sufi asal Persia yang meninggal di Baghdad pada 910 M). Setelah setahun, si ibu kembali menjenguk anaknya. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan anaknya sedang membersihkan toilet dan melakukan pekerjaan ‘rendahan’ lainnya. Anaknya seperti diperlakukan sebagai budak oleh Junaid. Sementara anak-anak lainnya sedang mendapat pengajaran agama dari sang guru.

Si ibu protes. Lalu Junaid menjelaskan, “Selama ia masih memiliki sifat ke-aku-an, tidak mungkin ilmu-ilmu Tuhan akan melekat dan bermanfaat baginya”.

Itu yang disebut, “adab lebih penting dari ilmu”. Rendah hati lebih utama daripada banyak tau. Kalau sekedar cerdas, iblis lebih cerdas. Tapi sifat taatnya tidak ada.

Kita khawatir, jangan-jangan itu yang kini terjadi. Pembangunan di negeri ini dirancang dan digerakkan oleh orang-orang cerdas, dengan tingkat pendidikan yang rata-rata sudah tinggi. Tapi kok terasa stagnan. Tingkat kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan berbagai indikator pembangunan lainnya terlihat tidak menggembirakan.

Sepertinya, kecerdasan intelektual kita belum didukung oleh kecerdasan emosional dan sosial yang transformatif. Ini mungkin akibat pendidikan yang hanya berfokus pada kecerdasan intelektual saja (IQ). Sementara kecerdasan emosional dan sosial (EQ/AQ) tidak menjadi perhatian. IQ dapat diasah dalam ruangan kuliah. Tapi adab harus diperkuat dengan interaksi sosial.

Namun kita juga tau, tidak semua aktifis kampus selamanya setia kepada karakter idealis (ideologis). Sebagian kita kemudian terjerembab dalam perilaku yang terlalu pragmatis. Pada kadar tertentu, pragmatisme dapat menyelesaikan masalah secara taktis. Tapi pada kadar berlebih, ia menjadi koruptif.

Pragmatisme koruptif terjadi akibat gagal meng-upgrade spiritualitas. Semua potensi leadership akan tergerus manakala “hilang ingat”. Kita ini lemah, “dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa: 28). Tak ada orang yang kuat menghadapi dunia dan tuntutan hidup yang semakin meningkat, tanpa bimbingan dan ketersambungan dengan Allah (muraqabah).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
powered by PEMUDA SUFI:
menuju Indonesia yang bermuraqabah. 

Next Post

TUGAS UTAMA

Thu Aug 1 , 2019
Kamis, […]

Kajian Lainnya