CACAT BAWAAN SYARIAT

image: “sah dan diterima”

CACAT BAWAAN SYARIAT
Oleh Said Muniruddin I Rector I The  Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Sejak lahir, syariat punya satu cacat bawaan yang tidak bisa diobati. Cacatnya adalah, setelah mengatakan harus begini harus begitu, benarnya begini benarnya begitu, syariat tidak bisa memastikan apakah ibadah tersebut diterima atau tidak oleh Allah. Sehingga muncul bahasa, “Kita hanya berusaha, diterima atau tidak, itu urusan Allah”. Sangat spekulatif!

Syariat tidak punya instrumen untuk memastikan apakah segala amal yang dianggapnya sudah benar dan sah itu, benar-benar diridhai (diotorisasi) secara pasti oleh Allah.

Isu utama dalam ibadah sebenarnya bukan hanya sekedar mengerjakan apa yang disuruh, serta “sah” atau “tidak sah” sebuah usaha/ibadah, sebagaimana menjadi wilayah kajian fiqh syariah. Tapi juga “diterima” atau “tidak diterima” apa yang kita kerjakan (aspek ihsan atau makrifah). Sah atau tidak, itu merujuk kepada formalitas panduan (aturan, mekanisme, sistematika, bentuk atau standar-standar lahiriah yang telah di rumuskan). Sementara diterima atau tidak, itu aspek substantif yang hanya bisa diverifikasi atau diberi tau langsung oleh Allah.

***

Syariat adalah hukum-hukum Allah dalam ibadah. Artinya, dalam beribadah, kita harus merujuk kepada kaidah-kaidah yang telah Allah tetapkan. Tidak hanya ibadah personal (mahdhah), sistem kehidupan sosial (ibadah ghairu mahdhah/muamalah) juga harus dirujuk kepada syariat. Dan hukum-hukum itu terkompilasi dalam Alquran, sebuah “kitab undang-undang hukum ibadah.” Semua isinya berasal dari Allah.

Namun tantangannya adalah, petunjuk yang terdapat dalam Alquran banyak juga yang generik. Sehingga lahir tafsir dan pengayaan lebih lanjut untuk “mengoperasionalkan” hukum-hukum yang ada. Ditambah dengan rujukan kepada perilaku-perilaku nabi dalam menjabarkan Alquran. Dan lagi-lagi, riwayat tentang sunnah tidak seragam. Sehingga lahir interpretasi dalam banyak mazhab pemikiran. Ada titik-titik kesamaan. Ada juga perbedaan-perbedaan.

Jadi, meski syariah secara universal disebut “hukum Tuhan”, pada dimensi turunan dan aturan-aturan lebih lanjut tidak terlepas dari tingkat kecerdasan dan kekhususan pemahaman manusia pada kurun zaman dan tempat. Namun yang namanya manusia, tentu tidak selalu bebas dari faktor duniawi, termasuk tujuan-tujuan political grouping and power interest. Penyeragaman hukum sering menjadi alat stabilisasi politik dan justifikasi kelompok.

Sehingga pada level fiqh, universalisme Islam semacam memudar. Teks mulai berinteraksi dengan tradisi, konteks kasus dan lokalitas. Begitulah ketika agama (syariat) mengalami derivasi. Maka sesekali muncul teriakan untuk kembali ke pokok dari ayat dan riwayat (Alquran dan Sunnah). Namun, Alquran itu murni alam pikiran Tuhan. Di bawahnya ada ijma’, qiyas, fatwa, qanun, aturan dan sebagainya; yang spirit Alquran itu sudah bersintesa dalam ranah akal, wisdom para ahli dan bahkan kepentingan politik.

Setidaknya ada 8 mazhab pemikiran yang hari ini diakui oleh konferensi ulama Islam international (baca: “The Amman Message”, 2004). Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakfar, Zaidi, Zahiri dan Ibadhi. Dulu lebih banyak lagi mazhabnya. Ada yang populer, ada yang tidak. Sebagian mati karena kehilangan pengikut. Sebagian hilang karena tidak ada restu kekuasaan.

Antar mazhab punya variasi pemikiran. Bahkan dalam satu mazhab pun belum tentu punya cara yang sama dalam memandang sesuatu. Masing-masing juga punya pendapat khas terkait benar salah atau sah tidak sahnya sebuah objek hukum (ibadah). Begitulah, para ulama begitu bersemangat untuk memahami petunjuk agama dalam beribadah. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati apa maunya Tuhan. Namun lagi-lagi, hanya Tuhan sendiri yang benar-benar tau, apakah ibadah kita sah atau tidak. Diterima atau tidak.

Kan kacau sekali, kalau kita sudah berusaha dan mengira ibadah kita sudah baik, ternyata tidak diterima oleh-Nya. Karena apa yang kita anggap baik, belum tentu baik dalam khazanah sirr pengetahuan Allah (QS. Al-Baqarah: 216). Atau bisa jadi wudhuk, shalat, sedekah dan ibadah seseorang yang terlihat biasa dan sederhana saja, ternyata itulah yang paling disenangi-Nya. Ada banyak variabel yang menentukan akseptabilitas ibadah disisi Allah. Bukan sekedar bentuk lahiriah yang diukur dengan sah atau tidak sah/memenuhi standar fiqh tertentu (QS. Al-Hajj: 37).

***

Itulah problem syariat (fiqh), tidak bisa memberikan informasi secara pasti bahwa apa yang sudah kita kerjakan sudah diterima ataupun ditolak Allah. Ini persis seperti para pegawai pemerintahan yang diminta melakukan sesuatu sesuai rumusan aturan. Mereka tidak bisa memastikan, apakah yang sudah disusun atau laporkan akan diterima. Kenyataannya, selalu ada kesalahan dan kekurangan dalam prosesnya. Sebab, selalu ada gap pemahaman antara pegawai dengan pimpinan/pemilik/pembuat aturan. Sehingga sebelum diterima, sebuah tugas perlu dikoreksi dan perbaiki.

Mahasiswa juga begitu. Mereka mengira skripsinya sudah diketik dan dibuat sesuai buku pedoman. Sampai kemudian skripsinya diobrak-abrik oleh dosen. Untung ia bisa berjumpa dosen, sehingga tau apa yang diterima dan apa yang ditolak. Khawatirnya, kita sudah belasan atau puluhan tahun melakukan ibadah, tapi sangat spekulatif. Tidak pernah tau diterima atau tidak. Sebab, kita tidak pernah mengenal dan berjumpa dengan Allah (makrifah).

Apakah kita harus menunggu kiamat untuk diberitau kalau apa yang kita lakukan di dunia tidak pernah Dia ridhai? Atau sejak sekarang kita perlu menjumpai-Nya untuk mendapat konfirmasi apakah Dia berkenan dengan sebuah usaha kita atau tidak.

***

Usaha untuk menjumpai Dia sejak di dunia disebut “tareqatullah” (metodologi perjalanan jiwa untuk mendekati Allah). Kalau sudah terbuka hijab dan mampu berkomunikasi (memperoleh pengetahuan langsung/laduni dari sisi Allah) itu disebut makrifah. Melalui makrifah semua terkonfirmasi, apakah yang kita lakukan diterima atau tidak.

Oleh karenanya, syariat yang sifatnya baik sangka/spekulatif, perlu sesegera mungkin disempurnakan dengan makrifat atau keyakinan yang pasti (haqq). Ibadah, dengan segala kemungkinan kekurangan atau kelebihannya, harus bisa dipastikan apakah diterima atau tidak. Sebab itu modal kita untuk akhirat. Kalau tidak diterima, mati kita!

Saat menulis ini, kami di kampus Universitas Syiah Kuala sedang berdiskusi tentang Sistem Informasi Pengevaluasian Kinerja Dosen (SIPKD). Anda tau, setiap dosen diharuskan mengisi data-data kinerja dalam sebuah platform. Juknis (aturan/fiqh) pengisian masing komponen pendidikan, penelitian, pengabdian dan penunjang sangat detil.

Dalam proses ini, mesin secara otomatis memberi tau apakah sudah memadai atau belum jumlah kredit dan dokumen yang kita upload (sudah sah atau tidak pengisian sesuai petunjuk yang tersedia). Terlebih penting lagi, pada akhirnya kita punya kemampuan untuk mengetahui apakah hasil kerja kita tersebut “diterima” atau “ditolak” (lulus/tidak lulus) oleh asesor. Jangan pikir semua lulus. Banyak yang gagal, walau merasa sudah melakukannya dengan baik dan benar.

Urusan dunia saja seperti itu. Harus pasti apakah diterima atau tidak. Apalagi urusan akhirat. Akhirat jangan dibuat spekulatif. Harus pasti apakah kita akan bahagia nanti, atau tidak. Bahaya kalau ternyata semua kinerja kita di dunia tertolak Sementara kita tidak pernah tau itu. Padahal kita sudah berkeringat mengupayakannya, siang malam.

Karena itu, harus ada platform/instrumen untuk “berkomunikasi” dengan Allah. Kita harus meng-upgrade fiqh dan syariat dengan teknologi yang dapat mengkonfirmasi tingkat penerimaan ibadah kita disisi Allah. Dengan cara itu kita dapat senantiasa memperbaiki wilayah yang kita lalai/salah/keliru. Boleh jadi salahnya dalam aspek lahiriah ibadah. Boleh jadi sisi batiniahnya yang keliru. Kalau kita tau cara bertanya, Allah pasti beri tau. Dengan cara itu kita bisa memperbaikinya.

Inilah makna “tersambung” (rujuk/wushul) dengan Allah. Sama seperti tersambung dengan asesor SIPKD. Kita dapat berkomunikasi dengan asesor meskipun tidak pernah mengalami kontak fisik dan tidak pernah tau bagaimana wajahnya. Dengan Allah juga begitu. Manusia makhluk yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Onderdil Ruhiyah kita sangat sempurna. Komunikasi bisa dibangun dengan interaktif, meskipun kita tak pernah melihat/menjumpai/menjangkau Dzatnya. Teknologi dan lisensi ketersambungan dengan Allah bisa di dapat kalau kita berguru dengan para praktisi (walimursyid/ahli sufi). Memang tidak seperti guru-guru fiqh yang banyak sekali jumlahnya. Jumlah mereka yang menguasai teknologi komunikasi transendental ini memang agak langka.

Atas dasar inilah struktur keislaman sering dibagi dalam dimensi tauhid (keesaan wujud), syariat (dalil), tarikat (metode pembuktian), hakikat (rasa/pengalaman) dan makrifat (kesimpulan yang konfirmatif). Masing-masing saling melengkapi dan merupakan satu kesatuan mata rantai kesempurnaan dalam beragama. Satu saja tidak ada, cacat keislaman kita. Jadi; tarekat, hakikat dan makrifat itu bukan sesuatu yang aneh atau terpisah. Itu elemen metodologis atau alat verifikator otentisitas syariat: sah/tidak sah, diterima/tidak diterima disisi Allah. Makanya harus ada riyadhah untuk mendekat dan “sampai” kepada Allah untuk memperoleh kecakapan sampai pada level “verifikatif”. Kita harus mendapat informasi bahwa ibadah kita sudah valid dan benar, langsung dari Allah sebagai si Pemilik dan tujuan kita beribadah.

Guru-guru kita sering mengatakan, “Syariat (fiqh) itu ilmu/dalil untuk memperkirakan sah atau tidak sahnya ibadah se-istilah ijmak/qiyas dari potensi akal dan pikiran kita. Sementara makrifat adalah kepastian ibadah kita diterima atau tidak, langsung menurut Allah”. Islam itu sebenarnya ilmu pasti. Ilmiah. Bukan ilmu duga-duga. Seperti kata Nabi SAW, “akhirat itu pasti (dapat dipastikan)”. Maka harus bisa dipastikan juga apakah yang sudah kita lakukan dalam beragama, diterima atau tidak oleh dimensi akhirat.

Sama seperti SIPKD tadi. Kita bisa bertanya: “Pak asesor, apakah SIPKD saya sudah OK?”. Lalu dijawab: “Iya, saudara lulus”. Begitu juga seharusnya dengan Allah: “Ya Allah, apakah amal saya mengajar hari ini Engkau terima?”. Lalu Allah membalas WA kita sambil diberi tanda jempol: “👍Mengajarmu bagus dan ikhlas sekali”. Kira-kira begitu. Untuk hal serupa kita juga bisa bertanya, “Ya Allah, bolehkah bank konvensional beroperasi di Aceh?”. Dapatkan jawaban langsung dari Allah. Jangan mereka-reka dengan dalil akal dan tafsir yang sangat subjektif. Kalau dibolehkan, biarkan ia beroperasi. Jangan diusir.  Kalau tidak, ya tidak.

BACA: Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat, Metode Ilmiah dalam Beragama 

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad. *****

One thought on “CACAT BAWAAN SYARIAT

Comments are closed.

Next Post

KEKUATAN KEYAKINAN

Sun Sep 8 , 2019
Kekuatan […]

Kajian Lainnya