MENATA KEMBALI PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

image: kompas.com (Jum’at, 8 November 2019)

Menata Kembali Pendidikan Tinggi di Indonesia
Oleh Said Muniruddin I Dosen | Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah, Banda Aceh

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kami berpendapat:

  1. Semua ilmu harusnya punya dimensi praktis untuk menghasilkan nilai tambah, alias uang. Lulus kuliah pun ujung-ujungnya cari kerja (uang). Termasuk motif dasar manusia adalah ekonomi.
  2. Kenyataannya, lulus kuliah S1 banyak jadi pengangguran. Tidak tau cara bekerja. Sibuk cari kerja. Bingung memulai usaha.
  3. Maka sejak semester satu, mahasiswa sudah didorong/fasilitasi untuk memulai usaha (start-up) sesuai bakat, minat, bidang ilmu, peluang pasar, potensi sumberdaya alam daerah, target perubahan perilaku masyarakat, atapun karena ingin berkontribusi untuk menyelesaikan sebuah masalah.
  4. Semua ilmu yang diajarkan, selain memahami dunia keilmuan secara umum, juga untuk diaplikasikan guna mengembangkan usaha secara modern dan kreatif.
  5. Tugas akhir mahasiswa lebih diarahkan kepada membuat kajian ilmiah terkait progres usaha yang sudah dirintis, serta prospek pengembangannya ke depan paska lulus kuliah (scale up). Ini sesuai perintah Tuhan, katakan (tulis) apa yang kau kerjakan. Bukan apa yang tidak engkau kerjakan: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan (menulis) sesuatu yang tidak kalian kerjakan” (QS. As-Shaff: 2).
  6. Kalau pun ada yang ingin membuat skripsi, alias mengkaji fenomena keilmuan di luar sana, juga dibolehkan. Sebab, ada juga yang suka mengkaji-kaji urusan dan masalah orang, bukan mengurus dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh usaha/organisasinya sendiri. Atau setidaknya dalam konteks saling menasehati, ok lah.
  7. Kalau mau belajar menulis ilmiah secara lebih mendalam, mampu membuat artikel berskala scopus dan sebagainya, dipersilakan lanjut ke S2 dan S3. Untuk level S1 haruslah menjadi lulusan yang “siap kerja”. Dalam arti, siap dipekerjakan di tempat orang (tapi daya serap industri sangat terbatas). Bahkan lebih penting lagi, sudah punya dan siap menjalankan usaha sendiri. Mandiri.

Menurut kami, ini namanya pendidikan berbasis karakter dan kompetensi. Ilmu yang diajarkan langsung aplikatif sejak semester pertama bagi pengembangan industri yang dirintis oleh masing-masing mahasiswa. Bukan dihafalkan dulu selama 4 tahun, kemudian disuruh cari kerja atau membuka usaha. Sudah telat.

Karakter leadership harus terbangun sejak dini, saat ia memulai usaha diawal jadi mahasiswa. Pelajari sirah Nabi bagaimana ia belajar sambil bekerja. “Learning by doing.” Pelajari juga bangsa Cina, yang mengajari anak ilmu dagang sejak dini. Kita, di Indonesia, lulus kuliah tidak punya usaha dan bingung bagaimana cara memulainya. Akhirnya ikut lagi pelatihan-pelatihan softskill. Buang-buang waktu saja. Softskill itu sebenarnya kan untuk mereka yang putus sekolah. Sementara saat kuliah, itu seharusnya sudah dipelajari semua.

Dengan demikian, tamat kuliah, usaha mikro kecil yang sejak semester pertama dirintis sudah “naik kelas”. Dengan pola pendidikan seperti ini, semua mahasiswa lulus dengan status sebagai “pengusaha”. Masalah mereka kemudian ingin bergabung dengam sektor politik, pemerintahan dan lainnya; itu hanya pilihan dan peluang lainnya, bukan lagi tujuan utama.

Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Universitas justru menjadi suplier pengangguran. Mahasiswa lulus dengan status pengangguran, yang semakin hari semakin bertambah. Risih juga kita tiap tahun membaca berita: “Universitas A Tahun ini Mewisuda Sekian Ribu Sarjana”. Sebab, kata-kata “sarjana” adalah nama lain dari “pengangguran terdidik”. Seharusnya, kedepan, berita yang muncul adalah: “Tahun ini universitas kami mewisuda sekian ribu pengusaha”.

Kita khawatir, meskipun problemnya sudah terang benderang, sektor pendidikan sulit sekali diubah. Seolah-olah seperti “dijaga” untuk tidak signifikan berubah. Agar bangsa ini tetap menjadi pasar yang konsumtif, bukan menjadi pelaku ekonomi yang produktif.

Itu sekilas yang kami tulis dalam https://saidmuniruddin.com/2019/10/28/revolusi-pendidikan-dan-kewirausahaan/

Jokowi terlihat merespon dunia pendidikan yang kacau ini dengan memerintahkan Mendikbud untuk menata kembali kurikulum: https://tekno.tempo.co/read/1266922/jokowi-minta-nadiem-rombak-kurikulum-besar-besaran

Rektor termuda di Indonesia, Risa Santoso, juga punya pikiran serupa. Ia mempersilakan mahasiswa lulus dengan alternatif menulis selain skripsi, dan dibolehkan Dikti: https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/08/150900965/rektor-termuda-risa-santoso-bolehkan-mahasiswa-lulus-tanpa-skripsi-ini

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

TERTANGKAPNYA CUT NYAK DHIEN

Sun Nov 10 , 2019
TERTANGKAPNYA […]

Kajian Lainnya