MENGENAL “MALAIKAT”

image: Angel in a Mughal miniature, in the style of Bukhara, 16th century (Wikipedia, “Angels in Islam”)

Mengenal “Malaikat” 
Oleh Said Idris Athari Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Baiklah. Kali ini kita kembali membuka sedikit rahasia Tuhan. Setelah menguraikan kemanunggalan semesta dalam perspektif saintifik dan tasawuf, kita akan bahas keberadaan para malaikat (co-creator) serta peran orang-orang suci ini dalam menata dunia. Saya tidak menyarankan artikel ini dibaca anak-anak. Mereka cukup dihafalkan nama 10 malaikat dengan tugas-tugasnya. Tapi, bagi anda yang sudah dewasa, sudah saatnya memiliki pemahaman advanced tentang eksistensi makhluk yang tercipta dari “nur” ini.

Kemanunggalan wujud

Kemanunggalan manusia dengan alam dan Tuhan, baik dari sisi eksistensi (wujud dhahir) maupun esensi (wujud batin), bukan hayalan Ibnu Arabi, Mulla Sadra, atau ahli tasawuf lainnya. Saintis modern pun memberi pengakuan serupa. Salah satunya David Bohm, fisikawan ternama, kolega Albert Einstein di Princeton.

Sebelum kematiannya pada 1992, ia meninggalkan dua karya mencerahkan yang menjadi rujukan dalam melihat hubungan semesta dengan manusia. Publikasi ini dapat dibaca dalam “Wholeness and the Implicate Order”, London: Routledge & Kegan Paul, 1980. Juga dalam “Science, Order and Creativity”, New York: Bantam Books, 1987.

Memang ia tidak pernah membahasakan Tuhan dalam penelitiannya. Namun observasinya membuktikan kesatuan dari seluruh dimensi yang ada: materi dengan immateri, yang nampak dengan yang tidak nampak. Semuanya, ternyata menyatu. Esensinya Esa. Meskipun secara kasat terlihat terbagi-bagi.

Ia mengibaratkan alam semesta ini seperti arus yang mengalir. Bayangkan kolam, sungai, atau laut. Di dalamnya terlihat ada pusaran, riak, gelombang, percikan dan lainnya yang terus berubah. Semua ini secara “lahiriah” terlihat seperti pola, unit, atau struktur yang terpisah. Padahal, semuanya terkait erat dan saling terkoneksi. Artinya, mereka tidak punya eksistensi independen. Semua berada pada satu bidang yang sama. Perbedaan-perbedaan itu hanya ilusi keterpisahan (independensi relatif). Pada hakikatnya mereka semua yang masing-masing terlihat punya gerak tersendiri, adalah satu. Kesatuan semua wujud ini diikat oleh sebuah matriks energi kosmik yang sangat agung.

Pada kesempatan lain, Bohm malah menyimpulkan, bahwa dunia yang nampak ini adalah pancaran (proyeksi) dari dunia lain yang tidak terlihat. Ia gambarkan semesta ini sebagai hologram kosmik, saling terdistribusikan namun tidak terpisahkan. Dalam bahasa agama, dunia ini sudah punya bentuk awal di dunia ruh. Berbeda, tetapi tidak terpisah. Lahir dan batin, itu satu.

Kemanunggalan manusia dengan realitas immateri yang menjadi misteri dibalik semua fenomena alam, juga disampaikan John Wheeler, rekan Einstein lainnya di Princeton University (“Synchronity: The Bridge between Matter and Mind”, New York: Bantam Books, 1987). Alih-alih melihat manusia sebagai makhluk terpisah dan berdiri sendiri, ia justru membuktikan sebaliknya. Manusia satu kesatuan dalam segalanya. Kalau selama ini dianggap ada “jarak” antara manusia dengan Tuhan (sebagaimana pemahaman kaum teolog), ternyata kita justru “partisipan” yang bersama-sama dengan Tuhan ikut berkreasi (menciptakan). Kita memang bukan Tuhan. Tapi, seperti kata Rumi: “kita sedang berenang dalam samudera Ilahi.” Kita justru ada di dalam dan bersama-Nya.

Semua penjelasan ilmiah ini terkait dengan ayat-ayat: “Kepunyaan Allah timur dan barat” (QS. Al-Baqarah: 142); “Kemanapun engkau menghadap disana ada Wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115); “Dia lebih dekat dari urat lehermu” (QS. Qaff: 16), “Dia bersama kamu dimanapun kamu berada” (QS. Al-Hadid: 4); “Yang awal dan akhir, yang dhahir sekaligus batin” (QS. Al-Hadid: 3); dan lainnya.

Temuan-temuan fisika quantum ini semakin mengukuhkan ketauhidan sufi. Hanya saja, orang-orang terlalu awam untuk memahami konsep-konsep klasik Ibnu Arabi. Wahdatul wujud sulit dimengerti. Selama ini hanya ada penjelasan falsafi. Tanpa pembuktian saintifik. Atau mungkin perang pemikiran antara kalam dengan tasawuf tidak pernah usai.

Memang tidak mudah membawa manusia kepada kesadaran tauhid yang integral atau serba meliputi (manunggal). Cara berfikir kita dipengaruhi oleh sekat-sekat (hijab) psikologis, suka melihat sesuatu secara terpisah. Padahal, jika kita mau terbang sebentar saja ke atas, partikularitas akan lenyap dalam kemanunggalan. Segala sesuatu terlihat satu.

Jadi, apa yang harus kita lakukan agar memiliki kesadaran yang lebih esensial?

Jika Bohm dan Wheeler menawarkan up-grading pemahaman saintifik guna memahami kemanunggalan sisi kasat/sekala (explicate) dengan sisi tidak kasat/niskala (implicate) alam semesta; tasawuf menawarkan up-grading pikiran atas sadar (mind/soul) untuk merasakan pengalaman menyatu dengan jiwa kosmik (al-Ruh al-Ilahi).

Sesungguhnya kita semua berasal dari “diri” atau jiwa kosmik yang sama. Kita bisa kembali kesana. Justru silaturahim dengan seluruh elemen ekologis dan kemanusiaan akan terbangun jika kita berada pada kesadaran tauhid yang seperti itu. Kita akan melihat alam semesta dan seluruh isinya sebagai pasangan, sebagai bagian dari diri kita sendiri: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu..” (QS. An-Nisa: 1).

Itulah kesatuan wujud. Sehingga tidak heran, sosok-sosok yang telah mencapai pencerahan seperti ini, para rasul misalnya, memiliki sifat raufurrahim yang sangat tinggi: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah: 128). Mereka itu ibarat matahari, yang tidak pernah berhenti menyinari seluruh manusia. Sosok-sosok ini berasal dari “kaummu” sendiri. Bukan dari suku Arab an sich! Tapi dari jiwamu sendiri. Dari kosmik yang sama.

Co-Creator dan Kesadaran Kosmik

Karena pusat jiwa alam semesta ini bersifat immateri, maka diperlukan metode “peleburan diri” (quantum batiniah) untuk bisa larut bersamanya. Tentu harus dengan bimbingan seorang supervisor yang berpangkat jibril. Sehingga, praktik irfan (tariqah) sejauh ini terbukti menjadi satu-satunya metodologi yang mampu membawa manusia berada dipuncak kesadaran kosmik yang “serba meliputi” (sidrah almuntaha).

Kesadaran kosmik ini berhasil dicapai oleh sebagian manusia. Orang-orang ini berhasil menghubungkan dirinya dengan “otak” (jiwa atau pusat kesadaran) alam semesta. Jiwa rendahnya mampu disatukan dengan kesadaran kosmik yang sangat tinggi (al-Ruh al-Muhammadi). Atas prestasinya ini, mereka kemudian disebut sebagai nabi (serta imam atau wali-wali). Kesadaran orang-orang ini adalah pancaran (tajalli) dari kesadaran Ilahi. Mereka mampu mengakses informasi kosmik (wahyu/ilham) secara baik. Oleh sebab itu, mereka bisa berbicara atas nama Tuhan.

Karena sudah menyatu dengan kesadaran ilahiyah, mereka menjelma menjadi “Rasulullah”, “Kalimatullah”, atau “Ruhullah” (QS. An-Nisa: 171), “Khalilullah” (QS. An-Nisa: 125), “Habibullah”, ataupun dibanyak ayat lainnya disebut “Waliyullah”. Mereka menjadi co-Creator. Wakil Tuhan. Bahkan sama berkuasanya dengan Tuhan. Qudrah iradah Allah termanifestasi dalam niat dan gerak mereka. Apa yang terlintas dalam kesadaran mereka akan berubah menjadi kenyataan. Kun fayakun. Kehendaknya terkabul. Doanya makbul. Kemarahan mereka akan menjadi malapetaka. Betapa banyak umat yang hancur karena mereka menginginkannya. Hanya dalam sekali “klik”, semua binasa.

Malaikat

Struktur kedirian manusia-manusia kosmik ini terbangun dari kesadaran, kekuatan, ilmu, atau asma yang merupakan “cahaya” Tuhan (nurun ‘ala nurin) itu sendiri. Mereka itulah “malaikat”. Orang-orang ini memiliki ruh yang tidak pernah berhenti bertasbih kepada-Nya. Meskipun fisiknya ada di bumi; mereka ini makhluk “langit” (atau “surgawi”). Kesadarannya sudah lebur (fana) bahkan kekal (baqa) bersama Allah. Fungsi utama mereka adalah khalifatullah, yang bertugas menebarkan rahmat, menata dan memelihara jagat raya. Sehingga doa (kesadaran utama) para nabi dan wali-wali termasuk menolak bala, wabah, malapetaka, bencana, kekejian, dan kemungkaran. Selain juga ada yang berdoa untuk kehancuran musuh-musuhnya. Meskipun jumlah malaikat banyak sekali, secara umum ada 10 fungsi kekuatan malakut. Ini sering dibahasakan dengan “10 jenis malaikat”. Malaikat-malaikat ini juga bergelar ‘alaihissalam (Jibril AS, Izrail AS, dan sebagainya). Sebuah kode agar kita paham siapa mereka.

Jadi, jangan terlalu berhayal bahwa malaikat itu semacam perempuan cantik yang melayang-layang. Ataupun makhluk bersayap yang pahatannya sering kita temukan di dinding-dinding gereja. Kita suka sekali berimajinasi. Bahkan Buraq pun kita bayangkan dalam rupa semacam itu. Kalaupun ada riwayat tentang malaikat sebagai makhluk yang “sayapnya” terbentang dari timur ke barat, atau meliputi langit dan bumi; mungkin kita perlu sedikit lebih cerdas dalam memahaminya. Itu metafora tentang kesadaran kosmik para co-creator, para nabi dan wali (penolong-penolong Allah) yang ilmu dan kesadaran celestial-nya serba meliputi. Manusia-manusia berdimensi malakut ini bahkan memiliki kecepatan ‘terbang’ melebihi kekuatan cahaya. Mereka sering tau, mampu mengakses, apa yang akan terjadi dimasa depan. Itulah yang disebut kasyaf.

Karena itulah, dalam proses penciptaan, Allah sering menggunakan kata “kami”. Dia tidak sendiri. Dia bersama elemen malakut-Nya menjadi penentu eksistensi alam ini. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis qudsi: “Laulaka laulaka, ma khalaqtul aflaq”. Kalau bukan karena engkai wahai (nur) Muhammad, tidak kuciptakan alam semesta. Nur Muhammad adalah elemen malakut (co-creator), jiwa kosmik, Ilmu atau Asma Allah yang senantiasa hadir dalam jiwa para nabi, iman, dan wali-wali. Sehingga kekuatan-kekuatan supranatural ilahiyah, semacam mukjizat dan karamah, menjadi aktual. Derajat kenabian dan keulamaan seseorang sering dibuktikan dengan keberadaan unsur-unsur malakutiyah ini.

Kalau kesadaran malakutiyah dari kosmos benar-benar aktual dalam diri seseorang, maka ia menjadi “penghulu alam” (The Leader of Cosmic). Menjadi qutub. Menjadi poros alam semesta. Menjadi “tower ilahi”. Menjadi perangkat yang menerima “sinyal-sinyal” langit, lalu menyebarkannya dalam bentuk rahmat ke segala penjuru bumi. Sebab, tidak semua orang punya wadah untuk menerima pesan-pesan kosmik. Gunung yang terlihat kokoh sekalipun bisa hancur kalau diamanahkan Kalimah Allah (QS. Al-Hasyar: 21). Hanya qalbu orang-orang mukmin yang mampu mencerap Kalimah Tuhan yang asli.

Untungnya, dunia ini tidak pernah kosong dari kehadiran orang-orang seperti ini. Sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Jika tidak, pasti akan kiamat. Ibarat masyarakat tanpa pemimpin, pasti anarkhi. Sebab, pemimpin adalah pusat kesadaran dan kepatuhan komunitas. Ada power yang mengikat semuanya. Pun alam semesta, tanpa ada lagi para “malaikat” (para nabi dan wali-wali) yang diamanahkan Tuhan untuk menyebarkan rahmat-Nya, pasti hancur. Sebab, para nabi dan wali-wali inilah yang menjadi wadah bagi Allah untuk “turun” ke dunia. Tanpa adanya lagi “cahaya Tuhan” (para nabi dan wali-wali) , tidak ada alasan bagi kosmik untuk melanjutkan kehidupannya. Sebab, kosmik ini sendiri adalah pancaran dari kehadiran cahaya-Nya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35).

Kehadiran dan kewafatan Muhammad SAW adalah pertanda “akhir zaman”. Namun ada petunjuk lain dari Beliau yang mengatakan: “Dunia ini tidak akan kiamat selama masih ada dari hambaku yang mengucapkan Kalimah Allah”. Kalau sekedar mengucapkan “Allah, Allah”; sampai kiamat tetap ada. Malah makin hari makin ramai yang teriak kalimat syahadat. Namun, yang kalimahnya tersambung ke jantung kesadaran alam semesta hanyalah yang dimiliki oleh para nabi dan wali-walinya. Dzikir kita mana diterima. Hanya membuat gaduh saja. Tapi jangan kecewa. Mungkin ada sosok-sosok wali yang hadir diantara jamaah. Sehingga dzikir kita diterima. Wali itu “malaikat”. Gaib. Tidak ada foto di baliho. Susah diketahui yang mana orangnya. Selama masih ada mereka, kita aman. Tidak akan kiamat.

Lalu, kapan kiamat itu terjadi?

Hadis-hadis menyebutkan, kiamat akan terjadi pada saat “Al-Mahdi” (imam, wali atau qutb terakhir) telah tiada. Meninggalnya Al-Mahdi pertanda terputusnya arus ilahiyah, matinya kesadaran kosmik, atau padamnya cahaya dari alam azali. Wafatnya Al-Mahdi pertanda rubuhnya “tower” terakhir Allah Ta’ala di muka bumi.

Karena tidak ada lagi khalifah atau malaikat-Nya, maka tidak ada lagi alasan bagi alam semesta untuk eksis. Semua mati, karena “arus” sudah terhenti. Sebagaimana janji Allah dalam hadis qudsi diatas: Laulaka laulaka ya Muhammad, ma khalaqtul aflaq. “Tidak eksis alam semesta ini, kecuali karena engkau wahai (nur) Muhammad”. Al-Mahdi, siapapun dia, adalah sosok kesadaran kosmik, imam, wali, atau qutb terakhir yang mewarisi (nur) Muhammad. Maka wajar orang-orang khawatir jika ada ulama yang meninggal. Sebab, ada dari sebagain ulama itu yang boleh jadi seorang “washilah”, pembawa Pengetahuan dari alam rabbani. Penyambung lidah Tuhan dengan manusia. Simpul energi. “Tali” yang menghubungkan manusia dengan Tuhan (QS. Aali Imran: 103).

Penutup

Di akhir tulisan ini, kami mengajak kita semua untuk terus meng-upgrade diri. Menaikkan level divinity (ketuhanan) kita. Dari iblis, menjadi binatang, menjadi manusia, menjadi malaikat, dan seterusnya. Itulah yang disebut dengan proses “tazkiyatun nafs” (penyucian diri). Alam ini akan aman dan damai kalau banyak malaikat yang terlibat dalam mengaturnya. Kalau kita jadi iblis, hancurlah semuanya. Karena alam ini butuh energi positif dari Tuhan agar berjalan pada porosnya. Jika tidak, ia akan memberontak. Chaos. Kiamat. Andalah orang-orang yang diutus ke muka bumi untuk amanat suci ini.

Manusia adalah “makhluk makrokosmos”. Makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan Allah (QS. At-Tin: 4). Dalam diri kita menyatu semuanya. Ada unsur cahaya. Ada unsur api. Ada unsur tanah, dan lainnya. Maka jangan meremehkan diri sendiri. Kita bisa menjadi malaikat, bisa menjadi iblis, bisa menjadi binatang, atau bahkan lebih rendah dari itu.

Pilihan terbaik, jadilah malaikat. Sebab, kalau kubilang “jadilah Tuhan”, marah nanti kalian. Oleh sebab itu, “Rajin-rajinlah bertasbih, pagi dan petang”. Agar kalian jadi malaikat. Tapi sesekali perlu diuji. Misalnya, apakah anda sudah jadi Mikail, yang munajat-munajat anda mampu menurunkan hujan saat kemarau melanda. Kalau belum, dzikir lagi!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
powered by PEMUDA SUFI:
Bahagia, Kaya dan Terpelajar.

3 thoughts on “MENGENAL “MALAIKAT”

Comments are closed.

Next Post

SEBERAPA BERPOWER ZIKIR KITA?

Wed Nov 13 , 2019
SEBERAPA […]

Kajian Lainnya