NABI MUHAMMAD SAW DIUTUS UNTUK MEMBUAT PENGIKUTNYA KERAMAT

NABI MUHAMMAD SAW DIUTUS UNTUK MEMBUAT PENGIKUTNYA KERAMAT
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Suficademic 

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kalau cuma sekedar memperbaiki akhlak, tak usahlah diutus para nabi. Saya juga bisa. Semua ustadz, hipnoterapis dan motivator itu kerjaannya. Suruh orang-orang dengar ceramah dan simulasi mereka satu jam, berubah juga perilaku audiennya. Tapi untuk membentuk “kekeramatan akhlak” (makarimal akhlak), itu saya nyerah. Itu wilayah Allah dan Rasulnya.

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk membentuk kekeramatan (makarimal) akhlak (HR. Baihaqi, Ahmad, Bukhari)

Alhamdulillah. Misi Nabi Muhammad SAW sukses. Sebab, masih terus ada dari umatnya yang keramat. Memang itu tugasnya. Memastikan dunia ini terus diisi oleh orang-orang keramat, sambung-menyambung, sampai kiamat. Bukan tugas nabi untuk membuat semua orang berakhlak mulia (karamah). Sebagian besar memang tidak bisa diperbaiki. Tugas nabi hanya memastikan bahwa kontinuitas cahaya Allah terus mengalir sepanjang masa, dari satu dada ke dada lainnya. Itulah mereka para imam, khalifah, ulil amri, ulama, cendekiawan, ideolog, atau wali-wali yang karamah; yang sambung menyambung mewarisi nur-Nya. 

Orang-orang keramat ini bertugas membuat keramat orang-orang yang menimba ilmu darinya. Sebab, kekeramatan inilah warisan para nabi. Dan memang tugas seorang nabi (dan para ulama pewarisnya) untuk membuat keramat perilaku para pengikutnya. Kalau sudah keramat, itu pertanda ajaran nabi sudah menyatu dalam diri kita. Nabi menjadi keramat karena ada entitas Alquran yang asli, yang tidak berhuruf dan bersuara (Az-Zikr) dalam dadanya. Bukan karena ada mushaf Alquran di lemari rumahnya. Itulah pentingnya berguru kepada orang yang tepat, agar mengalir berkah dan kekeramatannya (transfer of ruhani).

Namun ada yang mengatakan, tujuan beribadah bukan untuk mencari keramat. Benar. Itu benar sekali. Sedikitpun tidak salah. Tapi ingat, seperti dikatakan para filsuf:

“Dekat api pasti panas. Kalau tidak panas, itu bukan api. Begitu juga kalau dekat dengan Allah pasti keramat. Kalau tidak keramat, itu bukan Allah” 

Jadi, benar. Keramat itu jangan dicari. Karena itu memang barang yang otomatis muncul kalau kita dekat dengan Allah. Tugas kita adalah berusaha mendekati, taqarrub kepada Allah. Lupakan keramatnya. Fokus saja pada: Ilahi anta maksudi wa ridhaka mathlubi. Beri perhatian pada cara-cara yang benar untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Namun sekali-kali sadarlah. Kalau sudah merasa benar sekali (baik secara fikih atau lainnya), namun tidak muncul keramatnya, itu ada yang salah. Periksa kembali dimana salahnya. Mungkin gurunya tidak keramat. Boleh jadi metodologinya belum lengkap. Atau kitanya yang terlalu batat. Ibarat jeruk. Kalau terlalu asam, berapapun banyaknya gula kita campur, rasa pekatnya tidak hilang. Orang-orang juga begitu, banyak yang susah untuk dibuat jadi keramat. Pada masa Nabi juga banyak yang seperti itu.

Sebenarnya, keramat itu apa sih?

Ah, mudah saja memahaminya. Keramat itu bentuk “ketersambungan” kita dengan Allah. Lihat saja tindak-tanduk (akhlak) para nabi. Apa yang diminta mudah, bahkan langsung dikabulkan Allah. Kalau dizalimi, musuhnya bisa hancur seketika. Kalau susah, pertolongan Allah langsung tiba. Kalau berbicara, itu menjadi kalam Allah. Pandangannya kasyaf (visioner). Kalau keliru dalam berperilaku, langsung ditegur Allah. Ada Ruh Suci yang senantiasa membimbing gerak-gerik mereka. Makanya dilabeli “orang suci”, maksum. Namun jangan dikira dengan keramat hidup mereka jadi ‘mudah’. Mereka paling berat menanggung penderitaan. Paling banyak cobaan. Makin dekat dengan Allah, makin berat tugas. “From great power comes great responsibility”, kata anak muda di film Spiderman.

Untuk dekat dengan Allah, mereka rutin menjalani proses kuantumisasi jiwa (training peleburan diri). Itu penyebab akhlak mereka begitu powerful, mulia atau karamah. Karena selain akalnya dicerdaskan Allah, mereka juga connect dengan petunjuk, ilham atau hidayah. Gerak-geriknya dituntun langsung oleh Allah. Itulah makna “akhlak”, istilah lain dari “khalik”. Berakhlak artinya menjadi bagian dari sang Khalik. Itulah karamah, menyatu atau diterima disisi Allah. Akhlak seperti inilah yang menjadi modal dasar perjuangan. Sehingga kekuatan Tuhan (atau malaikat-Nya) senantiasa hadir dalam semua dimensi sosial, bisnis, politik dan kemasyarakatan.

Umat Islam jangan lagi menjadi buih. Terombang-ambing, diseret kesana-sini oleh berbagai kekuatan lain yang ada di dunia. Kita harus punya qudrah iradah, power, atau bentuk-bentuk jiwa (akhlak) yang merupakan perwujudan dari Asma-Nya; yang mampu mengaktifkan tombol “kun fayakun”. Kekuatan inilah yang bisa membuat kita menjadi “wakil Tuhan” (co-creator) untuk membuat perubahan dan memberi warna bagi dunia. Tidak mungkin menjadi khalifah Allah tanpa memiliki seperangkat kekuatan dari-Nya.

Jadi, awaluddin makrifatullah. Modal awal hidup sukses adalah memiliki Allah. Kalau benar-benar makrifat, pasti keramat. Ada hadis yang berbunyi: Takhallaqu bi akhlaqillah (“Berakhlaklah dengan akhlak Allah” – HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Itu bahasa lain dari: “milikilah powernya Allah”. Itulah hebatnya bertuhan jika dilakukan dengan metodologi yang benar. Kita bisa meminjam power (akhlak/keramat) Sang Khalik.

Kalau cuma sekedar ingin baik akhlak, tanpa unsur keramat, tidak usahlah capek-capek jadi orang Islam. Tak usahlah shalat dan puasa. Dengan menjadi ateis juga bisa. Pun banyak orang kafir yang indah sekali akhlaknya, tanpa perlu susah payah beribadah. Tapi apakah mereka bisa berjumpa, tersambung dan diterima kehadirannya disisi Allah? Itu pertanyaannya. Kita juga begitu. Banyak yang baik-baik akhlaknya. Tapi karamahnya tidak ada. Hijab dengan Allah masih banyak.  Rukuk dan sujud kita tidak pernah sampai ke Dia. Sehingga tidak mengalami “kontak” dengan-Nya.

Sebenarnya, potensi ketuhanan sudah ada dalam diri kita semua. Apapun agama anda. Makanya, intuisi untuk berbuat baik pasti ada dalam diri setiap orang. Itu alamiah. Apalagi jika pengetahuan dan kecerdasan akal ditingkatkan, pasti lebih baik dalam memahami sesuatu. Perilaku pun bisa lebih baik.

Namun, kita juga hidup gentanyangan di alam nafsu, jin dan setan. Bahkan sering bersekutu dengan mereka. Maka untuk merdeka dan terintegrasi dengan sang Khalik sebagai sumber akhlak, itu perlu mujahadah. Ada metodologi sufistik khusus untuk itu. Efek dari proses itu melahirkan keramat. Yaitu, ketuhanan dalam diri bukan lagi sebatas potensi. Tetapi aktual adanya.

Untuk itulah para nabi dan wali diutus untuk “menyempurnakan” potensi akhlak agar vibrasinya menjadi nyata. Agar nur yang sudah ada (tapi levelnya masih rendah) ter-upgrade untuk menyatu dengan nurun ‘ala nurin (Cahaya di atas Cahaya). Ilmu etika, adab dan sopan santun secara umum dapat diajarkan dimana-mana dan oleh siapapun. Tapi “kekeramatan akhlak”, itu menjadi wilayah kajian irfan (tasawuf tarekat) dan hanya mampu dibina oleh orang-orang berkapasitas waliyammursyida (Khalifah Tuhan).

Namun, sekali lagi. Jangan cari keramat. Carilah Allah. Kalau ketemu, pasti keramat. Jadi, anda-anda yang belum keramat, jangan suka kali menyesat-nyesatkan orang. Anda sendiri belum sampai kepada Tuhan, tapi sudah menuduh orang lain bid’ah dan sesat. Sementara orang-orang keramat, saya lihat, tidak suka mengkafirkan orang. Itu bentuk akhlak yang mulia. Meskipun kalau sudah keramat semacam nabi, sebenarnya sah-sah saja mengatakan orang lain sesat. Karena ucapan itu juga pancaran dari kalam Ilahi. Tapi dalam konteks sosial kita hari ini, menjaga ukhuwah dan toleransi harus menjadi perhatian bersama. Jangan radikal.

Semoga tulisan ini menyadarkan kita, bahwa tujuan Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia adalah untuk membuat pengikutnya keramat (akhlaknya). Kalau belum keramat, malulah sedikit mengaku-ngaku diri sebagai umat Nabi. Pun bagi kita para ulama dan guru-guru, tugas kita adalah tugas nabi: membuat murid-murid jadi keramat. Namun kita harus mewarisi unsur “nur” untuk mampu melakukan itu. Elemen kerasulan inilah yang langka. Tidak semua kita punya sertifikasi untuk itu. Kalau sekedar mendidik kognisi para murid untuk sadar dan berperilaku baik, itu relatif mudah. Tapi menyucikan ruh mereka sehingga kekeramatan nurullah (akhlakul karimah) hadir dalam jiwa, itu berat.

Sampai disini semoga kita semua sadar. Nabi itu tidak diutus untuk mengajar seperti guru-guru di sekolah ataupun dosen-dosen di kampus. Yang pengajarannya terpusat pada sekian bobot kredit dan mata kuliah. Pun nabi tidak seperti para kiyai dan ustadz, yang polanya mengkaji bab demi bab dari kitab-kitab. Huruf demi huruf, makhraj demi makhraj. Nabi diutus untuk membuat keramat pengikutnya yang terbodoh sekalipun. Karena intinya adalah akhlak (ketersambungan dan kepatuhan kepada Allah), bukan pada ilmu (seberapa banyak konsep tentang Allah).

Percayalah, ini yang hilang dari umat Islam. Yang cerdas banyak. Yang keramat kurang. Pelajarilah sejarah. Telah berlalu begitu banyak rahib dan pendeta pada umat-umat terdahulu, yang sangat menguasai bacaan dan isi Alkitab. Ahli kitab memang. Tapi keramatnya hilang. Semoga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Note: Selain menggunakan kata “makarimal” akhlak, versi lain dari hadis di atas menggunakan “shalihal” akhlak. Keshalihan akhlak juga bentuk dari kekeramatan. Sebab, dalam banyak ayat (misalnya QS. Al-Hijr: 39-40), shalih merupakan derajat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang ikhlas. Yaitu, orang-orang yang batinnya sudah terhubung dengan dimensi malakut dan rabbani, sudah mampu mengusir syaitan (tidak lagi berada pada alam jabarut).
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin
💥 powered by PEMUDA SUFI

3 thoughts on “NABI MUHAMMAD SAW DIUTUS UNTUK MEMBUAT PENGIKUTNYA KERAMAT

Comments are closed.

Next Post

MUSIK ITU HARAM!

Sat Nov 23 , 2019
Musik […]

Kajian Lainnya