
Mengapa Kita Kalah (Lagi)?
Oleh Said Idris Athari Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Mengapa Kita Kalah (Lagi)?”. Penjelasannya begini. Ada, katakanlah, 270 juta rakyat Indonesia yang malam ini duduk menonton pertandingan bola yang ditayangkan langsung dari Stadion Rizal Memorial, Manila. Tentu tidak semua menonton. Saya asumsikan saja full. Semua “sangat berharap” kita menang. Disitulah akar masalahnya.
“Terlalu” berharap adalah mental kalah. Perilaku suka berharap adalah tipologi orang-orang yang lemah. Spirit bahwa “kita lemah” inilah yang terkirim selama 2×45 menit kepada 11 pasukan Garuda yang berlaga di final Asean Games 2019 ini. Jadi, kalah itu sudah ada sejak dalam mental. Bukan dalam mental pemain. Tapi dalam mental kita, para penonton. Jadi, yang membuat tim Indonesia kalah di Filipina adalah penonton. Rakyat Indonesia.
Kita semua punya pengaruh terhadap dunia, terutama melalui “emosi” (doa) yang kita kirim. Jika transmisi doa terjadi secara gundah, apalagi pakek makian alias marah-marah; respon langit akan lemah. Lihat pengemis yang wajahnya pucat tegang, penuh harap. Bahkan ada yang suka mengomel. Tidak ada kekuatan yang ia kirim. Kita ikut lemah. Vibrasinya rendah.
Harusnya bagaimana? Kan sejak awal sudah diajarkan: “ilahi anta maqsudi.” Jangan munculkan motif berlebihan, yang justru melemahkan pencapaian tujuan. Sebagian besar harapan yang kita bangun dalam hidup ini bukanlah doa atau keyakinan. Melainkan ego. Makin besar ego, makin sulit mencapai tujuan. Jadi, buang ‘kepentingan’. Biarkan kebaikan yang bermain. Disitulah keajaiban akan terjadi.
Kita menyebut mukjizat ini sebagai kekuatan “pasrah” yang positif. Bukan putus asa. Melainkan pilihan untuk jadi pemenang dan kita memasrahkan diri kepadanya. Lalu kita amati pertandingan, sambil sesekali berteriak, untuk melihat keberhasilan yang sudah sangat dekat. Kita semua adalah para penonton yang dikelilingi kemenangan. Sedikitpun tidak ada gambaran kita akan kalah. Kita adalah bangsa yang mengundang kemenangan.
“Realitas” (kenyataan) sangat tergantung pada benih prasangka. Kita akan seperti sangkaan kita. Apa yang kita cari (kita bentuk dalam pikiran/jiwa), itu yang akan kita tuai. Maka, jika ingin merubah kondisi, rubah persepsi terhadap segalanya. ‘Tuhan’-kan diri anda. Maknanya, tanam keyakinan, sekaligus rasakan kehadiran Yang Maha Menang dalam setiap gerak kita. Inilah yang disebut “doa yang melampaui kata-kata”. Bukan hanya sekedar percaya. Tapi bertenaga. Inilah kesadaran ilahiah yang menjawab segalanya: “Visualkan secara kuat, pasti terkabul”. Apalagi jika anda temukan frekuensi (wasilah) yang tepat.
Maka, kita jangan lagi menjadi jenis bangsa yang menunggu nasib (hasil) atas perubahan dunia. Kita harus menjadi jiwa-jiwa yang terus mengimajinasikan berbagai kemungkinan terbaik yang akan diterima kaum kita. Kita semua agent of change. Pencipta. “Kun fayakun”.
Ok. Malam ini kita kalah. Dengan demikian, apakah tim Vietnam tadi menang karena 90 juta rakyatnya menonton dengan perasaan sebagai pemenang? Lalu mereka mengirim efek kesadaran itu kepada para pemainnya?
Tidak juga. Sama dengan kita. Rakyat Vietnam juga berharap cemas dan takut kalah. Lihat wajah emosi pelatihnya yang diusir ke luar lapangan diparuh akhir babak kedua. Itu wajah orang takut kalah. Hanya saja, jumlah rakyat Indonesia yang merasa takut kalah jumlahnya 3 kali lebih banyak dari penduduk Vietnam. Artinya, perasaan “was-was” akan kalah yang kita cerap dan kirim ke timnas U23 jumlahnya 3 kali lebih besar dari mereka. Jangan-jangan, itulah penyebab kita kalah 0:3.
Kesimpulannya satu. Kalau ingin memperbaiki Indonesia, termasuk bolanya, yang harus jadi sasaran perbaikan adalah penontonnya. Pemainnya sudah cukup hebat. Energi dari penontonnya yang masih kacau.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
___________________
powered by PEMUDA SUFI:
Bahagia, Kaya dan Terpelajar.