SHAF YANG TAK PERNAH LURUS DAN RAPAT

“shaf yang tak pernah lurus dan rapat” (image: adzkia.net)

Shaf yang Tak Pernah Lurus dan Rapat
Oleh Said Idris Athari Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Shalat memiliki kaidah-kaidah batiniah, melampaui bentuk-bentuk lahiriahnya. Termasuk  pemahaman “shaf.”

Secara lahiriah, yang dimaksud meluruskan shaf adalah meratakan barisan jamaah. Sehingga tidak ada yang terlalu maju atau terlalu mundur, atau menutup adanya celah di dalam barisan tersebut. Ada yang  memahami ini secara ketat  (kaku) sebagai beradunya pundak dengan pundak ataupun tumit dengan tumit. Kita sepakat, kerapian posisi berdiri itu penting. Janganlah amburadul. Antri menunggu tiket bioskop saja harus rapi. Masak barisan shalat lebih buruk dari itu.

Namun, ini bukan persoalan fisik (space efficiency) semata. Ada  petunjuk batiniah maha penting dari perintah berdiri. Apalagi ketika shalat dipahami sebagai media koneksitas (mikraj ruhani) dengan Allah. Maka ada persoalan efektifitas penghambaan (ubudiyah effectivity) atau ketersambungan shaf ruhaniah yang perlu diperhatikan. Dan ini terkait dengan inti shalat, yaitu khusyuk (kerapatan qalbu, meluruskan wajah hanya kepada Allah). Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Hendaknya kalian bersungguh-sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian (HR. al-Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436).

Hadis ini menegaskan, ketika ‘kelurusan’ shaf tidak diperhatikan maka akan terjadi ‘perselisihan’ wajah. Hakikat shalat adalah menghadapkan wajah kepada Allah: inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati wal-ardh hanifan musliman wama ana minal musyrikin. Ini yang harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Shalat harus tegak. Jangan bengkok. Pikiran jangan kosong. Pastikan fokus, lurus hanya kepada Dia. Inilah bentuk shaf ruhaniah,  sebuah bentuk ketersambungan batin kita di jalan yang lurus.

Bagaimana shalat bisa tegak? Bagaimana shaf batiniah bisa lurus?  Bagaimana ruhani kita dapat tersambung dengan Allah? Bagaimana wajah kita bisa rapat dengan Wajah-Nya? Menjawab ini, Nabi SAW memberi isyarat:

أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

“Diserukan iqamat untuk shalat, maka Rasulullah menghadap ke arah kami dengan wajahnya, seraya berkata, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian dan rapatkanlah karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku (HR. al-Bukhari no. 719 dan Muslim no. 434).

Nabi SAW kasyaf (mampu melihat dari belakang punggung). Beliau tau, banyak dari kita yang menghayal dalam shalat. Lalu diberikan isyarat untuk khusyuk. Kunci kehadiran hati adalah dengan menghadirkan wajah ruhaniah Rasulullah.

Kita tidak tau bagaimana Wajah Allah secara Dzati. Namun, wajah Nabi menjadi proxy (rasul/penghubung/frekuensi) bagi kita untuk terkoneksi dengan Wajah Allah. Ada cahaya Allah pada wajah sucinya. Wajah seperti inilah yang ditakuti dan tidak bisa ditiru setan. Allah senantiasa mengirim kepada umat ini orang-orang maksum seperti itu. Wajah mereka menjadi kiblat ruhaniah para salik.

Kita tidak tau wajah nabi. Kita hanya perlu tau wajah pewarisnya. Tentu pewaris yang memiliki kadar kesucian yang mumpuni. Yang wajahnya ditakuti setan. Karamallahu wajhah. Sampai akhir zaman sekalipun, pewarisnya selalu hadir. Tugas kita adalah mencari wajahnya. Menyambungkan batin kita dengannya. Membangun barisan dan merapatkan diri bersamanya. Sosok seperti inilah yang menjadi hakikat dari imam shalat kita. Karena hanya Wajahnya yang karamah (dikenal Allah). Inilah bentuk jamaah serta shaf yang benar. Shaf yang membuat kita terkoneksi dengan Allah. Shaf dan jamaah yang memberi kita pahala 27 kali lipat. Tanpa ketersambungan shaf dengan sanad ruhaniah para imam, mursyid atau waliyullah, vibrasi ibadah kita menjadi sangat rendah.

Jadi, dimensi irfan (tarikatullah) menjadi faktor penyempurna agama. Penyempurna shalat kita. Tanpa ini, ibadah kita akan terhenti pada dimensi fisik yang nilainya rendah. Karenanya Rasulullah SAW mengingatkan pentingnya dimensi shaf yang sangat maknawi ini:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433).

Kita tidak perlu membayangkan rapatnya shaf secara fisik sebagai syarat agar setan tidak masuk mengganggu shalat kita. Shaf secara fisik tidak akan pernah benar-benar ‘lurus’ dan ‘rapat’. Selalu ada celah.  Selalu ada ruang kosong di kiri, kanan, muka, belakang, atas dan bawah. Setan bisa masuk melalui semua sisi. Bahkan ia mampu menembus dinding beton sekalipun. Ia sendiri bahkan bisa masuk dalam jiwa kita. Satu-satunya cara untuk mengusir setan adalah membangun rabithah. Rabithah adalah bangunan shaf ruhaniah. Sebuah metodologi untuk menggabungkan jiwa kita dengan jiwa Sang Imam (Rasul). Hanya shaf seperti itu yang membuat setan tidak berani masuk.

Sekali lagi, tanpa memperhatikan makna batiniahnya maka shaf kita tidak akan pernah sempurna. “Shaf yang tak pernah lurus”, begitu Abuya Sayyidi Syeikh Ahmad Sufimuda menyebutkan, ketika melihat fenomena mengentalnya dimensi lahiriah dari ibadah, tanpa menyelami makna-makna batiniahnya.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
powered by
PEMUDA SUFI:
Bahagia, Kaya dan Terpelajar

Next Post

HAPPY WEEKEND

Sun Jan 12 , 2020
ABANG-ABANG […]

Kajian Lainnya