LAGI NONTON TV ATAU NONTON JOKOWI?

Lagi Nonton TV atau Nonton Jokowi?
Oleh Said Idris Athari Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Suatu hari. Di sebuah warung kopi, di Aceh. Terjadi dialog antara Teungku Wahed dengan Teungku Shufi. Keduanya sedang duduk di depan tv. Kebetulan waktu itu sedang pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI.

Teungku Wahed: “Apa yang sedang kau tonton?”

Teungku Shufi: “Sedang nonton Jokowi”.

Teungku Wahed: “Bukan, kamu bukan sedang nonton Jokowi, melainkan sedang nonton tv”.

Teungku Shufi: “Iya itu memang tv, tapi disitu ada Jokowi”.

Teungku Wahed: “Bukan, yang engkau saksikan itu bukan Jokowi, Jokowi itu yang di Jakarta, bukan yang ada di tv”.

Teungku Shufi: “Iya, tapi yang sekarang terlihat, bergerak dan berbicara di tv adalah dia yang di Jakarta itu juga”.

Debat terus bergulir. Sesekali terlihat Teungku Wahed naik tensi, memukul meja dan menggoyang-goyang kursi.

Kalau boleh kami bertanya: menurut anda, yang sedang mereka saksikan itu apa: (1) murni layar tv, atau (2) wujud/siaran langsung Jokowi, atau keduanya (3) tv sekaligus penampakan Jokowi.

Simpan jawaban anda.

***

Yang Mana Allah, Yang Mana Muhammad?

Perdebatan serupa juga terdapat pada ayat berikut: “.. bukan kamu yang membunuh mereka (hai Muhammad), akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu (hai Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (QS. Al-Anfal: 17).

Siapa yang sebenarnya melempar? Disatu sisi kita tau; tangan Muhammad yang berkreasi, membunuh atau melempar. Disisi lain, ternyata itu Allah yang melakukannya. Bagaimana mungkin itu Allah, padahal Muhammad aktornya. Apakah Muhammad itu sebuah “wadah” yang mengaktualkan wujud/kekuatan Allah? Jadi, yang mana Allah, yang mana Muhammad? Apakah pada diri Muhammad ada Allah?

Dalam tasawuf, fenomena ini melahirkan falsafah kemanunggalan eksistensi: “zahirnya Muhammad, batinnya Allah”. Qul Huwallahu Ahad.

Muhammad sebagai sebuah “tv” sebenarnya tidak punya kekuatan apapun. Ia hanya sebuah wadah kosong. Wujud fisik. Mati. Tidak berpower. Manusia biasa. Basyar. Baharu. Lapuk dimakan waktu. Jatuh sakit. Berdarah kalau disayat. Mati kalau dibunuh. Bonyok kalau dilempari batu. Sama  sekali tidak pantas untuk diagungkan. Tidak suci. Jika disembah, pelakunya akan syirik. “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu..” (QS. Al-Kahfi: 110).

“..tapi dalam diriku mengalir wahyu (QS. Al-Kahfi: 110). Namun ketika sebuah tv menjadi “hidup” (konek dengan arus dari alam rabbani), ia mampu memunculkan sesuatu. Presiden yang maha gaib dan tinggal diujung dunia sekalipun akan muncul pada wadah kecil itu. Suaranya menjadi terdengar. Geraknya menjadi terlihat. Sebuah kotak yang awalnya tidak bernilai, bisa menjadi luar biasa ketika disana hadir gelombang atau sinyal yang paling disakralkan. Muhammad yang sebenarnya hanya anak seorang manusia, menjadi mulia ketika (Dzat/Cahaya) Allah bertajalli disana. Sebagaimana Allah yang Maha Suci, dia pun ikut maksum karenanya. Ia dan orang-orang sepertinya menjadi Ruhullah. Kalamullah. Khalilullah. Habibullah.

Pada setiap kurun dan tempat, Allah memproyeksikan Dirinya pada diri hamba-Nya. Orang-orang seperti ini merupakan wujud “hologram” dari dimensi al-Ilahi. Sehingga, setiap perkataannya wajib diikuti. Semua perbuatannya jadi contoh. Diamnya menjadi hukum. Ada manifestasi sunnatullah (wahyu/petunjuk/ketauladanan) dalam keseluruhan dirinya. Ia punya otoritas untuk memberi syafaat, yang sebenarnya itu adalah haknya Allah. Di tempat-tempat ibadah, namanya paralel dengan nama Allah. Kepribadiannya ditiru habis-habisan. Bukan cuma batiniah akhlak, bentuk lahiriah baju dan jenggotnya juga ditiru. Bahkan ada yang begitu ekstrim “menuhankan” Muhammad. Mereka berani membid’ahkan (menggolongkan sebagai ahli neraka) siapapun yang tidak bersandar pada sunnah makhluk Arab ini. Semua artikulasi keislaman kita menjadi sangat tergantung kepadanya. Allahus shamad.

Muhammad itu adam, manusia biasa. Namun karena mencapai makrifat ketuhanan, ia menjadi wujud luar biasa. Dia memperoleh takzim, ‘disembah’ atau dishalawati oleh kaum alim (malaikat) lainnya. Kecuali yang sombong (iblis). Semua sujud kepada adam bukan karena ia Tuhan. Tetapi para malaikat dan Ruhul Quddus telah ‘turun’ dan bersemayam disana. Telah aktual Nama-Nama (pengetahuan ilahiyah) dalam dirinya. Sehingga ia menjadi “titik koordinat” (kiblat ruhaniah) ketuhanan di muka bumi. Ia menjadi “tower” yang memancarkan energi ketuhanan. Ia memiliki lisensi sebagai “tv” yang memiliki frekuensi langit. Semua menghadap kepadanya. Untuk melihat Jokowi yang kita tidak tau dia entah berada dimana, sebenarnya cukup dengan menghadapkan wajah ke tv (tentu yang ada siaran tentang Dia). Pun untuk ‘melihat’ Allah, dapat dengan merabith wajah ulama (yang ada mukjizat ketuhanan, atau telah baqa dalam channel ilahi). Itulah mengapa nabi SAW berkata: “Sesaat memandang wajah ulama (waliyammursyida), lebih baik dari beribadah 40 tahun (tapi tidak pernah terkoneksi dengan Tuhan)”.

Dengan kesakralan atribut yang dimilikinya, jangan kita menyebut Muhammad sebagai Tuhan. Muhammad al-Akhirin (bin Abdullah) bukanlah Sang Pencipta. Melainkan, Muhammad al-Awwalin itulah (Nur Allah) yang memberi wujud segala eksistensi yang ada. Kemanunggalan dua hal inilah yang menjadikan Muhammad putra Aminah menjadi penghulu alam. Pembawa rahmat. Creator dunia yang berkeadaban. Jangan pula kita seperti segolongan Nasrani yang mengangkat Isa sebagai Tuhan, ataupun anak Tuhan. Tuhan berbeda dengan tabiat biologis manusia. Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Lam yalid wa lam yulad. Esensinya laisa kamislihi syai-un. Wujud hakikinya tidak berbentuk dan bertempat. Tidak ada yang dapat menampung kehadiran-Nya. Semua akan terbakar dengan kedahsyatan-Nya. Matahari saja tidak mampu kita tatap. Apalagi Dia yang maha di atas maha itu.

Namun uniknya, ada orang-orang yang telah menempuh mujahahad yang luar biasa sehingga memiliki infrastruktur ruhaniah untuk terpilih sebagai kekasih-Nya. Qalbu orang-orang ini menjadi platform bagi kehadiran Allah. Dengan demikian menjadi petugas yang menzahirkan keberadaan-Nya. Oleh sebab itu, Muhammad disebut rasulullah. Pembawa wasilah. Utusan, personifikasi Allah. Bukti bahwa Tuhan itu nyata. Aati Muhammadanil washilata wal-fadhilah. Dia menjadi wasilah, imam, atau qutub rabbani yang seluruh makmum sujud ke arahnya (yang hakikatnya adalah sujud kepada Allah).

Dia merupakan representasi Tuhan (khalifah) di muka bumi. Di rumah-rumah ibadah, namanya sejajar dengan nama Allah. Dia mampu berbicara atas nama-Nya. Lisannya makbul. Menyembuhkan. Mendamaikan. Membahagiakan. Bahkan menghidupkan yang mati. Keampunan menyertai orang-orang yang menyebut namanya. Ada fadhilah (keutamaan) ketuhanan yang dia transmisikan kepada manusia. Keislaman kita tidak sah tanpa menyaksikan keduanya: Asyhadu anla Ilaha Illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Kalau sudah begini tentu ia menjadi unik. Tidak ada seorangpun yang setara dengannya. Wa lam yakun lahu kufuan Ahad. 

***

Konten tausiah ini mungkin akan memantik perdebatan. Seperti perdebatan Teungku Wahed dan Teungku Shufi di awal tadi. Tapi setidaknya menambah wawasan kita akan khasanah teologis kaum sufi. Kita tidak bermaksud menuhankan manusia. Dimensi sacred dan profane dalam tafsir mistik surah Al-Ikhlas memang rada-rada polemis. Pola surah menyurah teks klasik hanya mudah dicerna oleh pemilik maqam intelektual menengah ke atas. Oleh sebab itu, antara aspek Dia yang “tidak terjangkau” (transenden) dengan Dia yang “lebih dekat dari urat leher” (immanen) perlu uraian lebih ilmiah. Sehingga mudah dijangkau sekalipun oleh kelas bawah. Maka melalui contoh Nabi Muhammad SAW tersebut, kami telah menjelaskan: bahwa secara saintifik-ontologis, seorang manusia sejati tidak memiliki “jarak” dengan Tuhan. “Ana Ahmad bi la mim”, kata Nabi. Aku Ahmad tanpa huruf mim (Ahad). Tuhan seolah-olah berkata: “Aku ada pada dia”.

Jadi, ketika anda menemukan Muhammad (atau orang-orang yang mewarisi kekeramatannya); apakah anda sedang menatap wajah Muhammad atau sedang melihat Wajah Allah? Apakah Muhammad yang sedang berbicara atau Allah yang sedang berkata-kata? Apakah Muhammad yang melempar atau justru sebaliknya, Allah? Apakah anda sedang menonton tv, atau sebenarnya sedang melihat Jokowi?

Simpan jawaban anda. Jangan buat rusuh di warung kopi!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin
💥 powered by PEMUDA SUFI

4 thoughts on “LAGI NONTON TV ATAU NONTON JOKOWI?

  1. Trims abangda
    Tulisan yg sangat luar biasa
    Izin share bang
    🙏🙏🙏

  2. Tuhan seolah-olah berkata: “Aku ada pada dia”.

    Memang kenyataannya begitu.
    Perbedaannya adalah kerasukan Tuhan atau iblis?
    Pemikiran pemegang alquran kebanyakan beranggapan bahawa segala sesuatu adalah ciptaan padahal segala sesuatu itu adalah Dia.termasuk iblis, saat iblis di suruh sujud (patuh) kepada Adam ,dia tidak mau jadilah dia musuh bagi manusia yaitu hawa nafsu yg ada pada diri manusia sampe sekarang,oleh sebab itu janganlah mengikuti iblis(hawa nafsu) karena engkau akan jadi tuhan di muka bumi ini.jadilah hamba Tuhan yg ada pada dirimu.

    ustadz sayyid habib yahya

Comments are closed.

Next Post

"BEK COK ATA LON"

Fri Feb 7 , 2020
PESAN-PESAN […]

Kajian Lainnya