PANCASILA ITU “SHOLAWAT”

Pancasila itu “Sholawat”
Oleh Said Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Banyak dari kita terlihat linglung, seperti kehilangan relasi antara agama dan negara. Seolah-olah, Islam dan Pancasila dua hal berbeda. Kali ini, melalui tafsir sufistik, kami akan membuka sedikit ‘rahasia’ tentang Pancasila. Sehingga kita semua akan paham, bahwa Pancasila merupakan formalisasi sholawat dalam bernegara, dan ini menjadi dasar bagi spiritualitas Indonesia.

Kepada siapa kita bersholawat?

Tentu kepada orang-orang yang kita diperintahkan Allah untuk bersholawat kepada mereka. Kepada Nabi dan Keluarganya. Bahkan juga kepada para sahabatnya. Dalam bentuknya yang paling utama, ambil bacaan setelah tasyahud dalam tahiyyat shalat anda: “Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad”.

Pada setiap sholat, kita bersholawat kepada Muhammad dan Keluarganya. Sejak kecil kita sudah dihafalkan bacaan ini. Bersholawat kepada Nabi dan Keluarganya merupakan pokok dari ajaran esoteris keislaman. Untuk itu, orang-orang ini harus dimakrifati. Harus dikenal. Karena ada pesan universal untuk seluruh umat manusia di sepanjang zaman.

Siapa Keluarga Muhammad SAW? Perdebatannya panjang. Ambil saja pendapat jumhur ulama. Apalagi di nusantara yang mayoritasnya Sunni, imam Syafi’i menyebutnya: Muhammad, Fatimah, Ali, Hasan dan Husein. Khususnya warga NU di Indonesia, mereka lebih mengenal nama-nama ini daripada anak-anak mereka sendiri.

Pancasila adalah lima butir sholawat. Lima nama suci, lima spirit yang menjadi dasar negara kita.

1. Muhammad: “Ketuhanan yang Maha Esa”

Muhammad itu simbol “ke-esa-an” Tuhan. Syahadat kepada Muhammad adalah bagian dari syahadat kepada Tuhan. Muhammad merupakan tajalli (teofani), representasi dari yang “Ahad”. Bahkan beliau sendiri mengatakan, “Ana Ahmad bi la mim”. Aku ini “Ahmad” tanpa huruf “m” (Ahad). Sehingga, semua ucapan yang keluar dari lisannya adalah wahyu (kalam Tuhan). Semua gerak-geriknya bernilai suci (maksum), menjadi tauladan agung, hadis.

Oleh sebab itu, bernegara yang baik dan benar, berpunca pada keterintegrasian kita dengan Tuhan yang Esa. Sehingga, semua gerak bernegara, hakikatnya adalah gerak madaniyah ketuhanan itu sendiri. Tanpa vibrasi ketuhanan dalam setiap pola pikir dan tindakan; nafsu dan akal rendahlah yang akan mengambil alih kepemimpinan. Sila pertama pada hakikatnya mensyaratkan “teokrasi” dalam gerak politik dan pembangunan negara. Seorang pemimpin harus dekat dengan Tuhan. Sehingga tidak dipecundangi oleh kekuatan ‘asing’, atau kekuatan-kekuatan setan. Masyarakat Indonesia harus memiliki nilai-nilai makrifat kepada Allah sebagai syarat untuk menjadi negara makmur yang diridhai Allah.

2. Fatimah: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”

“Fatimah” artinya “lembut”, “menyenangkan”, atau “menawan”. Pada kata Fatimah terkandung semua makna terindah dari adab, perilaku kemanusiaan. Sila kedua Pancasila memiliki unsur feminin ini, yang menjadi akhlak utama dalam berinteraksi dengan semua ras dan golongan. Rasisme dan ekstrimisme, baik terhadap agama maupun suku lainnya, muncul akibat absennya unsur-unsur keadaban tersebut. Dengan demikian, tauhid yang benar pasti melahirkan manusia-manusia yang bertindak adil serta beradab. Fatimah, yang disebut sebagai “sayyidah an-nisa al-‘alamin” adalah cerminan agung dari sifat-sifat ini. Maka, bernegaralah dengan karakter yang indah tersebut. Berperilaku baiklah, agar kita terhindar dari sifat-sifat korup.

3. Ali: “Persatuan Indonesia”

Salah satu tugas paling berat dalam politik adalah menjaga persatuan. Semua orang punya ego. Setelah kalah dalam berkompetisi, sekelompok orang ada yang berupaya menyusun kekuatan untuk membuat kegaduhan. Membuat organisasi tandingan. Melecehkan. Menebarkan hoaks. Kalau sudah kalah, atau dikalahkan, biasanya sulit untuk move on. Tapi berbeda dengan figur Ali bin Abi Thalib kwh. Anda boleh setuju atau tidak. Sejarah yang membelah dunia Islam pangkalnya adalah sejarah kepemimpinan. Ada kelompok yang menyatakan Ali sebagai pengganti Nabi. Ada juga yang mengatakan sahabat lainnya. Semua ini membentuk entitas “Syiah” dan “Sunni”.

Namun baik dalam literatur Syiah maupun Sunni disebutkan; bagaimana Ali harus ‘lapang dada’ menerima, bahwa bukan dirinya yang duduk sebagai khalifah. Alih-alih membuat perlawanan, ia memilih mendukung membesarkan pemerintahan dan agama yang usianya masih sangat muda. Karakter leadership seperti ini sangat dibutuhkan pada situasi tertentu, khususnya dalam sistem demokrasi yang kacau balau seperti yang kita alami. Para politisi kita harus lebih dewasa. Harus berjiwa besar untuk mendukung siapapun pemenang, meskipun itu lawannya. Harus rekonsiliasi. Demi Indonesia. Demi bangsa.

4. Hasan: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”

Negara ini tidak dibangun dengan cerita-cerita enak. Tapi dibangun dengan politik. Yang penuh tensi dan intrik. Semuanya tentang kuasa. Bahkan saling tusuk sesama saudara. Sejarah awal Islam juga begitu. Perang saudara acap terjadi. Pun sesama sahabat dan murid-murid yang dididik Nabi SAW. Sampai ketika Hasan memegang tampuk kepemimpinan, serangan masih terjadi. Muawiyah pelakunya. Kedua mereka memiliki barisan pendukung dari suku dan agama yang sama. Konflik berdarah yang begitu melelahkan membuat Hasan memilih menawarkan solusi yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Ia bermusyawarat, menyerahkan kuasa sementara kepada oponennya. Dengan syarat, setelah itu, kepemimpinan dikembalikan kepada umat. Suara umat yang menentukan siapa yang kemudian pantas jadi pemimpin mereka. Dia mundur selangkah untuk sebuah cita-cita yang besar. Ini skema perdamaian yang sangat terkenal dari sosok Hasan.

Tapi, anda tau sendiri. Politik tidak seluruhnya tentang kejujuran. Politik itu, bagi sebagian orang, tentang kelanggengan kekuasaan. Muawiyah tidak menyerahkan kekuasaan kepada rakyat. Ia menyerahkan kuasa kepada anaknya. Lahirlah dinasti. Autokrasi. Tapi dari perilaku Hasan kita belajar, interestnya terhadap rakyat telah diperlihatkan dari kebesaran hatinya dalam bermusyawarah. Kalau anda benar-benar pengusung nilai-nilai syura dan demokrasi, sebaiknya anda banyak belajar pada sosok luhur cucu Nabi SAW ini.

5. Husein: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

Tugas negara melakukan amar makruf. Memberi keadilan bagi kehidupan sosial rakyatnya. Menurunkan angka kemiskinan. Membuka kesempatan kerja. Meningkatkan jaminan kesehatan, kualitas pendidikan, infrastruktur dan lainnya.

Terkadang hal ini tidak serius dilakukan. Maka bernegara tidak selalu tentang bagaimana kita harus legowo dipimpin oleh orang-orang bakhil. Ada situasi yang mensyaratkan anda untuk tetap berfikir kritis. Melakukan tindak pencegahan, perlawanan dan protes. Ini disebut nahi munkar. Dalam bahasa lebih keras dinamai “jihad”. Penegakan keadilan. Bersungguh-sungguh untuk memperbaiki kondisi sosial, sekalipun dengan darah dan nyawa.

Saya tidak merekomendasikan “pemberontakan”. Meskipun dalam sejarah Republik ini sudah banyak yang melakukan itu. Jang jelas, posisi check and balances tetap diperlukan. Suara dan gerakan untuk meluruskan kekuasaan yang korup wajib ada. Konon lagi, ketika negara dikuasai oleh segelintir politisi, yang terlihat seperti tidak berhenti menjarah negara. Juga oleh sejumlah korporasi yang menguasai jutaan hektar tanah dan kekayaan alam. Konon lagi, negara ini dibangun dengan darah syuhada. Yang dilawan itu kaum kuffar. Kolonialisme. Korporasi kapitalisme. Orang yang pura-pura bertuhan. Baik dalam wajah asing maupun predator lokal.

Namun ingat. Ini adalah arena dimana anda, bisa-bisa, mati syahid. Yang anda lawan itu kekuasaan, yang terkadang akan melakukan apapun untuk membungkam suara-suara kritis. Munir tewas karena ini. Juga banyak pemimpin kharismatik dunia ditekan, diembargo, dihabisi karena usaha-usaha ini.  Di atas itu semua, Husein adalah simbol global dalam dunia Islam terkait perlawanan terhadap kedhaliman yang berkedok agama maupun demokrasi.

Negara ini milik siapapun yang bershalawat. Tidak mesti muslim. Tapi juga milik mereka yang menghargai nilai-nilai universal keadilan dan kemanusiaan. Baik Kristen, Hindu, maupun Budha; didirikan oleh figur-figur suci yang menyuarakan keagungan lima nilai ini.


Jadi, bernegara yang baik dan benar adalah “Berpancasila”. Dalam spiritualitas mayoritas muslim di Indonesia disebut “Bershalawat”. Yaitu, tauhid wal makrifat; adab/akhlak dan keseimbangan jiwa; menjaga persatuan; memiliki nilai-nilai demokratis dalam mengutamakan kepentingan publik; serta aktif memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima nilai ini dapat disederhanakan menjadi “5K”: Ketauhidan, Kemanusiaan, Kesatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Ketauhidan dan kemanusiaan merupakan bentuk kesalehan “individual” (personal competence) seorang warga. Seseorang mesti bertuhan, dan dari itu lahir moral dan etika relijius atau akhlak yang terpuji. Dari dasar ini kemudian dibangun kesalehan “sosial” (social competence). Dimulai dari kesediaan membangun kehidupan bersama (kesatuan), mengembangkan sistem komunikasi dan aspirasi (kerakyatan), dan puncaknya adalah kemauan untuk mewujudkan cita-cita sosial bagi semua (keadilan).

Semua sila ini representasi dari 5 elemen shalawat, 5 figur universal dari Islam. Teks Pancasila harus bernilai “suci”. Sebab, ideologi yang efektif tidak sebatas formulasi sebuah teori. Ia harus menjadi jelmaan dari figur-figur teladan. Ada patron spiritual dari gerak. Disinilah letak kesakralan Pancasila. Kalau tidak, ia akan menjadi teks kering. Basi. Tidak keramat. Tidak sakti.

Negara tanpa “shalawat” pasti hancur. Korup. Maka, kalau ingin maju, kita harus kembali ke spirit ini. Sebab, negara kita luas. Sumberdaya melimpah. Penduduk banyak. Partai-partainya hebat. Pun orang-orang yang cerdas dan paham agama sudah melimpah. Tapi yang kurang spiritualitasnya. Spirit ketuhanan dan ideologi kemanusiaan yang otentik; itu yang mulai hilang.

Maka kalau ada yang bingung, bagaimana cara yang tepat untuk merayakan hari kelahiran maupun hari kesaktian Pancasila, jawabannya: “Perbanyak sholawat”. Yang anda butuhkan, sejatinya adalah figur ketauladanan. Yang sakti bukan simbol Garuda Pancasila (disebut-sebut sangat mirip dengan simbol Kerajaan Pasai, Aceh) yang dirumuskan Syarif Abdul Hamid Alkadri, salah satu keturunan Ahlul Bait Nabi yang pernah berkuasa di Pontianak (1913-1978). Melainkan sholawat-nya. Yang kita hormati, bukan benda mati. Tapi spirit hidup dibelakang burung itu. NKRI yang asli (yang fisiknya makmur dan sejahtera) adalah perwujudan dari ruh tersebut. Seperti kata WR. Supratman, “Bangunlah jiwanya”. Indonesia Raya dibangun melalui proses internalisasi dari butiran sholawat. Melalui keterhubungan kita dengan yang sakral (sacred). Melampaui profanitas simbol bintang, rantai, pohon beringin, kepala banteng, dan padi kapas.

“Garuda Samudera Pasai”

Terakhir. Siapapun yang telah membaca tulisan ini, saya nyatakan anda “sudah tamat bernegara”. Anda sudah berada di puncak pemahaman tentang (kesakralan) Pancasila. Sesuatu yang membuat NKRI layak diberi “harga mati” dan berhak mendapat “pahala syahid” dalam membelanya. Sebab, Pancasila adalah wasilah dalam bernegara. Pokoknya, ingat Pancasila, Sholawat!

BACA JUGA: “Spiritualitas Merah Putih”.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

3 thoughts on “PANCASILA ITU “SHOLAWAT”

Comments are closed.

Next Post

WE MOVE!

Tue Jun 2 , 2020

Kajian Lainnya