TEUNGKU SYIAH KUALA DAN SYEKH NURUDDIN AR-RANIRY BERGURU PADA DUA HABIB INI

Teungku Syiah Kuala dan Syekh Nuruddin Ar-Raniry Berguru pada Dua Habib ini
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Adalah Syeikh Abdurrauf bin Ali Al-Fansury (1615-1693 M) dan Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani bin Ali Ar-Raniry (1500an-1658 M). Kedua “profesor” ini memiliki kontribusi dalam berbagai bidang ilmu. Mereka menjadi rujukan banyak ulama di Nusantara dan Asia Tenggara. Ketokohan mereka diabadikan menjadi nama dua perguruan tinggi negeri di Darussalam, Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry.

Tidak banyak yang mengetahui. Bahwa kedua ulama klasik paling populer di Aceh dan Nusantara ini, punya sanad sufisme secara langsung kepada Habaib. Sebagaimana terekam dalam manuskrip lembaga sejarah Islam dan nasab “Asyraf Aceh” (2020). Mereka berdua merupakan murid dari dzuriyat Ahlul Bait, kalau di Aceh sering dipanggil dengan sebutan Teungku Sayid atau Habib.

Pertama, Syeikh Abdurrauf bin Ali Al-Fansury. Dikenal dengan Teungku Syiah Kuala. Ia murid langsung dari Sayyid Syeikh Ahmad Al-Qusyasyi (1583-1661 M). Syeikh Abdurrauf bin Ali Al-Fansuri mendapatkan sanad Tarekat Syattariyah dan Tarekat Qadiriyah dari gurunya yang berdomisili di Madinah ini.

Secara nasab, Syeikh Qutub Rabbani Sayyid Ahmad Qusyasyi bin Muhammad Al-Qusyasyi Ad-Dajani adalah golongan Ahlul Bait yang nasabnya kembali kepada al-Imam as-Sayyid Zaid bin Ali Zainal Abdin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (salam dan ridha Allah atas mereka semua). Keluarga Ad-Dajani berasal dari Kampung Dajaniyah (sebuah kampung dekat dengan Jerussalem), Palestina.

Bersama ayahnya, Sayyid Ahmad Al-Qusyayi pernah menuntut ilmu ke Yaman. Sepulang dari sana, ia kembali memperdalam tarekat dengan Abdul Mawahib Ahmad bin Ali al-Syinnawi (asal Mesir), yang kemudian menjadi mertuanya. Sepeninggal al-Syinnawi, Sayyid Ahmad al-Qusyayi menjadi mursyid penerus tarekat Syattariyah.

Sufisme memiliki banyak filsafat tentang wujud. Baik yang bersandar pada konsepsi “kesatuan wujud” maupun lainnya. Syattariyah juga demikian. Periode sebelumnya (bahkan sampai sekarang), Syattariyah disebut-sebut sangat akomodatif dengan ragam filosofi ketuhanan (heterodoks). Tapi kemudian, Sayyid Ahmad al-Qusyasyi seperti mengarahkannya kepada paham yang lebih ortodoks. Sehingga menghindari pengajaran konsepsi wujudiyah yang terbuka oleh para muridnya. Bungkusannya lebih “soft”.

Filosofi kemanunggalan wujud punya daya kejut bagi komunitas ulama lahiriah. Terbukti, Syeikh Abdurrauf dikemudian hari tampil menengahi perseteruan antara Hamzah Fansuri (Syamsuddin as-Sumatrani) dengan Nuruddin ar-Raniry. Syeikh Abdurrauf ikut menuliskan pemahaman wahdatul wujud dalam pengertian yang moderat.

Sepeninggal Sayyid Ahmad al-Qusyayi, zawiyah Syattariyah di Madinah diteruskan oleh Ibrahim al-Kurani yang berasal dari Kurdi (1616-1690 M). Syeikh Abdurrauf juga menjaga hubungan baik dengan Ibrahim al-Kurani, yang disebut-sebut juga menjadi salah satu guru paling berpengaruh baginya setelah Sayyid Ahmad al-Qusyayi.

Selain Abdurrauf, murid Sayyid Ahmad al-Qusyayi lainnya yang terkenal dari Asia Tenggara adalah Yusuf al-Makassari asal Gowa Sulawesi Selatan (1626-1699) yang berdakwah sampai ke Afrika Selatan. Pada 1995, figur ini mendapat anugerah Pahlawan Nasional dari Soeharto. Syekh Yusuf Al-Makassari merupakan ulama yang punya sanad tarekat ke berbagai ordo sufisme lainnya. Selain Syattariyah (diajarkan kepada masyarakat di Afrika Selatan), juga Naqsyabandiyah (dikembangkan di Banten) dan Khalwatiyah (diteruskan di Makasar).

Kedua, Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani bin Ali Ar-Raniry merupakan murid Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al-Hadhrami (w.1066 H/1645 M). Sayyid Umar Ba Syayban menetap di Gujarat dan kemudian wafat di Uttar Pradesh, India. Melalui gurunya ini, Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani bin Ali Ar-Raniry ketika masih berada di kampungnya di India, mendapat sanad Tarekat Rifa’iyah dan Tarekat Alawiyyah. Sumber lainnya juga menyebut tambahan Tarekat Aidarusiyah dan Tarekat Qadiriyah.

Secara nasab, Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syayban adalah golongan Ahlul Bait yang nasabnya bersambung kepada al-Imam as-Sayyid Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (salam dan ridha Allah atas mereka semua). Keluarga Ba Syayban berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Golongan ini dikenali dengan sebutan Ba’alawi (Asyraf Aceh, 2020).

***

Baik Abdurrauf maupun Nuruddin, tercatat sebagai penerima ijazah dari masing gurunya. Sebagai khalifah pentarekat, Syeikh Abdurrauf bin Ali Al-Fansury dikenal sangat produktif dalam mendidik murid serta melanjutkan tradisi sufisme di Nusantara. Syeikh Abdurrauf bahkan sangat setia dengan Tarekat Syattariyah warisan Sayyid Ahmad al-Qusyasyi. Seumur hidupnya, kelihatannya cuma Syattariyah yang ia kembangkan, bukan yang lain.

Salah satu murid Syeikh Abdurrauf adalah seorang yang kemudian menjadi wali dan ulama ternama di Jawa Barat adalah Abdul Muhyi Pamijahan (lahir 1650). Menurut sejumlah sejarawan, dari garis ibunya, Abdul Muhyi masih memiliki nasab yang bersambung ke Ahlul bait Nabi SAW, Sayyidina Ali bin Abi Thalib kwh.

Pada usia 19 tahun, Abdul Muhyi berguru kepada Syeikh Abdurrauf. Selama 8 tahun (1669-1667 M) ia mondok di Aceh. Diakhir masa berguru, Abdul Muhyi dibawa Syeikh Abdurrauf ke Baghdad dan Arab untuk menziarahi makam guru-guru spiritual disana, termasuk Abdul Qadir al-Jailani. Juga ke pusara Sayyid Ahmad al-Qusyayi. Makanya, sejumlah literatur menyebut Abdul Muhyi adalah juga murid dari Sayyid Ahmad al-Qusyayi.

Sepulang dari sana, Abdul Muhyi ditugaskan menyebarkan tarekat di wilayah Garut, Tasik, Ciamis dan Kuningan. Hari ini terkenal “Gua Pamijahan” di Kecamatan Bantarkalong, Tasikmalaya. Sebuah tempat yang dikaitkan dengan wasiat Syeikh Abdurrauf kepadanya, untuk ditemukan. Lokasi ini kemudian menjadi tempat bertafakkur Syeikh Abdul Muhyi.

Murid terkenal Syeikh Abdurrauf lainnya adalah Burhanuddin Ulakan (1646-1704 M). Beliau berasal dari Pariaman. Setelah 10 tahun belajar dengan Syiah Kuala, ia pulang membangun surau dan melanjutkan Tarekat Syattariyah dan sampai hari ini masih berkembang di wilayah Minangkabau. Banyak kisah unik tentang para sufi dan wali ini, yang akan kita urai pada kesempatan lain.


Selain menulis tentang fikih, tafsir dan hadis; Teungku Syiah Kuala memiliki banyak karya dalam bidang tasawuf. Diantaranya: (1) Umdat al-Muhtājīn ilā Sulūk Maslak al-Mufridīn (Pijakan Bagi Orang-Orang Yang Menempuh Jalan Tasawuf), (2) Kifāyat al-Muhtājin ilā Masyrab al-Muwahhidīn al-Qāilin bi Wahdat al-Wujūd (Bekal Bagi Orang Yang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdatul Wujud), (3) Daqā’iq al-Hurūf (Kedalaman Makna Huruf), (4) Bayān Tajallī (Penjelasan tentang Tajalli), (5) Tanbīh al-Māsyi al-Mansūb ilā Tharīq al-Qushashī (Pedoman Bagi Orang-Orang Yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi), (6) Risalah Mukhtasarah fī Bayān Syurūt al-Murīd (Risalah Adab Murid dalam Berguru), (7) Shams al-Ma’rifah (tentang ilmu makrifat), Majmū’ Masāil (tentang kehidupan beragama), (8) Bayān al-Ahmad al-Masail wa al-Sifat al-Wajiba li Rabb al-Ardh wa al-Salamat (Penjelasan Tentang Masalah-Masalah Tersembunyi dan sifat-sifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi), (9) Sullam al-Mustaidīn (Tangga Setiap Orang Yang Mencari Faidah), (10) Bayan Aghmad al-Masa’il wa al-Shifat al-Wajibah li Rabb al-Ard wa al-Samawat (Penjelasan Tentang Masalah-Masalah Tersembunyi dan sifat-sifat Wajib bagi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi), (11) Munyah al-I’tiqad (Cita-cita Keyakinan), (12) Bayan al-Itlaq (Penjelasan Makna Istilah Itlaq), (13) Risalah ‘Ayan Tasabitah (Penjelasan Tentang Alam Pola Dasar), (14) ‘Umdah al-Anshab (Pohon Segala Nashab), (15) Idah al-Bayan fi Tahqiq Masa’il al-Adyan (Penjelasan Dalam Menyatakan Masalah-Masalah Agama), (16) Ta’yid al-Bayan Hasyiyah Ida al-Bayan (Penegasan Penjelasan: Catatan Atas Kitab Idah al-Bayan), (17) Lubb al-Kasyf Wa al-Bayan li Ma Yaruhu al-Muhtadar bi al-Iyan (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa Yang Dilihat Secara Terang-terangan), dan (18) Risalah Simpan (Membahas Aspek-Aspek Sholat Yang Secara Mistis).

Beberapa karya sufistik juga beliau tuliskan dalam bahasa melayu. Seperti: (1) Risalah Jalan Ma’rifatullah, (2) Faedah Yang Tersebut di Dalamnya Kaifayah Mengucap Zikir Laa Ilaha Illa Allah, (3) Syair Ma’rifah, (4) Risalah Adab Murid Akan Syeikh, (5) Otak Ilmu Tasawuf, dan (6) Syatariyyah (Tentang Ajaran dan Tata Cara Zikir Tarekat Syatariyyah).


Syeikh Nuruddin Muhammad Jailani bin Ali pun demikian. Ia menuliskan beberapa tema tentang tasawuf. Namun berbeda dengan sosok Syiah Kuala yang begitu “clean” dalam memori masyarakat, nama Ar-Raniry menyisakan gejolak dalam benak warga. Ia disebut-sebut ikut memberangus karya-karya dan keberadaan ordo sufisme falsafi yang dipimpin Hamzah Fansuri. Hal ini menjadi catatan kelam sejarah intelektualisme Nusantara. Rasanya tidak mungkin radikalisme seperti ini diajarkan oleh Sayyid Umar Ba Syaiban, guru spiritualnya. Sebab, ulama-ulama asal Yaman dibawah tarekat Alawiyah, memiliki jalan sufi yang sangat lembut, akomodatif dan menghindari kekerasan.

Jika benar beliau berbuat demikian, apakah Ar-Raniry memang sulit memahami ontologi wujud Hamzah Fansuri (Ibnu Arabi)? Apakah ia tidak sungguh-sungguh memahami ruh “damai” dari tasawuf? Atau ia lebih condong dalam rigiditas yurisprudensi, daripada dinamika dunia hakikat? Ataukah ada faktor politik dan kontentasi posisi dalam MUI kerajaan saat itu yang membuatnya jadi ‘nakal’ begitu? Wallahu ‘alam. 

Berikut dua sanad ordo sufisme, Qadiriyah dan Syattariyah Teungku Syiah Kuala, dari banyak tarikat lainnya yang kelihatannya juga beliau dalami.

BACA JUGA: “Sudah Berapa Lama Kita Mati? (Menghidupkan Paradigma Makrifat dalam Dunia Akademik)

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****


SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

5 thoughts on “TEUNGKU SYIAH KUALA DAN SYEKH NURUDDIN AR-RANIRY BERGURU PADA DUA HABIB INI

  1. Pingback: Said Muniruddin
  2. Assalamu’alaikum saya mau nanya, apakah keturunan ahmad al qusyasi ada di Aceh, dan apakah ada hubunganny dengan syekh abussalam di pidie atau kerap dipanggil teungku chik di pasi?

  3. Assalamu’alaikum saya mau nanya, apakah keturunan ahmad al qusyasi ada di Aceh, dan apakah ada hubunganny dengan syekh abussalam di pidie atau kerap dipanggil teungku chik di pasi?

  4. Assalamu’alaikum saya mau nanya, apakah keturunan ahmad al qusyasi ada di Aceh, dan apakah ada hubunganny dengan syekh abussalam di pidie atau kerap dipanggil teungku chik di pasi?

Comments are closed.

Next Post

"SUDAH BERAPA LAMA KITA MATI?" (MENGHIDUPKAN PARADIGMA MAKRIFAT DALAM DUNIA AKADEMIK)

Tue Jul 21 , 2020
  […]

Kajian Lainnya