POSISI ‘AQAL DALAM HUKUM ISLAM

Posisi ‘Aqal dalam Hukum Islam
Oleh Said Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Mazhab-mazhab dalam Islam sepakat, Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam. Disamping juga ada Ijmak (kesepakatan para ahli). Lalu dimana posisi ‘Aqal?

Pertanyaan ini menjadi diskusi panjang dalam sejarah Islam. Jika Sunni ‘menjatuhkan’ ‘aqal pada posisi terakhir (yang disebut dengan Qiyas), Muktazilah justru mengangkatnya pada urutan pertama (di atas Al-Quran dan Sunnah). Sementara dalam Syiah, ada diskursus yang beragam. Ada yang menyebut itu sebagai sumber hukum. Ada yang mengatakannya sebagai alat. Ada yang menempatkan pada posisi utama, sebagaimana Muktazilah. Ada yang mendudukkannya pada level terakhir, seperti Sunni.

Saya ingin menengahi perdebatan ini, ‘Aqal posisinya bisa lebih tinggi dari Al-Quran dan Sunnah. Sekaligus bisa lebih rendah dari kedua itu. Tergantung bagaimana kita memahami makna dan tingkatan (gradasi) ‘Aqal.

***

Sebelumnya kita sudah sepakat, Al-Quran dan Sunnah itu sumber utama hukum dalam Islam. Artinya begini. Apapun yang kita kerjakan hari ini; baik dalam bentuk ibadah mahdhah dan muamalah (syariah), maupun praktik-praktik ihsan (tasawuf), semua berusaha merujuk kepada doktrin Al-Quran dan tradisi Sunnah (ucapan, tindakan dan sikap yang dicontohkan Nabi SAW). Meskipun ada perdebatan cakupan Sunnah dalam tradisi Sunni dan Syiah.

Sebagian mengatakan, Sunnah itu hanya apa yang dicontohkan Nabi (dan juga para sahabat utama). Pendapat ini kita temukan dalam mainstrame Sunni. Sementara dalam Syi’ah, Sunnah mencakup perilaku Nabi, sahabat dan imam-imam yang “suci”. Bagi Syiah, kunci disebut Sunnah adalah adanya ketauladanan agung atau kemaksuman ulil amri yang diikuti. Syiah percaya, entitas kesucian senantiasa ada pada sosok-sosok waris Nabi sepanjang zaman. Itu semua Sunnah. “Athiullaha, wa Athiurrasula, wa Ulil Amri minkum” (QS. An-Nisa’: 59). Patuhilah (Sunnah) Allah, patuhilah (Sunnah) Rasulullah, dan (Sunnah) para “pemimpin suci” diantara kamu.

Hal serupa sebenarnya juga ditemukan dalam tradisi Sunni. Ada banyak aktifitas sosial dan bentuk peribadatan yang dikritik sebagai bid’ah oleh Sunni “garis keras” (Wahabi). Menurut Wahabi, apa yang dilakukan itu tidak ada “dalil”. Tidak pernah dicontohkan (secara langsung) oleh Nabi dan sahabat. Tapi lebih sebagai “kreasi” ulama-ulama kemudian.

Dalam hal ini, kultur Sunni sama dengan Syiah. Sunni juga mengikuti tradisi (Sunnah) yang dibangun oleh orang-orang “mulia” diantara mereka. Baik itu habaib, wali-wali, ulama dan mursyid yang dianggap masih punya “kontak” dengan Tuhan. Dalam sufisme Sunni juga diakui adanya “pewarisan” kenabian, Nur Muhammad atau washilah nurullah dari satu generasi ke generasi. Ini yang membuat guru-guru spiritual dalam tradisi Sunni sangat dihormati, ditakzimi selayaknya Nabi. Konon lagi, zuriyat Nabi (ahlul bait, sayyid atau habaib) banyak menempati mata rantai silsilah ruhani berbagai tariqah dalam Sunni.

Jadi; ikut, tunduk dan patuh pada leluhur yang alim, ulil amri yang suci, atau walimursyid yang dekat dengan Tuhan (karamah), dalam mistisisme Sunni juga disebut “Sunnah”. Ini penyebab Islam sangat akomodatif dengan budaya lokal, serta mampu merespon zaman. Setelah “diislamkan” oleh para waris Nabi, semua wisdom lokal diapresiasi sebagai bagian dari kontinuitas “Sunnah” dalam Islam. Sehingga Islam tidak rigid hanya tentang lifestyle Arab 14 abad silam.

Maka kita temukan, misalnya, kaum Alawiyin sangat kental dengan “sunnah” (tradisi) dari para wali dan datuk-datuk mereka dari Hadramaut, Yaman. Setiap daerah punya khas dalam beragama, tidak melulu berjubah dan berjenggot. Terkadang sunnah setempat sudah dalam bentuk sarung dan peci. Tanpa mengurangi substansi, itu semua instrumen lahiriah dalam mendekati Tuhan.

Jadi sudah clear. Al-Quran dan Sunnah, dengan berbagai variasi pemahaman antar mazhab dan aliran, adalah sumber utama hukum Islam.

Lalu, dimana posisi ‘Aqal?

Jawabannya seperti tersebut dimuka: ‘Aqal posisinya bisa lebih tinggi dari Al-Quran dan Sunnah. Sekaligus bisa lebih rendah dari kedua itu. Tergantung bagaimana kita memahami makna dan tingkatan (gradasi) ‘Aqal. ‘Aqal itu memiliki ragam definisi, dalam makna yang bertingkat-tingkat.

Pertama, pada tingkatan paling rendah, ‘aqal (saya tulis dengan “a” kecil) adalah kemampuan dasar ruhaniah manusia untuk berfikir, mengingat, menyimpulkan, menganalisis, atau menilai apakah sesuatu sudah sesuai, baik atau buruk, benar atau salah. Dalam pengertian ini, ‘aqal merupakan daya intelektual untuk membandingkan, memilih dan memilah (i.e., qiyas). ‘Aqal adalah bentuk kecerdasan nalar kognitif, logis, dan filosofis (argumentatif). Ia bisa dilatih dengan hukum-hukum berfikir agar lebih tajam.

Dengan demikian ia merupakan “alat”, jika digunakan untuk menemukan kebenaran dan kebaikan. Sekaligus “sumber hukum”, jika itu merupakan produk yang lahir dari ‘aqal. Karena ia alat atau produk dari cara berfikir personal “diri” (ego) kita, maka posisinya dinilai lebih rendah daripada Al-Quran dan Sunnah (yang merupakan produk wahyu).

Karena posisinya yang rendah, peluang ‘aqal bercampur dengan elemen “prasangka” (nafsu/interests/bisikan setan) juga tinggi. Sehingga ada warning dari Nabi: “Barangsiapa menafsirkan Al-Quran dengan ‘aqal, neraka tempatnya”. Bukan tidak boleh menggunakan ‘aqal. Justru memahami Al-Qur’an dan Sunnah, kalau tidak menggunakan ‘aqal, pakek apa coba? Manusia sebagai makhluk beragama mesti ber-‘aqal. Tapi  hati-hati. Karena pada gradasi ‘aqal  yang paling rendah, ada tipuan perasaan (persepsi). Itulah bahaya mengqiyas-qiyas (mengakal-akali) sesuatu, tanpa terhubung dengan jenis ‘Aqal berikutnya.

Kedua, pada tingkatan paling tinggi, ada jenis ‘Aqal lainnya. Kami tulis dengan “A” besar, karena bukan sekedar akal/ide/jiwa rendahan. Melainkan tajalli Tuhan itu sendiri. ‘Aqal pada level ini sudah dalam makna Aqal Pertama, ‘Aqal Awwal, Jibril, Ruh, Wahyu, Ilham, Nurun ‘ala Nurin, Qalam ‘Ala, Nur Muhammad, Muraqabah, Muqabalah, Hidayah Laduniah, atau berbagai nama lainnya yang punya potensi untuk hadir dalam diri manusia. Semua kami tulis dalam huruf kapital, karena merupakan representasi  dari “Diri” yang tinggi. Pancaran langsung dari cahaya-Nya sendiri.

‘Aqal pada level ini merupakan bentuk kesadaran intelektual tertinggi, kecerdasan advance ruhaniah manusia. ‘Aqal pada martabat  ini muncul disaat seseorang sudah “tidak sadar diri” (fana, terkoneksi dengan dimensi yang suci). Ia muncul atas kehendak Tuhan. Bukan sekedar kreatifitas nalar kita lagi. Ini sudah terkait dengan “ilmu hudhuri”. Sehingga disebut juga ‘Aqal aktif. Karena ia sering hadir, tanpa didahului proses bertanya. Ia justru memberi tau, apa penting atau patut kita ketahui.

Karena ia “pengetahuan langsung” dan tekini dari Allah, maka nilainya lebih aktual, lebih tinggi dari produk historis Al-Quran dan Sunnah. Tanpa bermaksud mensubordinasi teks Al-Quran dan Sunnah (firman kitabi); ‘Aqal inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Adz-Dzikir, Ruh, atau Batin Al-Quran. ‘Aqal ini lebih hidup (bernilai qadim), daripada teks tertulis Al-Qur’an (yang bersifat baharu). Sehingga dikatakan, Muhammad adalah (dimensi hidup) “Al-Quran”. Sebab, ‘Aqal Awwal yang menyebabkan Al-Quran punya vibrasi supra-rasional senantiasa hadir pada dirinya.

Unsur ilahiyah dari ‘Aqal inilah yang sejatinya memberi mukjizat (power) pada qiraah Al-Quran. Tanpa elemen spiritual Al-Quranul Majid yang “tidak berhuruf dan bersuara” ini, maka kitab suci dan bacaan Al-Quran menjadi tidak sesuci yang kita bayangkan. Tidak bisa menyembuhkan. Tidak bisa menghidupkan. Tidak mampu mengusir iblis dan setan. Makanya, Al-Quran dalam bentuk ‘Aqal Al-ilahi (firman nafsani) ini lebih tinggi martabatnya daripada mushaf (bayan kitabi)  cetakan Jerman atau Cina.

Karena kenabian sudah khatam, maka bagi kita sekarang, ilham (‘wahyu’) atau ‘bisikan’ langsung dari Allah ini lebih memiliki fungsi sebagai “penyingkap” kebenaran. Bukan untuk menciptakan agama atau ajaran baru. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dapat diputuskan baik-buruk atau benar-salahnya secara serta merta. Sehingga dibutuhkan “hidayah” dari langit. Tuhan dapat diajak “berbicara” untuk memutuskan sebuah perkara. Dalam bahasa sufistik, kekuatan-kekuatan malakutiyah dari sisi Allah (i.e., “raqib atid”) dapat dihadirkan guna memberi informasi hukum tentang benar salah, atau baik buruk sesuatu.

Aqal pada gradasi tertinggi inilah yang menjadi elemen dari mukasyafah, juga musyahadah. Yang menyingkap segala tabir. Inilah inti dari nafs, qalbu atau fuad, yang menguak rahasia. Memperlihatkan banyak hal. Kecerdasan spiritual. Al-Qur’anul Hakim. Malaikat pembisik. Kesadaran ruhaniah tertinggi. Bayan Ruhi. Logos. Dia sendiri. “Ruh itu termasuk “elemen aktif” (amri) dari sisi Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Isra’: 85). Kita semua bodoh. Sampai benar-benar memperoleh, atau terhubung dengan elemen Ruh (‘Aqal Murni), baru dikatakan cerdas (enlightened).

KESIMPULAN. Jadi, saya mendukung argumen para ulama bahwa ‘aqal (“a” kecil, kesadaran murni dari ego personal manusia) merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Quran, Sunnah, dan Ijma. Sekaligus mendukung pendapat bahwa ‘Aqal (“A” besar, kesadaran ilahiah yang hidup dan aktual) sebagai sumber hukum yang lebih tinggi, sebagai penyingkap kebenaran dari teks mati (suci) Al-Quran dan Sunnah. Tergantung bagaimana cara kita memahami tingkatan ‘aqal.

Namun, tingginya posisi ‘Aqal yang saya maksudkan, tidak sama dengan yang persepsikan Muktazilah. Sebab, Muktazilah murni mengagungkan ‘aqal sebagai unsur rasionalitas manusia an sich. Yang kami terangkan disini, wujud ‘Aqal, jika anda tau cara meng-upgradenya, bisa mencapai pentium malakutiyah atau Ruhul Quddus (super-rasional). Hemat kami, inilah yang dimaksud sejumlah filsuf muslim seperti Al-Farabi. Bahwa ‘Aqal (tentu yang sudah terlatih dalam mekanisme tazkiyatun nafs) akan mampu menjangkau Wahyu (Tuhan). Maka kita temukan banyak filsuf yang melanjutkan pengembaraan intelektualnya dalam dunia irfan, sehingga benar-benar memasuki “alam Tuhan”.

Jika ini terjadi, maka segala apapun yang anda lakukan menjadi Sunnah (bernilai Qurani). Sebab, ada kontak (konfirmatif) dengan entitas Rasulullah (‘Aqal al-Ilahi). Sebaliknya, memelihara jenggot dan melipat celana ke atas mata kaki bisa menjadi bid’ah, “mengada-ada” (tidak benar-benar ADA, ikut-ikutan, atau meniru-niru); ketika semua ritual dan tindakan yang anda anggap baik itu tidak ada kontak ruhani (izin langsung) dengan Rasulullah.

Yang lebih berbahaya lagi, anda menghakimi orang lain sesat, kufur, khurafat dan takhayul; setelah anda mengolah (menafsir/mengqiyas/mengakali) ayat dan hadis. Sementara keputusan tersebut tidak mampu anda pastikan kebenaran absolutnya (secara haqq atau langsung) kepada Allah. Perbuatan inilah yang diancam neraka. Karena makna “hakim” yang sesungguhnya adalah orang yang punya ilmu “hikmah”, bijak, mengetahui rahasia dan kebenaran-kebenaran dibalik teks dan logika. Sehingga mampu memutuskan kebenaran sesuai kehendak Tuhan, bukan sekedar menurut akalnya.

Maka sebaik-baik faqih adalah mereka yang wali. Yang mampu memverifikasi pemahaman teks yang diperoleh melalui ‘aqal material (insting atau naluri yang masih berpotensi tercampur unsur-unsur jahil), kepada ‘Aqal Wilayah (petunjuk, pengetahuan atau otorisasi dari alam rabbani).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

6 thoughts on “POSISI ‘AQAL DALAM HUKUM ISLAM

Comments are closed.

Next Post

SELAMAT IDUL ADHA 1441 H

Sat Aug 1 , 2020

Kajian Lainnya