PARADOKS “KHALIFAH”: DEFINISI QUR’ANIK VS. TAFSIR POLITIK

Paradoks “Khalifah”: Definisi Qur’anik Vs. Tafsir Politik
Oleh Said Muniruddin I Rector I The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Syarat menjadi khalifah adalah punya kompetensi untuk “menerima wahyu” (mampu bercakap-cakap dengan Tuhan atau berinteraksi dengan alam malakut). Mampu memahami pesan langit. Dengan kompetensi inilah khalifah disebut sebagai “wakil Tuhan” (khalifatullah). Ia merupakan wujud “dhahir” Tuhan. Wasilah. Sebab, Tuhan yang maha tersembunyi menjadi nyata atau diketahui, akibat diutusnya mereka.

Karena punya kemampuan berkomunikasi dan memperoleh otorisasi secara langsung dari Tuhan, mereka mengelola bumi menurut maunya Tuhan (bisikan, wahyu, ilham, tanda-tanda/ayat, atau petunjuk Tuhan). Itu makna prinsipil dari “khalifah”. Maksum. Punya unsur karamah, mukjizat. Menjadi “kaki tangan” Tuhan. Punya elemen “Nur” (kerasulan) dalam dirinya yang memungkinkan ia konek dengan Tuhan. Karenanya disebut juga “khalifaturasul”.

Itulah alasan mengapa Adam disebut sebagai khalifah pertama di muka bumi. Karena ia merupakan manusia atau homo sapiens pertama yang mencapai makam makrifat, terbuka hijab menjadi homo deus (sosok yang mengenal Asma-Asma, bisa merasakan kehadiran Tuhan). Pun para nabi lainnya secara substantif juga menyandang gelar khalifah, karena punya elemen “nurun ala nurin” dalam diri mereka. Termasuk Nabi Muhammad SAW.

Namun ada sejumlah nabi, yang selain memiliki mandat dari Tuhan, juga menguasai jabatan politik (kekuasaan kenegaraan). Seperti Daud AS, Sulaiman AS, dan juga Muhammad SAW. Sebagian nabi lainnya seperti yang kita ketahui, tidak menduduki posisi keduniaan. Namun, otoritas langit untuk umat pada masanya, ada di tangan dia.

Setelah Muhammad SAW, bumi juga diwarisi secara terus menerus kepada para khalifah. Mereka juga punya kemampuan serupa dengan para nabi sebelumnya, yaitu koneksitas dengan Tuhan. Hanya saja, mereka tidak disebut lagi nabi. Sebab, kenabian sudah khatam (QS. Al-Ahzab: 40). Tapi mereka menyandang gelar “khalifah” dan melanjutkan fungsi-fungsi kenabian (waris nabi). Dengan demikian; orang-orang yang pembawa petunjuk (al-mahdi), para pemimpin spiritual, imam, wali, washi, waliyammursyida, ulil amri, mujaddid, atau khalifah; akan terus muncul untuk mengawal bumi (menjadi khalifah fil-ardh) secara bergantian sampai kiamat. Itu khalifah dalam makna Qur’anik.

Sementara dalam perspektif sosio-politik, siapapun yang bisa merebut dan membangun kekuasaan dapat mengklaim dirinya sebagai “khalifah”. Kita juga bisa mempersepsikan siapapun leader yang kita nilai ideal menurut interests kita sebagai khalifah. Tapi, khalifah yang asli, itu disahkan melalui firman Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang menitipkan Ruh-Nya, Kalam-Nya, pada sosok tersebut.

Makanya, baik dalam spiritualitas Syiah maupun sufisme Sunni, para wali juga disebut khalifatullah atau khalifatu rasulillah. Mesti ada Nur Muhammad atau ruhul muqaddasah rasulullah yang aktual dalam diri, yang membuat mereka memiliki qudrah iradah Allah, sehingga mampu menyalurkan rahmat bagi semesta Alam (rahmatal lil’alamin). Ada dari mereka yang punya jabatan resmi dalam politik, ada yang tidak. Tapi merekalah “khalifah” yang hak. Karena merekalah tali Allah di muka bumi; yang membawa “Nama”, “Kalimah”, atau “Asma” yang dapat menyambungkan ruhani kita dengan Allah.

Jadi, dalam perspektif Alquran, seseorang baru disebut khalifah kalau sudah “makrifat” (hadir Tuhan dalam dirinya). Artinya, memang Tuhan yang akan memimpin, melalui dirinya. Sehingga cenderung berlaku adil, tidak dikotori nafsu. Maka disebut “wakil Tuhan”. Wujud lain Tuhan. Tajalli-Nya. Makhluk biologis (punya keterbatasan-keterbatasan), tapi langitan.

Dengan demikian, khalifah (jamaknya: khalaif) adalah sebutan untuk orang-orang yang punya karakteristik “suci” guna mengemban amanah mulia dari Tuhan. Al-Qur’an sendiri menyebut kata “khalifah” (leader) dan berbagai isim turunannya sebanyak 12 kali dalam Al-Qur’an: QS.2:30, 6:165, 7:69, 7:74, 7:129, 10:14, 10:73, 24:55 (disebut dua kali), 27: 62, 35:39, dan 38:26. Demikian pula dengan kata “imam” yang juga bermakna pemimpin, juga tersebut 12 kali dalam Al-Qur’an (QS. 2:124, 9:12, 11:17, 15:79, 17:71, 21:73, 28:5, 28:41, 25:74, 32:24, 36:12, 46:12).

Sementara tidak ditemukan doktrin khilafah (sistem kenegaraan) dalam Al-Qur’an. Bahkan 4 figur khulafa ar-rasyidun paska Nabi SAW memiliki sistem suksesi politik yang berbeda-beda. Sistem pemerintahan dalam Islam kemudian hanyalah bentuk kreatifitas, tafsir, karya dan bahkan ekspresi syahwat politik masing dinasti dan raja.

Oleh sebab itu, ayat-ayat khilafah maupun imamah di atas mesti kita dalami kembali untuk menangkap spirit murni dari kepemimpinan. Sebab, hakikat berpolitik dalam Islam bukanlah bernafsu untuk memimpin. Tapi bagaimana belajar menjadi hamba, menjadikan Allah sebagai pemimpin, dalam apapun bentuk sistem negara. Inilah makna “khalifah” yang sesungguhnya.

Khalifah yang sebenarnya adalah para pemimpin sosio-spiritual, orang-orang yang tersembunyi (terisolasi), yang dikejar-kejar pada setiap masa, karena membawa pengaruh yang dapat menurunkan citra serta mengganggu kebusukan kuasa para raja. Maka janganlah kita mengembalikan pikiran umat kepada bentuk-bentuk otoritarianisme masa lalu, melalui cerita-cerita indah. Memang ada sejumlah ‘khalifah’ (raja)  yang patut diteladani. Tapi sebagian besar, tangannya berlumur darah orang-orang tak berdosa. Mereka memang aktif menyebarkan agama dan mempercantik bangunan, sambil memperluas tanah dan hidup mewah atas nama Islam.

Cobalah berfikir untuk membangun negara yang lebih di ridhai Tuhan, melakukan amar makruf nahi munkar dalam kerangka yang sudah ada. Tugas kita semua adalah menegakkan praktik ber-Pancasila agar bersesuaian dengan prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan kemanusiaan. Sebab, NKRI adalah sebuah bentuk khilafah (governance) hasil ijtihad para pendiri negara. Tidak idela-ideal kali pun orang-orang yang mengelola negeri ini. Banyak kelamahannya. Itu yang harus terus menerus dikoreksi. Ditegur dan dinasehati. Terus dicari dan dikaderkan sosok-sosok pengganti yang lebih baik.

BACA JUGA: SPIRITUALITAS INDONESIA (PANCASILA ITU “SHALAWAT”)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

One thought on “PARADOKS “KHALIFAH”: DEFINISI QUR’ANIK VS. TAFSIR POLITIK

Comments are closed.

Next Post

PERANG SAUDARA

Sat Aug 29 , 2020
Perang […]

Kajian Lainnya