PERJALANAN MENUJU ALAM GAIB

Perjalanan Menuju Alam Gaib
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Perjalanan hidup kita, sejatinya adalah perjalanan menuju alam gaib. Semua amalan yang kita upayakan sehari-hari, sesungguhnya adalah usaha untuk menembus ke alam itu. Semakin cepat kita tembus ke alam tersebut, semakin sempurna kita beragama.

Sebab, agama itu sejatinya adalah “kegaiban”. Agama dibangun dengan prinsip-prinsip (arkan) kegaiban. Semakin gaib capaian kepercayaan kita, semakin dekat kita dengan inti agama. Rukun, pokok-pokok agama, itu hal-hal gaib. Menembus alam gaib, adalah tujuan agama.

Apa maksud alam “gaib”?

Gaib adalah “hilang”, secara maknawi. Hilang dimensi lahiriah kita. Sehingga memungkinkan untuk aktualnya sisi-sisi batiniah. Rasulullah (ruhul quddus para nabi dan awliya), dimensi malakut (malaikat) ataupun Allah, baru akan aktual hadir (muncul), ketika kita mampu menghilangkan ‘diri’ kita. Itu semua gaib. Yaitu sisi-sisi yang hanya akan ada ketika kita mampu menembus dimensi terdalam dari diri kita sendiri. Sampai pada satu titik dimana kita tidak menyadari apapun, selain aktualnya semua kekuatan itu. Semakin kuat kita menyadari ketiadaan kita, semakin mudah munculnya sisi ketuhanan kita.

Sesungguhnya kita ini makhluk gaib. Kita ini (berasal dari) Tuhan yang gaib. Ada sisi ke-Maha-an itu dalam diri kita. Kalau proses evolusi (yarju, QS. Al-Kahfi: 110) kita tempuh secara benar, kita akan kembali kepada kegaiban kita secara sempurna. Perjalanan menuju kegaiban bukanlah perjalanan kemana-kemana, dan tidak jauh-jauh amat. Itu tidak lebih dari usaha menyelami diri sendiri. Dalam tradisi sufi (tariqah) ini dilakukan melalui metodologi membatasi diri, menutup mata dan fokus pada inner journey; sampai pada satu titik dimana kita terjaga bahwa kita ini adalah Tuhan itu sendiri (manakala seluruh kesadaran rendah kita hilang terserap daya ilahi). La haula wala quwwata illa Billah. Disaat meleburnya diri kita inilah, kekuatan-kekuatan malakutiyah (mukjizat) menjadi absah. Keramat. Yang pada hakikatnya, itu bukan lagi kita. Tapi Tuhan.

Perjalanan untuk menghilang (gaib) bukanlah perjalanan biasa. Ada turbulensi. Persis seperti naik pesawat. Bahkan para nabi pun ada yang protes, bahkan stress, dan mirip-mirip gila di jalan penuh nikmat Tuhan ini (Dengan karunia Tuhanmu engkau -Muhammad- bukanlah orang gila, QS. Al-Qalam: 2). Bertariqat, atau menempuh jalan Tuhan yang sangat dinamis itu memang mengejutkan. Beda dengan dunia lahiriah syariat yang statis. Karena, di tariqah atau dunia irfan amali, kita benar-benar akan melewati alam-alam yang tidak pernah kita lihat dan alami. Semakin tinggi, kita akan menapaki lapisan-lapisan langit yang berbeda. Lapisan pengetahuan para nabi.

Termasuk pada awalnya akan melewati lapisan-lapisan awan yang “hampa udara”. Alam jabarut yang penuh tensi. Pesawat akan berguncang. Salah-salah bisa jatuh. Jalannya halus. Adabnya tinggi. Banyak para salik yang goyang saat menempuh jalan ini. Ada yang ketakutan, ingin balik ke bumi. Tsumma radadnahu asfala safilin. Jadi makhluk biologis lagi, lahiriah murni (QS. At-Tin: 5).

Tapi bagi yang sabuknya kuat dan mentalnya siap, punya kesempatan untuk naik ke langit yang lebih tinggi. Lalu merasakan keheningan yang lebih dalam. View-nya lebih luas dan indah.

Bahkan pada titik tertentu, tidak lagi terlihat heterogenitas (kemajemukan) alam wujud. Semua lebur dalam satu universe. Satu kesatuan. Bahkan waktu pun tidak eksis lagi. Sehingga mengetahui yang lalu, sekaligus yang akan datang. Itu pertanda sang penempuh jalan telah masuk pada kegaiban tingkat advance, mulai kehilangan wujudnya. Yang ada hanya Dia. Dimana-mana. Pada hakikatnya memang seperti itu. Tidak ada apapun dalam segalanya, selain Dia. La ilaha illa Allah.

Mungkin akhir dari segala kegaiban kita adalah berada di Sidrah Al-Muntaha. Puncak pohon spiritualitas. Menyatunya kita dengan Dia. Sudah berhadapan. Menyatu wajah. Sudah berada pada langit yang sama dengan-Nya. Sudah berada di ruang Tuhan (alam Rabbani).

Jadi, manusia dengan Tuhan dan para malaikatnya; itu sebenarnya berada pada titik yang sama. Hanya bagaimana cara kita “on-off” saja untuk masuk ke dimensi lainnya. Dunia dan akhirat, itu satu. Tidak terpisah. Itu hanya persoalan cara kita mikraj dari satu kesadaran kepada kesadaran lainnya saja. Bolak balik ke langit, itu kerjaan para nabi.

Jadi, sekali lagi, semua dimensi kosmos ini tidak lebih dari satu titik. Tapi dibatasi oleh satu tirai, yang cukup untuk membuat kita semua buta dan tuli. Tuhan, malaikat, ruh para nabi, akhirat, dan hukum-hukum Tuhan yang misterius (takdir); itu semua nyata. Itu semua ada dalam dimensi kemanusiaan kita, sebagai makhluk yang maha sempurna (ahsanu taqwim). Tapi materialitas diri kita telah membuat kita buta. Sehingga menjadi begini lemah, bodoh dan tak berdaya. Dan setan menjadi aktual pada saat kita terputus dari kegaiban (kemutlakan) itu. Itulah yang disebut (potensi) dosa. Hilangnya sisi gaib ketuhanan dari wujud kita. Terputusnya kita dari Tuhan.

Tujuan agama, sesungguhnya adalah untuk membuat kita menjadi gaib. Kembali menyatu dengan Tuhan kita. Kembali kepada Dia. Kembali ‘menjadi’ Dia. Dan Zikir dalam tradisi spiritualitas Islam adalah instrumen yang diajarkan untuk mengingat-ingat keazalian kita. Usaha untuk kembali kepada asal kita. Usaha untuk kembali bersanad kepada Allah (wushul ruhaniah manusia).

Dan dalam dunia Islam banyak sekali maskapai yang menawarkan penerbangan menuju ketersambungan (kepada kegaiban) Tuhan. Baik dalam bentuk mazhab, tariqah, manhaj, forum zikir, kelompok diskusi, organisasi keislaman, dsb. Masalahnya ada di pilotnya, bukan di Islamnya. Sebagian besar pilot, dan penampilannya benar-benar mirip pilot, hanya terbatas pada kemampuan mengkaji dan membaca manual penerbangan. Tanpa mampu menerbangkan pesawatnya. Maka yang paling dibutuhkan umat ini adalah seorang buraq (pilot profesional), yang mengetahui peta langit, dan pernah bolak-balik ke alam sana. Sehingga perjalanan beragama para jamaah menjadi dinamis, spiritual altitude-nya terus mengalami peningkatan. Sehingga pengalaman beragama semakin fenomenal. Karena tujuan hidup kita memang menuju kepada pembuktian berbagai hipotesis (kepercayaan) terhadap hal-hal gaib, alam supranatural murni. Menjadi penduduk langit.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

Next Post

HARAM "MENIRU" NABI

Fri Jan 29 , 2021
Haram […]

Kajian Lainnya