HARAM “MENIRU” NABI

Haram “Meniru” Nabi
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Meniru karya orang lain, anda bisa kena pasal plagiarisme. Meniru atribut tentara ataupun polisi, anda bisa ditangkap. Meniru pakaian dokter lalu mencoba mengobati orang, anda akan dituduh malpraktek.  Meniru tanda tangan Jokowi, salah-salah anda masuk dipenjara. Meniru Nabi juga begitu. Hati-hati!

Sholat itu bagus. Tapi ada yang dicela karena melakukan sholat. Ada yang diancam neraka Wail gara-gara menegakkan sholat. Berpuasa juga sama. Bagus. Tapi banyak yang dikritik oleh Rasulullah sebagai aktifitas menahan lapar dahaga yang tak jelas. Karena itu semua tiruan. KW. Bodong.

Maka berhati-hati kalau nyunnah. Berhati-hati dengan perilaku meniru, ikut-ikutan nabi. Sebab, ikut Sunnah bukanlah seperti perilaku monyet meniru manusia. Atau Beo meniru suara majikannya. Ada syarat lain yang harus dipenuhi, agar tiruan itu menjadi legal.

Jadi, sekedar “meniru”, itu hukumnya bid’ah. Karena, meniru sama dengan membuat atau mengada-adakan sesuatu yang baru, palsu. Sebuah tindakan hanya akan menjadi asli (otentik), ketika ada otorisasi dari Allah. Ada izin (legalitas langsung) dari Allah. Harus Ada kehadiran Allah, sehingga anda bisa disebut melakukan Sunnah. Sebab, semua perilaku nabi dibimbing Allah. Kita juga harus begitu. Bukan dibimbing oleh sifat meniru. Intinya bukan pada meniru. Tapi pada aktualnya izin dari Allah.

Jadi, haram “meniru” (mempalsukan) Nabi. Terlalu banyak beredar barang (Islam) tiruan di pasar. Takbir nabi ditiru. Bendera Nabi ditiru. Pakaian nabi ditiru. Jenggot Nabi ditiru. Semua ditiru. Apa kurangnya ISIS dalam meniru Nabi. Habis mati semua orang.

Mereka tidak tau, ada Allah dalam takbir Nabi. Ada Allah di bendera Nabi. Ada Allah pada pakaian Nabi. Ada Allah di jenggot Nabi. Ada Allah dalam semua ibadah dan perjuangan Nabi. Bukan sekedar allah-allahan. Tapi asli. Hadir Dia. Sehingga semua gerak Nabi sesungguhnya adalah Dia sendiri. “Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tapi Allah yang melempar” (QS. Al-Anfal 17).

Itulah Sunnah. Semua sisi perilaku kita berdimensi nubuwwah, Allahnya hadir. Bukan sekedar meniru visual fisik dan tampilan Nabi.

Muhammad merupakan “suri tauladan agung”. Maknanya, ada kehadiran Allah dalam setiap tingkah lakunya. Pada sisi batinnya ada Allah. “Menauladani” nabi berarti, menghadirkan Allah yang maha batiniah itu dalam semua perbuatan kita. Bukan sekedar meniru sisi lahiriahnya saja. Kalau masih anak-anak, bolehlah meniru penampilannya. Dihalalkan. Bahkan ada karnaval keagamaan untuk urusan tiru meniru. Tapi ketika orang dewasa seperti kita masih beragama dalam cara-cara pawai karnaval, apakah tidak lucu?

Beragamanya orang dewasa tentu harus dengan kesadaran. Secara umum disebut “berakal”. Tidak ada agama bagi yang tidak ada akal. “Akal” dalam pengertian sederhana adalah kecerdasan rasional. Iya, benar. Orang gila tidak sah beribadah. Akal merupakan alat kesadaran untuk memahami prinsip-prinsip umum kebenaran. Orang bisa baik budinya, jika akalnya bagus, walaupun tidak beragama secara formal. Orang berakal (sehat pikiran) itu sebenarnya sudah beragama. Dalam artian, setengah dari unsur ketuhanan sudah masuk dalam dirinya.

Tapi, “akal” dalam makna ruhaniah adalah kecerdasan Ruhiyah (fuad/qalb). Rasa akan kehadiran Allah secara totalitas. Atau kemampuan kita untuk terhubung dengan al-‘Aqal al-Awwal, Nur Allah, muraqabah, Ruhul muqaddasah Rasulullah. Inilah bentuk kesadaran (yaqazah) yang akan membuat semua ibadah menjadi asli (diterima), bukan tiruan (tertolak). Dengan terjaganya dimensi jiwa ini kita punya kemampuan untuk ruju’ (kembali kepada Allah) sehingga merasakan bahagia secara sempurna.

Semua orang bisa menjadi (mewarisi) Muhammad, jika mampu menghadirkan Allah pada semua sisi kehidupannya. Pada orang-orang semacam ini, semua bentuk kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dapat menyatu. Karena tindakannya dibimbing langsung oleh Ilham atau Wahyu (Allah).

Mungkin inilah yang ditentang Mahfud MD (dalam sebuah diskusi di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1). Orang-orang maksum seperti itu, sebutnya, sudah tidak ada lagi (kalau saya lebih tepat mengunakan kata-kata sudah “langka”, bukan tidak ada). Sehingga Mahfud mengatakan, haram meniru (sistem pemerintahan) Nabi. Karena kapasitas kita terkadang sudah setengah iblis, lalu mengaku ikut Nabi. Tapi dengan akal sehat, kita harus tetap menggunakan prinsip-prinsip umum kebenaran (disiplin, sportif, jujur, dan nilai-nilai islami lainnya) dalam menjalankan berbagai pilihan bentuk pemerintahan (demokrasi, kerajaan, dll).

Namun lagi-lagi, sekedar meniru nilai islami dan juga perilaku Nabi, itu gampang. Menghadirkan (Dzat) Allah itu yang sulit. Karena itulah kita disebut seperti buih di lautan. Banyak. Tapi palsu. Penuh simbol-simbol, tanpa substansi. Kita beragama hanya pada alam lahiriah, tidak tembus ke Wujud (Alam) Gaib.

Hari ini kita melihat, banyak orang Islam yang seharusnya memiliki rasa cinta damai (sebagaimana makna “Islam” itu sendiri), berubah menjadi radikal bahkan terhadap saudaranya sendiri. Itu terjadi karena kita kehilangan Allah. Merujuk ke Buku Power vs. Force (2014) karya David R. Hawkins,  beragama tidak mencapai level spiritual. Sehingga menjadi brutal seperti binatang buas. Banyak dari kita yang semakin tua, justru semakin resah (walaupun banyak beribadah). Terasa ada yang masih kosong, walaupun kita sudah memiliki semuanya. Sehingga hidup kita masih was-was. Meskipun sudah beragama, yang absen (kosong) dari diri kita adalah Allah.

Dalam Islam, ilmu untuk meniru-niru lahiriah Nabi disebut fiqah (syari’ah). Sedangkan untuk menghadirkan Allah, disebut tariqah (irfan amaliah). Untuk menjembatani gap kedua mereka ini, dalam sufisme Islam diajarkan teknik menghadirkan Allah. Sehingga semua gerak bernilai sunnah, berdimensi Muhammadar Rasulullah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

2 thoughts on “HARAM “MENIRU” NABI

Comments are closed.

Next Post

DUA MAQAM PERKADERAN

Thu Feb 4 , 2021
Dua […]

Kajian Lainnya