MEMAHAMI KEMBALI MAKNA “KITAB”

Memahami Kembali Makna “Kitab”
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Kitab” (kataba-yaktubu-kitabatan-kitaban) secara harfiah artinya “tulisan”, “yang ditulis”. Secara umum diartikan sebagai buku (kitabun). Namun istilah ini juga digunakan untuk merujuk kepada “wahyu” yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasulnya.

Masalahnya adalah, Allah tidak pernah menurunkan “buku”, atau sesuatu apapun yang tertulis kepada para nabi. Tidak ada kitab yang tertulis di lembaran kertas, lembaran kayu, tulang ataupun batu; yang dicetak di langit dan diturunkan ke bumi. Jibril tidak pernah menyerahkan dokumen tertulis apapun kepada Muhammad atau nabi-nabi sebelumnya.

Maka, mengartikan “kitab wahyu” sebagai sesuatu yang “tertulis” perlu kecerdasan lebih. Penulisan kitab Alquran itu sendiri baru terjadi sekitar 14 tahun setelah Muhammad tiada, dimasa Kekhalifahan Usman. Untuk menyusunnya menjadi mushaf, itupun ada panitianya dan butuh diskusi panjang para ahli. Jadi, 30 juz dan 114 surah itu bukan sebuah kitab yang sejak awal sudah tercetak di Gua Hirak.

Bahkan pada masa Muhammad, Al-Qur’an tidak pernah ditulis atau diperintahkan untuk menulisnya. Belum ada kompilasinya. Belum ada lembaran utuh kitabnya. Kebanyakan masih berupa hafalan, atau fragmen-fragmen (suhuf) terpisah yang beberapa diantaranya ada yang mencatat saat Wahyu dibahasakan oleh lisan arab Muhammad.

Jadi, para nabi itu praktisnya tidak membawa kitab tertulis. Dalam makna buku cetak. Mereka semua boleh dikatakan “ummi”. Bookless. Tidak membawa buku bacaan, tidak meninggalkan kitab tertulis. Mereka berdakwah tanpa membagi-bagi buku teks, makalah, dan jurnal ilmiah. Mereka menyampaikan sesuatu yang langsung berasal dari Allah.

Sepengetahuan kami, para nabi begitu. Tidak ada kompilasi kitab (buku) Injil pada masa Isa as. Kitab Perjanjian Baru, itu ditulis 70-100 tahun setelah Beliau tiada, oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengannya. Zabur yang diturunkan pada masa Daud dalam bahasa Qibti, sekitar abad 10 SM, juga dikumpulkan jauh setelah ia wafat. Tauratnya Musa yang berbahasa Ibrani pun sama. Ada polemik yang menyebutkan bahwa Perjanjian Lama tersebut baru disusun pada periode pembuangan ke Babilonia tahun 600 SM, dan dilengkapi sebelum zaman Persia (400 SM). Sementara Musa hidup di abad 12 SM. Wahyu baru menjadi “buku” (kitab), itu setelah para pengikut membukukannya; belasan, puluhan, bahkan ratusan tahun kemudian.

Jadi, “kitab” apa yang diturunkan kepada para nabi?

Secara material, kita sepakat, “kitab” artinya lembaran kertas penuh tulisan. Buku. Kita punya Kitab Al-Qur’an versi cetak ini, yang tersusun rapi di lemari. Sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh nabi pada masanya. Namun demikian, seni baca tulisnya tinggi. Kandungan pengetahuan di dalamnya juga luar biasa. Kalau bukan dari Allah, tidak mungkin isinya begitu.

Tapi secara ruhaniah, “kitab” itu maknanya cahaya. Alquran itu cahaya. Memang cahaya beneran, dalam makna tertinggi. Halus dia. Itulah yang diturunkan, diaktifkan dalam “dada” para nabi. Itulah yang diwariskan (ditransfer/ditiup/diturunkan) dari satu nabi ke nabi yang lain, Nur-nya itu. Itulah hakikat dari Kitab, wujud asli Alquran, yang tidak berhuruf dan tidak bersuara. Genetik cahaya inilah yang menetap di qalbu, sehingga para nabi memiliki kemampuan spiritual atau mukjizat yang sama. Mampu bercakap dengan Tuhan via elemen itu.

Tuhan itu sendiri adalah “Cahaya” langit dan bumi. Cahayanya itu memiliki tingkatan atau gradasi (QS. An-Nur: 35). Al-Qur’an (yang asli) itu adalah Kalam, bagian dari Cahayanya sendiri. Karena itu merupakan unsur Ketuhanan, maka qadim dia. Berpower. Bisa jadi obat. Jenis Al-Qur’an yang Keramat. Berbeda dengan naskah Al-Qur’an cetakan Jerman atau Saudi, sudah baharu sifatnya. Bisa lapuk, berdebu, dan binasa; karena sudah berada pada dimensi materi. Unsur Cahayanya sudah redup. Kecuali anda mampu mengisi yang asli (unsur qadim Kalam Ilahi) pada teks tulisan itu.

“Kitab” wahyu atau Al-Qur’an dalam bentuknya yang azali, itu adalah Cahaya. Dalam elemen Cahaya yang sangat halus itulah tersimpan (tertulis) beragam informasi, berita dan cerita. Sebuah flash disk kecil sekalipun bisa berisi ratusan giga byte informasi. Elemen Cahaya ini lebih dahsyat lagi, menyimpan pengetahuan yang tidak terbatas. Semua informasi “tertulis” atau dapat diakses disitu.

Zaman sekarang sebenarnya mudah menjelaskan letak keilmiahan Al-Qur’an sebagai sebuah bentuk “cahaya”; sebuah kitab yang menyimpan semua informasi dari Tuhan. Kalau anda nonton bioskop, atau melihat presentasi melalui infokus; sebenarnya anda sedang disuguhi berbagai informasi melalui perantaraan “cahaya”. Pada cahaya itulah terletak informasi sebuah film yang berdurasi sampai dua jam.

Al-Qur’an adalah sebuah “Cahaya” yang diproyeksikan (diturunkan) dalam diri (wadah) para nabi. Pada Cahaya ini terkandung berbagai informasi yang disalurkan dari stasiun induk Loh Mahfudz, dari sisi Tuhan itu sendiri. Sebenarnya, inilah bentuk Al-Qur’an paling murni. Paling ringan. Paling aksesibel. Karena ia merupakan elemen “cahaya”, yang sangat halus dan ringan. Semua konten dan informasi dalam teknologi terkini, bisa dibuat hanya dalam satu berkas cahaya. Dalam terminologi sufistik, “semua informasi tentang langit dan bumi, tentang alam micro dan macro; itu ada pada satu “titik Ba”.

Sekarang pun, lebih mudah mengakses Al-Qur’an yang ada di Hp, daripada membawa-bawa mushaf cetakan. Yang di Hp kita, itu sudah berbentuk ‘cahaya’. Bukan lagi kitab yang ditulis dengan tinta, di atas kulit kambing atau kertas buatan Cina. Sekali klik, 30 juz muncul seketika. Bayangkan, Al-Qur’an yang sebelumnya sangat tebal dan begitu melelahkan untuk dibuka lembar perlembar; kini hanya ada pada satu tombol perangkat sederhana. Sekali scroll dapat semua. Wujud fisik Al-Qur’annya malah tidak ada. Tapi dia ada, dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Tapi tanpa listrik (sebuah energi yang maha menghidupkan); tidak aktif, tidak hidup dia.

Begitulah “kitab” Al-Qur’an pada dimensi paling tinggi. Ia merupakan Cahaya Tuhan yang tersembunyi dalam diri anda. Begitu anda tau cara mengaktivasi energi listrik ketuhanan dalam jiwa, aktual dia. Anda akan tersambung dengan pusat Induk Al-Qur’an. Anda punya kemampuan untuk terkoneksi kembali dengan Kalam Suci Tuhan. Dengan unsur “huda” (petunjuk) paling misterius: “ALIF LAM MIM. Kitab ini tidak ada keraguan padanya yang menjadi petunjuk bagi orang-orang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2). Tersambung kembali anda dengan Ruh Muhammad, dengan Jibril, dengan Allah. Inilah dimensi laduniah dari Al-Kitab.

Tapi syaratnya satu: “suci”. Karena, “tidak ada yang dapat menjangkau Kitab yang asli itu kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waqiah: 79). “Disucikan” artinya ada yang menyucikan. Beda bersuci antara dimensi syariat dengan tariqat. Dalam syariat anda bisa bersuci sendiri (i.e., mandi, wudhuk, dan sebagainya). Anda tau cara membersihkan badan dan kulit sendiri. Tapi dalam dimensi ruhiyah, anda tidak bisa mensucikan diri sendiri. Karena anda tidak tau dimana letak jiwa yang kotor itu. Dan anda tidak tau dengan apa anda harus membersihkannya. Kalau kotor kaki, anda bisa membasuhnya dengan air dan sabun. Kalau ruh yang kotor, membersihkannya dengan apa?

Untuk itu, kita harus “disucikan” oleh sesuatu yang lain. Oleh seseorang yang mampu melakukan itu. Sebab, ruh hanya bisa disucikan oleh Ruh yang maha suci. Itulah tugas para nabi, sebagaimana firman Allah: “mensucikan arwah/jiwa sekalian manusia” (QS. Aali Imran: 164). Pewaris nabi, sejatinya juga memiliki tugas serupa, “mentilawahkan secara ruhaniah” (membacakan/mentalqinkan ayat-ayat atau Kalimat) kepada setiap jiwa. Sehingga umat dapat kembali menjangkau unsur-unsur mukjizati dari Al-Kitab (Al-Qur’an). Tersambung kembali dengan Cahaya, dengan Hikmah:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Sungguh, Allah benar-benar telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika (Dia) mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci (Al-Qur’an) dan Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Aali Imran: 164)

Kesimpulan. Kitab (Al-Qur’an) punya tingkatan wujud. Pada wujud “duniawi”, ia adalah kitab cetakan, tulisan tangan manusia, kertas dan tinta. Baharu sifatnya. Namun mengandung banyak informasi bernilai ilahiah bagi manusia. Pada wujud “ukhrawi”, ia adalah Kalam Ilahi murni. Cahaya Tuhan itu sendiri. Bacaan ruhani. Tak berhuruf, tak bersuara. Mengandung rahasia tak terhingga akan pengetahuan Allah SWT. Hidup dia. Senantiasa berbicara kepada qalbu manusia. Keramat. Penuh mukjizat.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

3 thoughts on “MEMAHAMI KEMBALI MAKNA “KITAB”

Comments are closed.

Next Post

HIJAB PEMBANGUNAN

Tue Mar 23 , 2021
HIJAB […]

Kajian Lainnya