PERANG ACEH BELUM BERAKHIR

Perang Aceh Belum Berakhir
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

PERANG ACEH, secara umum dipahami berlangsung selama 27 tahun. Berlangsung sejak dibacakan maklumat perang Belanda di atas kapal perang Citadel van Antwerpen pada 26 Maret 1873, sampai dengan menyerahnya Kesultanan Aceh pada Januari 1904.

Namun demikian, perlawanan tidak serta merta usai. Setelah 1904, perang masih berkecamuk. Maklumat perang tidak pernah dicabut. Belanda masih terus membuat posko di daerah-daerah, melakukan pelacakan dan penyerangan ke berbagai tempat. Sebab, masih ada orang-orang yang dicari. Salah satu yang paling berbahaya itu adalah Habib Abdurrahman bin Hasan Assegaf, populer dengan “Habib Teupin Wan”.

Suatu ketika, dalam surat tertanggal 14 Agustus 1909, Habib Teupin Wan bersama teman-temannya yang lain (termasuk Tengku Mahyuddin bin Tengku Syeikh Saman, Tengku Di Bukit bin Tengku Syeikh Saman, Tengku Hasyem, Tengku Ulee Tutue dan Tengku Ibrahim) pernah disarankan oleh Tuanku Mahmud untuk menyerah kepada Belanda. Tapi ia tolak dan memilih melanjutkan jihad.

Akhirnya, pada 29 September 1911, di Gunong Halimon Tangse, ia terlacak oleh Letnan B.J Schmidt melalui bantuan seorang warga lokal yang bernama Teungku Bajee Mirah (Pang Bayak). Dalam operasi yang bertepatan dengan hari ke 5 Syawal 1329 H; Habib tertembak, setelah memimpin gerilya selama 38 tahun melawan Belanda.

Setahun sebelumnya, pada 21 Mei 1910, anak laki beliau satu-satunya yang bernama Habib Muhammad (digelar Habib Cut) tewas dalam pertempuran di Tiro. Anaknya syahid bersama sejumlah pejuang lainnya termasuk Ubaidillah atau Teungku Dibukit (salah satu putra Teungku Chik Ditiro), Teungku Cek Harun, Teungku Muda Syam, dan Teungku Syekh Samin. Semuanya ada 12 orang sebut H.C Zentgraff dalam bukunya “Aceh”.

Sedangkan Mahyiddin Tiro (putra lainnya dari Tgk. Chik Ditiro), tewas pada 5 September 1910. Sementara Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman sudah duluan syahid sembilan belas tahun sebelumnya, tepatnya pada 31 Januari 1891.

Tidak banyak penulis lokal yang meneliti Habib Abdurrahman bin Hasan Assegaf, sang pejuang terakhir ini. Padahal H.C Zentgraff sendiri menulisnya dalam satu bab khusus bertema “Seorang Keramat”. Masyarakat Aceh bahkan Tangse Pidie sekalipun tidak tau lagi tentang sosok ini dan dimana makamnya. Padahal mereka punya memori sangat kuat tentang sejarah penyergapan yang dilakukan B.J Schmidt terhadap Habib Abdurrahman.

Dalam sebuah seminar di Tangse (28 Juli 2017), seorang peserta paruh baya bernama M. Ali, masih mampu menuturkan cerita orang tuanya tentang taktik pengiriman “sapi meugang” oleh Belanda, untuk melacak jalur persembunyian pasukan Habib di pegunungan Tangse. Masyarakat Tangse juga akrab dengan nama Letnan Schmidt, ahli pelacak yang didatangkan secara khusus dari Belanda untuk menelusuri jejak gerilyawan Aceh.

Barulah kemudian, pada tahun 2017, tim sejarah Asyraf Aceh melakukan serangkaian seminar dan mengekspose kembali sebuh situs kuburan beratap di Desa Blang Dalam, Tangse, Kabupaten Pidie; yang merupakan pusara Habib Abdurrahman Teupin Wan. Padahal, masyarakat disitu mengetahui bahwa itu makam “penting”. Namun tidak kenal siapa yang dikubur di dalamnya.

Habib Abdurrahman Assegaf sebenarnya seorang kelahiran Aceh Besar. Lahir di Gampong Ateuk, Teupin Wan, Mukim XXVI (Lamreung, Meunasah Papeun sekarang). Perjuangannya di mulai sejak awal kedatangan Belanda. Awalnya ia mendirikan benteng dekat makam seorang keramat bernama Teungku Lueng Keung di daerah Mukim XXVI.

Seiring dengan serangan Belanda yang menyebabkan Raja Aceh ikut berpindah-pindah. Ia ikut mendampingi dua raja Aceh, mulai dari Sultan Mahmud (meninggal pada 1974 akibat kolera) sampai kepada penggantinya Sultan Muhammad Daud Syah (memerintah sejak 1874-1903).

Karena gempuran Belanda, Raja yang terakhir ini pernah hijrah sampai ke Keumala Pidie. Begitu pula dengan Habib, ia juga hijrah kesana dan juga ke berbagai tempat lainnya; terutama setelah Belanda berhasil merebut benteng pertahanan di Seulimum pada 1878.

Pada 1876, namanya juga muncul dalam perlawanan di Samalanga. Saat itu, Belanda mengerahkan 3 batalion tentara, dipimpin Van Heijden. Masing batalion terdiri dari 3 kompi, yang masing-masingnya tersusun dari 150 pasukan. Berarti Belanda turun dengan kekuatan serius ke Samalanga: 1.350 pasukan terlatih bersenjata lengkap.

Saat hijrah ke Pidie, beliau juga sempat mendirikan sebuah dayah di desa Lancok Baroh, Meunasah Ara, Kecamatan Bandar Dua (Pidie Jaya sekarang). Jadi, orang ini memang bukan hanya hanya seorang yang punya fisik petempur; tapi otaknya juga ulama.

Selama 38 tahun ia berjuang. Untuk tidak mengklaim sebagai satu-satunya, mungkin ia termasuk pejuang Aceh yang paling lama bergerilya dalam perang. Maka tidak heran, Snouck Hurgronje menyebutnya sebagai Chik Ditiro kedua. Sangat berbahaya, dan ia rekomendasikan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk segera dihabisi!

***

Hari ini, 26 Maret 2021. Sudah 148 tahun sejak Belanda mengumumkan perangnya dengan Aceh, kita masih bertempur. Bukan bertempur dengan Belanda. Tapi bertempur dengan sisa-sisa “arwah” Belanda yang masih merasuki jiwa orang Aceh dan Indonesia. Sehingga, kita masih menjadi orang-orang yang berfikir ala kolonial. Serakah. Korup. Menindas. Ingin menguasai. Ke-Belanda-an dalam diri kita inilah yang membuat bangsa ini miskin terus. Tidak pernah merdeka.

Perang Aceh belum berakhir. Perang melawan diri sendiri!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

QURAN DALAM WAJAH MANUSIA

Tue Mar 30 , 2021
Quran […]

Kajian Lainnya